Senin, 20 Desember 2010

Melarung Kenangan

deviantart.net
http://fc02.deviantart.net/fs42/i/2010/036/8/e/Sea_and_sky_by_anndr.jpg
.
Sore ini hari kelima aku berada di kotamu. Dua hari lagi aku akan pergi. Sedari dulu kau selalu memberiku batasan, hanya boleh berada tujuh hari di kota ini. Lebih dari itu, kau takkan menemuiku lagi meski aku merengek-rengek memintamu menemaniku berkeliling. “Bukankah sudah kukatakan, jangan lebih tujuh hari jika ingin menemuiku,” sungutmu hari itu, di hari kedelapan yang aku habiskan dengan mengitari putaran waktu di kota Anging Mammiri ini. Kesal terbaca dari nada suaramu. Dan kau membuktikan ucapanmu. Tak kau kunjungi aku di penginapan, bahkan mengantar kepulanganku pun engkau abai.

Warna langit pelan-pelan pupus. Aku masih betah duduk di sini. Di atas pasir hitam yang selalu kita bayangkan putih, lalu membiarkan lidah laut menyelinap menjilati jemari kaki kita. Hari ketujuh kedatanganku tahun lalu, kusempatkan bertanya perihal angka tujuh yang begitu kau agung-agungkan. Kita sudah terlalu tua untuk membicarakan hal-hal keramat, tapi tetap saja kefanatikanmu pada angka itu mengusikku.
“Mengapa harus tujuh, Mala? Mengapa angka itu harus menjadi batasan pertemuanku denganmu?” Kau hanya mengacak rambutku. Tersenyum.
“Karena buatku angka tujuh itu istimewa. Seistimewa angka sembilan, tapi hatiku telah cinta pada angka itu.” Ah, jawabanmu makin membuatku pusing. Itu bukan sebuah jawaban. Hanya sebuah alur yang berputar.
“Aku butuh alasan, Mala. Bukan ungkapan cinta. Jujur saja aku benci dengan angka itu. Selalu jadi batasan-batasan kita melepas rindu. Berikan aku alasan itu.”
“Berapa banyak alasan yang kau butuh?”
“Seberapa yang ikhlas kau bagikan untukku?”
“Mmmh… tak ada alasan logis mengapa aku jatuh cinta pada angka itu. Hanya sebuah simbol-simbol yang membuatku selalu ingat pada yang menciptakan kita. Bumi tempat kita menabur mimpi, langit tempat kita menatap harap diciptakanNya tujuh lapis. Surah Fatihah yang senantiasa kita baca saat menemuiNya ada tujuh ayat, serupa dengan jumlah guliran hari dan organ tubuh kita saat sujud menghadapNya. Kaupun pasti ingat jumlah sapi dalam mimpi Raja Mesir yang ditafsirkan oleh Nabi paling tampan, Yusuf, ada tujuh ekor gemuk dan tujuh ekor kurus bukan? Putaran thawaf, sa’i dan jumlah kerikil dalam lontaran jumrah juga tujuh. Ah..diriku jadi ceramah agama ya?” ujarmu terkekeh. Kau tahu aku paling tidak betah mendengarkan pembicaraan seputar agama, apalagi jika sudah berdebat kusir.
“Oya, satu lagi… gadis tidak boleh pulang di atas jam tujuh malam,” kedipmu sambil melemparkan pasir ke arahku lalu berlari menjauh. Matahari yang memudar menjadi tanda pertemuan kita harus berakhir.

Mala, Kumala tepatnya,” ucapmu memperkenalkan diri di hari pertama orientasi kampus. Perempuan berdarah Bugis yang setia merecoki kepalaku dengan segala adat yang kau pegang teguh, sementara aku lebih menikmati gayaku yang semaunya. Kau pulalah yang mengajarkanku mencintai laut dan langit jingga. “Kau tahu Wawa, sore seperti ini adalah masa dimana rindu kurasakan begitu meruah. Masa-masa menanti pertemuan dengan bulan juga harap-harap cemas jika nafas esok masih akan ada. Dan nenek, selalu mengajarkanku berdo’a di waktu-waktu seperti ini.” Dasar kau, perempuan berambut ikal yang selalu menjadikan sore sebagai lumbung inspirasi, dan aku dengan setia mendengarkan segala kicaumu. Yah, dua telinga yang diciptakan untukku kumaksimalkan jika bersamamu camar soreku.

Mala, lima tahun kita bersahabat semakin nyata jika kita memang berbeda. Namun, jika telah tiba waktunya bersua maka kita ibarat magnet berbeda kutub. Tapi hanya tujuh hari. Sesudah itu tak ada lagi dispensasi, tak ada lagi pertemuan meski tubuhku telah sebulan bergumul dengan hawa panas kota ini. Seperti hari itu, lagi-lagi aku melanggar perjanjian kita. Tapi, sungguh kali ini pelanggaran ini harus kau maafkan. Rasa was-was lah yang membuatku membatalkan langkah kakiku memasuki gate bandara. Rasa khawatir yang timbul setelah sebuah pesan singkat menggetarkan kantong jeansku.

Kak Mala sejak semalam kesurupan, kak. Sekarang sedang dibawa ke orang pintar. Kakak bisa ke rumah sekarang? Pesan singkat dari adikmu. Yah seluruh keluargamu tahu kedekatan kita hingga mereka merasa perlu membagi rasa khawatir mereka padaku. “Bagaimana mungkin seorang Kumala yang kukenal bisa kesurupan?” batinku. Bergegas langkahku. Tak kuhiraukan lagi corong-corong yang meneriakkan nomor penerbanganku.

Di rumahmu, kulihat mata ibumu sembab. Tak ada sesiapa selain beliau. Kesurupan apakah engkau gerangan hingga duka begitu tersirat di wajah tirusnya? Tanya berpilin-pilin di kepalaku.
“Mala sekarang di mana, Bu? Kok bisa dia kesurupan?”
“Ibu juga tidak tau, Wa. Sore sepulangmu dari pantai bersamanya tiba-tiba saja dia menggeram dan meracau tak jelas. Seisi rumah kaget. Orang pintar sudah dipanggil sejak semalam, tapi tetap saja tak ada perubahan. Sekarang dia di bawa ke pantai yang kalian kunjungi kemarin.”
“Wawa mau ke sana, Bu. Ibu mau ikut?”. Anggukan kepala ibumu membuatku segera menyusul.

Di sana, di bawah terik matahari, di tengah debur ombak, mereka yang menamakan diri orang pintar melakukan ritual yang membuat hatiku perih, Mala. Mereka membenamkan kepalamu berulang-ulang. Membuatmu megap-megap kehabisan nafas. Perlawananmu kandas di tangan kukuh mereka. Yang mau mereka keluarkan apa? Jin ataukah nyawamu? Ayah dan kakak lelakimu hanya berdiri mematung menyaksikan adegan itu. Tidak denganku, aku tak sanggup melihat tubuhmu lemas kehabisan tenaga meronta. Berlari ke sana, itu yang terpikir olehku. Melawan mereka, membawamu ke rumah sakit, itu yang selanjutnya kulakukan. Melihatmu terbujur kaku tertutupi kain putih, pemandangan itu yang terpapar sepuluh menit setelah kita tiba di rumah sakit. Ngilu, Mala.

“Paru-parunya sudah kemasukan banyak air,” singkat penjelasan dokter mengakhiri hari kedelapan aku berada di kotamu. Hari aku terbebas dari rutuk kesalmu atas pelanggaranku tapi juga menjadi hari perpisahan kita.

Sore ini hari kelima aku berada di kotamu. Dua hari lagi aku akan pergi. Setelah tujuh hari, kunjungan ini berakhir. Jilatan ombak menyadarkanku, sudah cukup waktu untuk menjenguk genangan kenangan kita. Kota ini akan kutinggal jauh. Kenangan tentangmu akan kulipat rapat-rapat. Langit pun telah merona jingga. Seperti katamu dahulu, gadis tak boleh pulang di atas jam tujuh malam. Aku pulang, Mala.

Luka Tiga Hati

Adzan Isya berkumandang, menembus dinding-dinding yang saling merapat di pemukiman padat penduduk ini. Lena mengintip di balik kerai, mencoba mencari bayangan suaminya. Sia-sia. Kali ini dibiarkannya kerai terbuka lalu menghampiri kedua putri kembarnya yang sibuk menggambar.

“Disya menggambar apa, sayang?”
“Istana, Ma. Ada kita di dalamnya.”
“Oya? Mana coba mama lihat.” Disya mengangsurkan kertas gambarnya. Sebuah istana lengkap dengan para penghuninya. Kata mama, papa, Disya, Kesya menjadi atribut di bawah tiap gambar.
“Gambarnya mirip perayaan ulang tahun Disya kemarin ya.” Disya mengangguk.

Seperti itulah Disya, tiap kali mendapat tugas menggambar maka istana adalah gambar favoritnya. Kastil, ruang yang megah dan gambar seorang putri bergaun peach adalah tokoh utama di setiap lembar kertas gambarnya. Situasi yang mirip saat pesta pertambahan umurnya yang genap tujuh tahun.

Lena mengalihkan fokus pandangnya pada Kesya. Putrinya yang satu ini telah menghabiskan setengah lusin crayon berwarna hitam dalam sebulan ini. Gambar yang dibuatnya jauh dari warna cerah laiknya gambar anak lain seusianya.
“Eum, kalau Kesya gambar apa, sayang?”
“Rumah kita, Ma.” Lena menatap kertas gambar di depan Kesya. Awan yang abu-abu, kotak-kotak yang berhimpitan, aliran sungai yang berwarna coklat tua. Tak ada warna biru di sana, warna kesukaannya.
“Kotak-kotak ini apa, Ke?
“Rumah tetangga”. Singkat.

Lena menghela nafas. Kedua putrinya memang lahir kembar identik. Sebuah cekungan di pipi Kesya lah yang menjadi beda. Mereka identik secara fisik, namun sikap mereka menerima hidup yang sekarang sungguh beda. Mereka membangun dunia mereka masing-masing tanpa saling ganggu, tanpa saling melirik. Ada nyeri di ulu hati Lena.

Lena mampu melihat bagaimana Disya seolah-olah masih merasakan kehidupan yang dahulu, saat Rasya, ayah mereka, masih menjadi wakil direktur sebuah perusahaan semen ternama di kota ini. Disya masih menyimpan bagaimana rasanya menjadi seorang putri. Sementara Kesya, ia berusaha menerima kenyataan hidup mereka yang sekarang, yang sudah sangat jauh berbeda. Dan penerimaan itu digambarkannya gelap. Kelam.

Pandangan Lena kembali membentur jendela. Masih kosong. Jam di dinding menunjuk angka setengah sembilan.
“Kesya, Disya, bobo yuk. Udah setengah Sembilan. Mama punya cerita baru lho.” Mata kedua putrikembar itu binar. Segera membereskan crayon dan kertas gambar mereka.
“Dongeng putri dan istana lagi yah, Ma.” Disya merajuk dengan mata membola.
“Bosan”. Kesya kali ini tak setuju.
“Malam ini mama punya cerita lain, judulnya Papa Jerapah. Hem, penasaran kan? Yuk, kita ke tempat tidur.”

Lena mendongengkan Papa Jerapah pada Disya dan Kesya hingga lelap. Sebuah harap teriring dari hati, semoga mereka bisa berbesar hati menerima situasi sulit sekarang. Situsi yang sungguh jauh berbeda dari masa-masa saat ayah mereka masih dipercaya sebagai tangan kanan di perusahaan semen itu. Kebahagiaan terakhir yang mampu mereka kecap adalah perayaan usia mereka yang genap tujuh tahun. Disya dengan gaun peach, Kesya dengan gaun biru. Keduanya manis, mengalahkan gambar malaikat-malaikat di teve. Sebulan setelah malam perayaan, semuanya berubah. Disya dengan gambar istana, Kesya dengan crayon hitam adalah monumen perubahan itu.

Kembali Lena menghela nafas. Sudah jam sepuluh malam suaminya belum juga pulang. Pulang larut, kebiasaan yang sama saat Rasya masih menjadi orang penting. Berkeliling kemana lagikah gerangan? Lakukah segala dagangan yang dibawanya? Masih asyik bertanya, didengarnya ketukan kecil di pintu. 

Langkahnya tergesa, takut sang suami marah.
Tas besar di pundak kanan diletakkan Rasya ke lantai. Dasinya diperlonggar lalu beranjak ke dapur. Segelas air putih tandas. Lena mendekat.
“Mas, kok pulangnya malam?”
“Ada meeting dengan klien tadi.”
Nyeri kembali terasa di ulu hati Lena, bukankah klienmu telah meninggalkanmu, Mas…?

[Cerita Dangke] Serupa Menyusu dari Sapi

Sebuah cerita basi karena kehabisan inspirasi

Sebulan lalu menjelang hari raya Idul Qurban kembali saya menempuh perjalanan selama 10 jam dari Tana Toraja menuju kota Makassar. Jika pada bulan-bulan sebelumnya perjalanan saya habiskan dengan tidur di atas bus, maka perjalanan kali ini agak sedikit berbeda. Berbeda karena saya mendapat tumpangan gratis dari kepala sekolah tempatku bertugas dan juga pengalaman baru. Yah, pengalaman baru sebab mampu menikmati pemandangan indah sepanjang jalan dan juga berkenalan langsung dengan salah satu makanan khas yang jarang terdengar di telinga. Inilah yang akan saya ceritakan disini, namun jika terlalu berputar-putar harap dimaklumi, namanya saja kehabisan inspirasi.
Kami meninggalkan Tana Toraja yang terkenal dengan ritual Rambu Solo (sebuah pesta kematian yang kemeriahannya mengalahkan resepsi pernikahan) pukul tiga sore. Toraja adalah salah satu kabupaten terindah di propinsi Sulawesi Selatan menurutku, sebab sepanjang jalan mata memandang yang nampak adalah hijaunya gunung yang masih perawan.
Namanya perjalanan yang tak terikat apapun, maka beberapa kali kami singgah, entah membeli buah tangan atau sekedar melepas penat. Meninggalkan kabupaten Toraja dan memasuki kabupaten Enrekang, maka akan dijumpai penjual sayuran di pinggiran jalan. Yah, Enrekang memang terkenal dengan produksi sayuran segar dengan harga murah sehingga tak salah jika istri kepala sekolahku menjadikannya persinggahan pertama. “Beli sayur untuk mertua, mumpung murah,” ujar ibu empat anak ini.

enrekangtelukpalu.com
enrekangtelukpalu.com
Persinggahan kedua adalah membeli buah tangan. Inilah yang berkesan, sebab buah tangan kali ini lain dari biasanya, namanyaDangke. Nama ini sering terdengar namun agak kurang familiar di telingaku, hingga membuat penasaran. Dangke adalah makanan khas Enrekang yang sering diplesetkan dengan sebutan keju Enrekang. Bentuknya menyerupai tahu tapi agak lebih besar, berwarna putih dan agak kenyal. Lalu mengapa diplesetkan dengan sebutan keju Enrekang? Mari kita tanya si pembuat dangke… hehehe….
Dangke merupakan makanan khas yang pembuatannya sangat sederhana dari bahan yang sederhana pula, susu sapi atau susu kerbau (kami menyebutnya tedong). Dangke dibuat dengan cara merebus campuran susu sapi/kerbau, garam dan sedikit getah buah pepaya muda. Kata sang pembuat dangke, getah pepaya ini fungsinya untuk menggumpalkan susu, tapi tidak boleh terlalu banyak, takut dangke menjadi pahit. Setelah googling, tahulah bahwa getah pepaya itu mengandung enzim papain yang berfungsi memisahkan protein dan air sehingga susu menjadi padat. Hem, hebat siapa yah sang pembuat dangke atau om google…?

jadikanharinilebihbaik.blogspot.com
Nah, setelah susu menggumpal, maka adonan susu tadi dicetak dalam tempurung kelapa yang telah dibelah menjadi dua. Setelah adonan membeku, maka dangke dibungkus dengan daun pisang dan siap dinikmati, baik dimakan langsung ataupun dipanggang/di goreng terlebih dahulu. Sebuah keberuntungan saat itu buatku adalah melihat langsung proses pembuatan dangke tersebut, meski tidak sampai selesai. Info bermanfaat itu pun akhirnya dipertukarkan dengan selembar uang puluhan ribu. Yah, satu buah dangke dihargai sepuluh ribu rupiah, tapi belinya ga satu kok… hehe…
Belum meninggalkan tempat tersebut, mataku kembali melihat cemilan yang lain. Bukan Taro, Chiki dan sekawanannya, keripik Dangke itulah namanya. Dikemas dalam plastik bening kecil-kecil –yang besar juga ada, khas produksi rumah tangga. Hem, penasaran dengan rasa dan cara pembuatannya kembali langkah saya menemui sang pedagang. Ternyata selain diolah menjadi dangke, susu kerbau atau sapi juga bisa diolah menjadi keripik. Cocok bagi orang-orang yang tak senang mengkonsumsi susu secara langsung. Cara pembuatannya pun tak kalah sederhana, berbahan tepung beras, susu, dan garam. Namun langit yang mulai memerah membuatku tak sempat bertanya banyak tentang cara pembuatan keripik itu. Yah, perjalanan masih jauh sementara kepala sekolahku agak kewalahan saat menyetir pada malam hari, maka pertanyaan seputar keripik ditunda hingga saya mendapatkan kesempatan numpang gratis lagi mudik berikutnya. Namun, keinginan untuk mencicipi rasa keripik itu sepertinya tak bisa menunggu maka sekali lagi buah tangan untuk keluarga ditambah, bukan hanya “keju” Dangke tapi juga keripiknya.
Perjalanan berlanjut, melewati gunung Nona yang begitu indah dan membuat rasa takjub akan kuasaNya semakin besar. Singgah sejenak mengagumi keindahannya dengan mulut yang tak henti mengunyah keripik Dangke. “Bagaimana kalau sekalian kita makan dangkenya disini?” saran istri kepala sekolahku. Karena penasaran dan belum pernah mencoba sebelumnya maka anggukan kepalaku segera menyetujui ajakan tersebut. Dangke yang kami beli tadi di iris kecil-kecil, sebagai percobaan maka tanganku memilih irisan yang paling kecil. Aromanya memang seperti keju, namun tetap dominan aroma susu sapi buatku. Menggigit secuil dan melihat mukaku agak merengut maka spontan kepala sekolahku berujar “Bagaimana rasanya? Seperti menyusu dari sapi kan..?” Eum, no comment.

Minggu, 05 Desember 2010

Pesan dari Merpati




Diamku dalam pekat malam
Isyaratkan rindu pada hening yang hilang
Wahai hati yang telah menutup tabir dalam rinduku
Apakah telah kau baca larik makna dalam cengkrama para bintang
Janjikan terang yang kan hadir diantara gelap yang mengiring malammu
Antara nyata dan imaji yang terbalur dalam keinginan
Hamparkan langit malam yang kan menaungi tatap sendumu
Malam pun kan kuhiasi cahya purnama yang merona dalam malu
Untuknya
Keheningan malam ini seakan turut mengerti apa yang ada dalam benakku
Untaian syahdu yang sejenak mengikis kegundahanku
Lagukan syair yang memuji hadirnya
Indahnya
Heningnya
Angannya
Terisyaratkan dalam hadirnya
Bulan
Ungkapkanlah makna yang tersirat dalam kesederhanaannya
Lantunkanlah nada indah yang bertasbih dalam sujudnya
Aksarakan apa yang tergubah dalam pesan yang kutitipkan pada langit malammu
Namanya




> Sebuah pemberian... ^_^

November, Sebuah Perpisahan

November…
Menggulung gaun hujan
Memeluk tanah basah
Mencumbu embun pagi
Menciumi hijau dedaun
Mencubit pipi-pipi bebunga yang malu
Menatap sendu purnama
Menunggu tawa matahari
Melepas genggam pada senja
: aku harus beranjak, pamitnya.
.
Aku…
Kehabisan aksara
Menatap punggungnya yang menjauh
Membawa klon ingatanku
Menanggalkan segala romantisme
Mengenang peluk gigilnya
.
Tak perlu menangisi perpisahan ini
Ada tetanda yang ditinggalkannya
: gerimis pagi ini terasa hangat … sangat…
.

Jumat, 19 November 2010

[Cerita Bassang dan Putu Cangkir] Yang Dirindu, Yang Terlupakan

Pagi ini terbangun di tempat yang berbeda. Lelah semalam menguap sudah. Matahari perlahan bangkit. Menggantikan bulan yang pelan-pelan hilang dari mata telanjangku. Purnama sudah berlalu dua hari kemarin. Hem, kuperhatikan laptopku yang tertidur 4 jam lalu… Hem, biarkan dulu dia istirahat.

Menempuh perjalanan semalam, membuat perutku memainkan orkestra. Masih jam setengah enam subuh, tapi genderang lapar sudah ditabuh. Belum waktunya sarapan sebenarnya, tapi jika kampung tengah menuntut jatah… harus segera terpenuhi… hehe…

Berbicara sarapan, mengingatkanku pada dua makanan kegemaranku sedari kecil. Bassang dan Putu Cangkir. Keduanya makanan sederhana dengan rasa yang tak sederhana buatku. Menjadi candu sedari kecil dan kini menjadi hal yang paling dirindukan lidahku. Apalagi sejak menjadi makhluk nomaden. Makanan itu tak pernah lagi terkecap olehku.

1289907373372589346Bassang. Mungkin bagi orang-orang yang pernah menginjakkan kaki di bumi Sulawesi -khususnya Makassar- beberapa puluh tahun silam, pastilah familiar dengan makanan yang tiap pagi dijajakkan dengan sepeda yang membawa panci besar. Bassang tak lain adalah makanan tradisional Sulawesi yang terbuat dari jagung pulen dan santan yang disajikan dalam bentuk bubur. Penyajiannya pun sederhana, hanya ditambahkan sesendok atau lebih gula pasir. Tergantung selera.
Masih teringat waktu kecil dahulu, aku dan adik-adik dengan setia duduk di depan rumah tetangga –rumah kami berada di belakang rumah orang lain- menanti suara yang berteriak bassang…bassang… Jika suaranya telah terdengar dari jauh, maka dengan sigap adikku akan membawa rantang ke pinggir jalan, takut sang pedagang melewatkan kami. Tak lama kemudian uap mengepul dan putihnya bassang beralih dari panci ke rantang kami. Berikutnya ritual sarapan ramai-ramai dimulai.

 Kini, tak lagi kutemukan penjual bassang. Tiap menjenguk rumah, selalu kunantikan adanya teriakan bassang…bassang… Tapi, penantianku sia-sia. Terakhir menikmati bassang lima tahun lalu. Pedagangnya kebetulan tetangga. Tiga tahun lalu meminta adik bungsuku membelikan pada tetanggaku tersebut, ia hanya berucap… Daeng Ngai sudah tidak jualan lagi, Kak. Sudah mati ditikam. Setelah itu, tak lagi mudah menemukan pedagang bassang. Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Lain bassang lain pula dengan Putu Cangkir. Aku menamakannya si manis karena bentuknya dan warnanya. Bentuknya yang imut dan warnanya yang coklat, ibarat seorang gadis berkulit sawo matang di depanku… (haha, analogi yang sama sekali salah sambung). Putu cangkir adalah salah satu makanan khas Bugis-Makassar yang terbuat dari campuran tepung ketan, gula merah dan kelapa parut kemudian dibentuk menggunakan cangkir dengan memanfaatkan uap air mendidih. Rasanya legit di lidah. Dan makanan ini sungguh membuatku kecanduan sejak kanak-kanak.
Jikalau bassang dijajakkan dengan menggunakan sepeda atau gerobak, maka putu cangkir dijajakan di pinggir jalan –dulunya. Penjualnya pun rata-rata adalah wanita yang telah berumur, terkesan tua. Senasib dengan bassang, putu cangkir pun telah mendekati kepunahan. Meski cara membuatnya sederhana, namun tak semua generasi mampu membuatnya.

Berbeda dengan Bassang, si manis Putu Cangkir masih lebih beruntung. Pedagang kue ini masih bisa dijumpai di pasar-pasar tradisional yang mulai tergeser oleh supermarket. Jika melihat seorang perempuan setengah baya tua, duduk di pinggir jalan dengan baskom berisi tepung berwarna coklat dan panci kecil yang mengepul, singgahlah sebentar siapa tahu itu kesempatan terakhir mencicipi putu cangkir (semoga tidak).

Bassang dan putu cangkir hanyalah contoh dari beberapa makanan tradisional yang dirindukan namun perlahan terlupakan. Dirindukan oleh orang-orang sepertiku, yang jauh dari tanah kelahiran. Dilupakan oleh adik-adikku yang lebih senang menikmati fastfood. Yah, kuakui segala macam fastfood itu memang sangat menggoda mata dan lidah. Sayang, lidahku lidah kampung…hingga masih saja merindukan bassang dan putu cangkir


Terkait dengan tulisan ini :

Sabtu, 06 November 2010

[Larut dalam Kenangan] Cerita Hujan



Pada mulanya hujan itu hanya ada di dalam mimpiku,
di dalam tidurku, di sepasang mataku yang terpejam.

Kemudian hujan itu jatuh cinta kepada sepasang mataku
yang tidak tidur. Aku selalu menemukan bebulu mataku
basah bagai embun di rerumputan, di pagi dan sore hari.

Gerimis menyapa teritisan rumah. Sekarang sedang musim penghujan, wajar jika tiap sore hujan menyapa kampung tempatku bermukim sekarang. Jika jarum jam telah menunjuk angka dua dan dua belas maka lihatlah ke atas. Langit sedang menyulam benang-benang hitam yang sebentar lagi berdegradasi menjadi tetes bening.  Tetes yang mampu menyejukkan atau mungkin menyakiti. Mataku takkan pernah letih memandangi perubahan itu, menanti yang kelabu di atas pelan-pelan jatuh lalu menderas menyajikan orkestra di atap-atap seng rumah. Juga menyapu lembut dedaunan yang mendoa. Hujan telah memiliki nada sendiri di telingaku. Notasinya hanya mampu terbaca oleh mataku. Sebab mataku dan hujan telah lama saling mencintai.

Kemudian hujan itu jatuh cinta juga kepada tubuhku.
Hujan senang sekali menyiram-memandikan tubuhku.
Tubuhku tiba-tiba saja memiliki sebuah kamar mandi
dengan sebuah kolam yang selalu penuh dengan hujan.

Angin telah tiba, menghempas hujan kemana ia suka. Ke barat, timur, tenggara, ke mana saja hingga akhirnya tiba di tubuhku. Sore seperti ini tak usah mandi, pikirku. Toh hujan telah memandikanku, tanpa perlu sabun-shampoo. Wangi yang ditawarkannya melebihi wangi berbagai merk sabun. Yah, wangi alam. Wangi laut, danau, sungai, rawa, empang, curug, bahkan bau air seni yang tersembunyi di balik rimbun dedaunan. Tak satupun pabrik yang mampu meramu semuanya hingga menghasilkan aromatherapy yang begitu menenangkan. Hanya Dia. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa aku tenang di bawah hujan, meski tubuhku telah serupa kolam yang meluap menampung buliran langit itu. Sebab aku merasakanNya di sini, saat hujan memandikanku. Tubuhku dan hujan pun telah sama-sama jatuh cinta.

Kemudian hujan itu jatuh cinta kepada tempat tidurku,
kepada kamarku, juga rumahku. Rumahku penuh hujan.
Aku melihat lemari, kursi dan meja, pakaian, buku-buku,
dan kenanganku berenang-renang di genangan hujan.

Sebuah kebiasaanku di masa kanak-kanak jika hujan menderas, menari bersama angin, bersuara bersama petir dan menyilaukan bersama kilat adalah bersembunyi di bawah selimut hangat. Sesekali mendongak ke atas melihat perpaduannya dengan wajah takut-takut. Kebiasaan itu telah lama kikis, sejak aku jatuh cinta pada hujan. Kita takkan bersembunyi dari sesuatu yang kita cintai, kita akan selalu mendekat padanya. Begitupun dengan hujan dan Dia. Hujan telah melukis banyak kenangan di ingatanku, perpisahan-perjumpaan, tawa-tangis, rindu-benci, galau-damai, dan semua itu karena tangan penciptaanNya, skenario terbaikNya. Lalu mengapa harus bersembunyi lagi dari hujan, biarlah hujan menggenangi seluruh isi rumah. Sebab kenanganku akan mengapung di atasnya. Kenangan memelukku di bawah hujan, sebab hati kami telah sama-sama mencinta.

Kemudian hujan jatuh cinta kepada halaman rumahku.
Hujan menenggelamkan pohon-pohon dan bunga-bunga
yang pernah ditanam di taman itu. Aku melihat tangkai
dan bangkai bunga mengapung-apung di depan rumahku.

Kemudian hujan itu juga jatuh cinta kepada jalan raya.
Aku menyaksikan hujan itu berjalan seperti kendaraan
di atasnya. Aku tak tahu akan berjalan menuju ke mana.

Di layar segi empat ruang tamu riuh terdengar. Kupalingkan wajah sebentar. Di sana hujan pun menyapa. Mengetuk deras segala pintu. Mencipta bah di pelosok negeri. Bahkan di sebuah kota yang telah lama menjadi ibu dari segala kota di negeri ini, jalan-jalan tak nampak lagi. Berganti genangan keruh. Mungkin sebentar lagi Baby Benz, Mercedes, Toyota, Kijang, Xenia, dan kawan-kawannya takkan lagi terpapar manis. Akan tertutup lumpur yang menyesakkan jalan napas mereka. Hujan juga mencintai mereka, berkenan memandikan mereka, menciptakan kenangan pada sang empunya untuk lebih ramah pada alam, pada kawan-kawan hujan, pada mula lahirnya hujan. Kali ini hujan tak memeluk ramah, ia menjebak. Menutup segala arah. Meminta kita menunduk, merenung, mengingat seberapa perih luka yang telah kita torehkan pada ibu pertiwi. Seberapa dalam kerukan-kerukan yang kita gali dari perutnya. Seberapa tamak kita berupaya menghabiskannya tanpa peduli pada saudara di ujung negeri. Hujan kali ini ingin mengajarkan kita kembali mengeja arti kasih sayang. Hingga tak ada lagi tangkai bunga yang menjadi bangkai di halaman-halaman rumah.

Engkau tahu? Aku selalu membayangkan hujan itu singgah
di halaman rumahmu, mengetuk-ngetuk pintu rumahmu,
mendesak masuk ke kamarmu, naik ke tempat tidurmu,
merasuk ke tubuhmu, dan jatuh cinta kepada matamu.

Aku selalu berdoa, di dalam tidurmu, di dalam mimpimu,
sepasang matamu yang terpejam melihat aku dan hujan,
melihat aku bermain hujan, bermain hujan sendirian.
Dan engkau ingin sekali menemani aku bermain hujan.

Hujan pun tak bisa kupisahkan dari mengingati dirimu. Segela kenang tentangmu mekar beriring gerimis. Pertemuan kita dimulai di bawah gerimis. Bagaimana tarian tubuh kita ditingkahi gerimis yang malu-malu. Atau mungkin justru sebaliknya, tubuh kita menari malu-malu di bawah gerimis. Ada jeda yang jauh antara tubuhmu dan tubuhku. Namun, sungguh itulah tarian terindahku di bawah hujan.  Menatapi punggungmu, mendongak berusaha melukis wajahmu, dan menungu senyummu yang tersembunyi. Namun, jarum-jarum langit berubah garang. Memaksa langkah-langkah kita berlari mencari teduh. Cukuplah waktu yang singkat itu kurangkum dalam ingatan yang tak lekang. Selepas hari itu, aku sering bermain sendiri di bawah hujan. Sambil terus melantunkan do’a semoga kelak kau akan berdiri di sampingku menemaniku bermain hujan…

Beberapa baris catatan :
Ø  Penggalan sajak dalam tulisan ini meminjam sajak dari M. Aan Mansyur yang berjudul Sajak buat Orang-Orang yang Suka Bermain Hujan.





Minggu, 31 Oktober 2010

Tak Sesederhana Sebuah Ingin

Inginku sederhana…menjadi ibu dari anak-anakmu, juru masak dari laparmu, juru pijat dari letihmu, teman dari sepimu, pendengar dari keluh kesahmu, tangis dalam sedihmu, tawa dalam bahagiamu, penopang dalam rapuhmu, penyejuk dalam marahmu, makmum dalam sholatmu, pengamin dalam do’a-do’amu, juga maaf dalam khilafmu.
Inginku sederhana…menjadi rusuk yang senantiasa melindungi jantungmu yang tak letih berdetak, dalam sebuah naungan yang suci; munakahat

Kuhela lagi nafasku malam ini, lebih panjang dari biasanya. Sungguh sesak ini tak tahu lagi serupa apa…mungkin serupa bola salju yang bergulir makin lama maka akan makin membesar. Lalu kutemukan dada ini tak sanggup lagi menahan guliran bola tersebut hingga akhirnya ia pecah berserak… Kubaca lagi tulisan tangan di kertas lusuh itu…

Kertas lusuh itu tiba di tanganku seminggu silam. Diberikan oleh seorang perempuan dengan lesung pipi menawan. Dalam wajah malu tertunduk, diremasnya kertas itu berulang kali sebelum ia merasa berani mengangsurkannya padaku.
“Bacalah, kak. Maaf jikalau kurang berkenan”, ujarnya lalu segera mengangkat tapaknya sedikit menjauh dariku. Lalu semakin menjauh meninggalkanku termangu membaca tulisan tangannya yang sama sekali tak rapih. Penuh coretan. Butuh keberanian besar buatnya menuliskan kalimat-kalimat itu. Keberanian yang ditebus dengan rasa malu berlipat-lipat. Dan hingga adzan Magrib menggema, aku masih terpekur memandangi kertas lusuh itu, apa yang harus kulakukan…??

Tak ada yang salah dengan keinginan perempuan itu, semua perempuan normal di dunia ini pun pasti memiliki keinginan yang sama. Hanya saja, ragu masih menggantung sempurna di hatiku. Pantaskah…?? Pantaskah aku menjadi detak jantung yang dilindunginya? Pantaskah dia menjadi tulang bengkok yang kucari selama ini? Ahh……tak ada jawaban yang ditemukan otakku. Organ yang selama ini selalu kuandalkan itupun menjadi buntu seketika. Ibarat processor computer yang sedang hang. Mungkin sekarang giliran hati yang mengambil alih…
“Apa yang menjadi tanda seseorang dikatakan sepadan buat orang lain?”, tanyaku suatu petang pada sahabatku yang sebentar lagi menikah.
“Relatif, Bro. Terlalu banyak ukuran yang berbeda di mata-mata kita. Ukuranmu dengan ukuranku pasti beda. Sebagai contoh di masyarakat kita, seorang dokter mungkin baru merasa pantas jika ia berpacaran atau menikah dengan dokter atau orang-orang yang selevel dia. Itu jika ditilik dari kepantasan dalam bahasa ekonomi atau strata sosial. Namun tidak menutup kemungkinan, anak seorang pengusaha merasa bahwa mantan napi adalah sosok yang juga sepadan buat dia. Semua kembali pada diri dan hati”.
“Aku butuh sebuah ukuran baku. Ukuran yang umum menjadi tanda”.
“Hahaha…sebuah tanda umum buatku…adalah kau merasa nyaman dengannya… well, tapi itu ukuranku. Entah denganmu atau orang lain.”

Perbincangan hari itu berakhir dengan sebuah simpulan buatku, merasa nyaman. Ah…apakah aku merasa nyaman dengan perempuan itu? Aku sendiri sulit mengukur perasaanku sendiri. Jika kenyamanan itu diibaratkan dengan kebetahan berbicara lama dengannya, maka aku betah berbicara lama dengannya…tapi, tak jarang rasa kantukku tak mau mengalah hingga sebuah perbincangan harus terhenti hanya karena sang kantuk telah melonjak-lonjak. Ah…rasa nyaman yang dangkal…

Di hari yang lain dengan sahabat yang lain…
“Sebenarnya bahasa sepadan tak sepadan itu terlalu ambigu buatku. Agama kita telah mengatur segalanya. Maka pilihlah sesuai kriteria yang dianjurkan. Satu hal lagi, butuh kelapangan hati untuk saling menerima satu-sama lain. Menikah bukanlah lantas yang dua itu menjadi satu, namun bagaimana yang dua itu melangkah bersama dalam satu arah. Banyak beda sungguh wajar, maka kesabaran dan kelapangan hati lah yang menjadi kunci. Apakah hatimu cukup lapang untuk memenuhi keinginan sederhana perempuan itu?”.

Segala jawaban yang diberikan sahabat-sahabatku rupanya belum mampu menuntunku menuju sebuah jawaban. Aku masih ragu. Entah. Aku sendiri tak tahu… Sementara di sudut sana, perempuan itu masih menunggu. Meski dengan sisa waktu yang semakin menipis…

Dering handphone mengganggu mataku yang sibuk memperhatikan tayangan Tsunami Mentawai. Nama perempuan itu menari-nari di layar.
“Halo, assalamu ‘alaikum”, ujarku.
“Wa alaikum salam”, sahutnya. “Mengganggukah saya, kak?”
“Tidak”.
Cukup lama ia terdiam sebelum kudengar hela nafasnya yang pajang…
“Kak…maafkan tulisan kemarin. Jika tulisan kemarin membuatmu bingung, maka lupakanlah. Biarkanlah semua berjalan sesuai alurnya, seperti yang pernah kau katakan padaku. Semua akan tiba jika waktunya telah tepat. Kita hanya serupa boneka yang mengikuti alur cerita. Senang dan sedih adalah bagian dari peranan yang kita mainkan. Kau dan aku telah berperan sebaik yang kita mampu…selanjutnya ada Dia yang berhak mengatur… dan seburuk apapun…itulah yang terbaik menurutNya…maafkan kelakuan kemarin yang tak berkenan”.
Aku tak tahu harus menjawab apa…semua kalimat yang diucapkannya adalah serpihan-serpihan kalimatku sendiri. Dan aku memilih diam…
“Kak…sudah dulu ya…Wassalam”. Tak ada canda seperti biasa kala ia menelepon, tak banyak cerita yang mengalir dari mulutnya yang kadang tak mengenal kata titik. Dan apakah aku merasa nyaman…?? Entah…

Handphone masih di genggaman… bunyi tut…tut…masih terdengar. Lalu ingin sederhana itu…harus kujawab apa…?? Iya……tidak……



Hanya waktu yang tahu jawabnya
Sebab ia menyimpan sgalanya
Rapat-rapat
Juga tentang tanya dalam hati
Bilakah semua kan berujung
Sungguh, ku ingin tergesa
Segera tiba di penghujung waktu
Tapi sabar
Mungkin jawaban terbaik
Dan usaha terkeras
Yang aku mampu

Senin, 18 Oktober 2010

Hey, kami bukan untuk kau injak-injak, Bung!

Perempuan bermata bola itu akhirnya datang mengadu padaku. Setelah dering telepon atau getar sms kepayahan menyampaikan gundah yang menggelayut di dadanya. Akhirnya dia memutuskan menemuiku. Meski harus menghabiskan waktu semalaman di jalanan. Sepertinya luka di dadanya telah menjelma karat.

“Dik, saya sudah pasrah…”, ujarnya sambil memeluk tubuhku. Erat. Dan rasanya tanpa ia berceritapun, kegundahannya telah terbaca oleh hatiku yang perempuan.
“Menyerah ??”. Ia mengangguk. Hela nafasnya terdengar begitu berat. Aku tahu, ia tak ikhlas dengan kondisi ini. Ia berontak.
“Tak ada lagi jalan, dik. Buntu.”

Lalu diam mengambil alih diantara kami. Dalam kesunyian itulah kucoba mengeja kembali segala runutan perstiwa yang akhirnya membuat kakak perempuanku ini betul-betul terpuruk. Dan selalu saja akhir dari ejaan itu adalah benci. Benci pada keinkonsistenan, benci pada kepengecutan juga benci pada sebuah kata menyerah.
*****
Setahun lalu kakakku masih menyandang rupa riang dalam hari-harinya. Segala hal telah dimilikinya sebagai seorang perempuan dewasa, menurutku. Kecuali satu, ikatan pernikahan. Sebenarnya itu tak perlu menjadi soal jika saja seluruh keluarga tak mendesaknya di usianya yang mencapai bilangan 32. Dan yang membuatnya makin runyam adalah kakakku tak memiliki seorang kenalan lelaki yang betul-betul berniat menjalin hubungan yang serius dengannya.

Hingga suatu sore, saat kami menikmati senja di Losari, seorang perempuan menepuk pundaknya. Lalu ritual bertemu teman lama pun berlangsung. Dari sebuah pelukan kangen beralih ke pembicaraan rumah tangga. Jelas saja, kakakku hanya bisa terdiam. Dan perempuan kenalannya pun mengerti. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba ia menarik lengan lelaki yang dari tadi menemaninya. Lelaki yang kukira suaminya.

“Vin, ini Ammar. Teman SMAku,” ucap sang perempuan memperkenalkan lelaki tinggi hitam di sampingnya. Sekali lagi ritual perkenalan berlangsung. Dan pada akhirnya muara pertemuan hari itu adalah kesedihan yang menggantung di langit hati kakakku.

Hanya bertemu dua kali, komunikasi via telepon, dan tiba-tiba kabar pernikahan mampir di telingaku. Saat itu aku telah berada di tempat yang berbeda dengan keluarga intiku, hingga terlalu banyak episode yang aku lewatkan.
“Kak, sudah dipertimbangkan lagi keputusan ini?”, tanyaku saat ia meneleponku seiring dengan jam yang berdentang sebelas kali.
“Iya, dik. Ammar serius ingin menikah denganku. Ia telah mengutarakannya pada Ibu kemarin”.
“Kakak mencintainya?”. Hening.
“Cinta bisa tumbuh, dik. Seiring berjalannya waktu”. Sungguh kalimat klise.
“Ammar mencintai kakak?”. Pertanyaan bodoh! Tapi semua sudah terlontar.
“Entah, saya sendiri tak tahu. Ia cinta atau tidak. Ia hanya mengatakan ingin menikahi kakak.”
“Kakak sudah siap dengan segala kemungkinan?”.
“Insya Allah, dik. Doakan saja”. Entah mengapa perbincangan malam itu serasa begitu formal. Tak ada tawa terkekeh-kekeh seperti biasanya. Benarkah kakakku telah menemukan lelaki yang tepat? Ah, harusnya saya tidak ragu kalau Ammar adalah lelaki yang tepat. Bukankah dengan menunjukkan keseriusannya pada Ibu tlah cukup menjadi bukti bahwa ia adalah orang yang tepat dan datang pada waktu yang tepat. Barakallah ya kak, doaku malam itu.

Puting beliung!

Seluruh keluarga telah berkumpul, ngantuk sisa perjalananku semalam belum lenyap. Kakakku telah berpakaian rapi. Mataku masih mengerjap memandang kakakku. Akhirnya, kau akan menggenapkan separuh dienmu, kak.

Sungguh dering handphone itu mengganggu telingaku. Kulihat nama yang muncul di layar, Ammar. Kupanggil kakakku. Handphone menjadi saksi. Wajah yang tadi semi kini layu, pasi. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk merubah segalanya. Hanya butuh waktu sepuluh menit beliung menghantam dinding-dinding rumah kami. Sejak itulah aku benci pada sebuah inkonsistensi. Sungguh benci. Hanya dengan sebuah alasan ketidaksiapan, perubahan hati yang mendadak maka porandalah semua yang telah terencana. Dan yang lebih menyakitkan, arang malu telah dicoreng di kening kami, siri’.
Tak cukup kata menggambarkan malu dan kecewa. Cukuplah sampai di sini cerita tentang beliung.
*****
Seorang lelaki sejati, lelaki Bugis-Makassar, pantang berkata dua kali. Pantang mundur dari apa yang telah diucapkannya. Itu sepenggal kalimat yang sering kudengar dari mulut paman-pamanku. Lalu, bagaimana dengan Ammar?? Ah, pertanyaan itu sungguh mengganggu.
“Dia sungguh tak menyangka akan seperti ini, dik”, kakakku masih saja membelanya. Cintakah kau padanya, kak?
“Tapi buktinya dia melakukan sebuah kesalahan yang membuat bapak dan ibu menahan malu, kak.”
“Dia pun malu, dik.”
“Lalu…?? akankah dia bertahan dengan sikapnya yang tidak konsisten? mengabaikan harga diri keluarga kita dan keluarganya demi egonya semata? Jika memang tak berani melangkah sebaiknya jangan melangkah!”. Entah mengapa amarah ini begitu mengubun-ubun. Darah bugis yang mengalir di diri ini rasanya tak terima. 
Sungguh!

Menurut akal sehatku, saat ini bukan lagi berbicara dalam tataran rasa atau apapun itu, tapi harga diri. Rasa bisa tumbuh, tapi harga diri… sekali terinjak-injak maka takkan ada kompromi untuk itu.
“Dik, tak ada yang bisa menolak rencana Tuhan. Kita semua sudah berusaha, namun jika hasilnya serupa ini… tak ada jalan lain selain pasrah”. Perempuan bermata bola itu akhirnya mengeluarkan kalimat andalannya. Kalimat yang pastilah takkan mampu kubantah. Siapa yang bisa membantah jika telah diperhadapkan pada ketetapanNya?
“Tapi, kak… namanya manusa kita diwajibkan berusaha. Sementara di mataku, belum ada usaha maksimal. Setidaknya sebuah usaha untuk mengurangi luka di hati orang tua kita”.
“Hhhhh….luka itu pasti akan terhapus, dik. Waktu adalah penghapus yang terbaik untuk segala luka.”
“Dan kakak akhirnya memutuskan menyerah? pasrah?”. Anggukannya sudah cukup. Cukup menjadi tanda buatku bahwa ia pun sebenarnya berharap semua bisa lebih baik, bahwa ia pun berontak dengan luka ini.

Perbincangan sore ini berakhir buntu. Kedatangan perempuan di hadapanku ini hanya untuk melepaskan sedikit gundahnya. Gundah yang akan ditentengnya lagi saat ia meninggalkanku di sini. Dan diriku yang perempuan makin benci. Seolah ingin kuteriakkan pada lelaki-lelaki di sekitarku, pada semua lelaki hey, kami bukan untuk kau injak-injak, Bung!
*****
Perempuan bermata bola itu akhirnya pergi. Sebelum ia pergi ia hanya menitipkan secarik kertas kecil…
Perempuan, bukan dari tulang ubun ia dicipta, sebab berbahaya membiarkannya dalam sanjung dan puja…. Tak juga dari tulang kaki, karena nista menjadikannya diinjak dan diperbudak.. Tetapi dari rusuk kiri, dekat ke hati untuk dicintai, dekat ke tangan untuk dilindungi. Jadilah perempuan seutuhnya, dik. Jadilah tulang rusuk yang benar-benar pas untuk pasanganmu kelak… sebab fitrah kita untuk dilindungi dan dicinta. Menikahlah kelak dengannya, dengan yang mencintaimu…

Bulir hangat itu akhirnya jatuh, ditengah kegundahannya, di tengah usianya yang kejar deadline, kakak perempuanku masih bisa berjiwa besar menyikapi segalanya. Ia masih bisa menunjukkan jalan buatku, untuk menemukan lelaki yang mencintai…konsisten dan menerima apa adanya…



*sebuah bahan renungan...*

Senin, 11 Oktober 2010

10 - X - Sepuluh

Sepuluh, sepuluh, sepuluh
tepat hari ini
sebuah kebetulan yang terpapar di almanak

sepuluh
angka sempurna yang menjadi mimpi
sekali saja menghias salah satu nilai raportku
semasa kecil dahulu

sepuluh
nilai sempurna dari lelaki
untuk menilai seorang perempuan
adilkah..?

sepuluh
gelaran yang diberikan kawan-kawan pada kami
: aku yang kurus berjalan berdampingan
dengan sahabatku yang bertubuh sedikit gemuk

sepuluh
peringkat yang selalu ada
pada sebuah kompetisi
sepuluh besar

sepuluh sepuluh sepuluh
angka manis yang menghias penanggalan
hari ini

melahirkan beragam kenangan
untuk tujuh pasang orang tua
bagi tujuh bayi yang lahir hari ini

menjadi saksi sebuah akad
yang terikrar dari bibir seorang lelaki
sahabat kecilku

juga menjadi nisan
gugurnya sehelai daun di halaman
terhempas angin jauh...

dan mata hanya bisa menatap penanggalan

sepuluh sepuluh sepuluh
sebuah angka sempurna
untuk sebuah perigi yang kembali berair




**sebuah persembahan untuk tawa juga duka yang lahir hari ini**

Sabtu, 09 Oktober 2010

M.a.l.u.

Waktu telah berbaik hati

di tengah ritmenya yang kadang tanpa belas kasih

ia rela jeda sejenak

memberi ruang, berbagi masa

sebab ini takkan terulang, bisiknya



Almanak pun berbagi kasih

di tengah hitam penanggalan

di berinya istirah sehari dua

semoga cukup, lirihnya



Hujan di luaran malu-malu jatuh perlahan

ramai sekeliling acuh

meja-meja merah menatap bisu

alas makan, sedotan, botol mineral diam-diam

mengerjapkan mata

membiarkan hening yang paling sunyi berlalu

dari telinga juga bibir



dalam diam menunduk, menggugam

:sungguh, kami perempuan

malu...





091010

Senin, 13 September 2010

Saat Menanti RencanaMu


Diri hanya bisa duduk terpekur
menghitung detik yang terus berlalu
tanpa pernah menoleh dan bertanya
tanpa pernah berniat melaju pelan
bukankah sudah harusnya demikian
waktu berdetak tanpa mau tahu
kita ingin dia melambat atau
dipercepat

diri hanya bisa terdiam
menatapi satusatu peristiwa menjalin
yang diingini
yang tak diingini
tak bisa memaksakan
hanya bisa melihat
merekam

dan kepada dia
yang menjadikan diam sebagai kata
diri ini hanya bisa menunggu
Dia dan segala rencanarencanaNya

Minggu, 12 September 2010

Mengapa Perempuan Mudah Menangis...??




sebuah catatan tentang diri kita yang perempuan....

Suatu hari, seorang anak bertanya kepada ibunya, “Ibu, mengapa ibu menangis?”
Ibunya menjawab, “Sebab ibu adalah perempuan, nak.”

“Saya tidak mengerti ibu,” kata si anak.

Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. “Nak, kau memang tak akan mengerti.”

Kemudian si anak bertanya kepada ayahnya. “Ayah, mengapa ibu menangis?”
“Ibumu menangis tanpa sebab yang jelas,” sang ayah menjawab.

“Semua perempuan memang sering menangis tanpa alasan.”

Si anak beranjak menjadi remaja, dan dia tetap terus bertanya-tanya, mengapa perempuan menangis? Hingga pada suatu malam, dia bermimpi dan bertanya kepada Tuhan, “Ya Allah, mengapa perempuan mudah menangis?” Dalam mimpinya dia merasa seolah-olah mendengar jawabannya:

“Saat Ku ciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama.

"Kuciptakan bahunya, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, walaupun juga bahu itu harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur."

“Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan bayi dari rahimnya, walau kerap berulangkali menerima cerca dari si bayi itu apabila dia telah tumbuh dewasa."

“Kuberikan keperkasaan yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah saat semua orang sudah putus asa."

“Ku berikan kesabaran jiwa untuk merawat keluarganya walau dia sendiri letih, walau sakit, walau penat, tanpa berkeluh kesah."

“Kuberikan wanita perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai semua anaknya dalam keadaan apaun juga. Walau acapkali anak-anaknya itu melukai perasaan dan hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada anak- anak yang mengantuk menahan lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya."

“Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya melalui masa-masa sukar dan menjadi pelindung baginya. Sebab bukankah tulang rusuk yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak..?"

“Kuberikan kepadanya kebijaksanaan dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan bahwa suami yang baik adalah yang tidak pernah melukai isterinya. Walau seringkali pula kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami agar tetap berdiri sejajar, saling melengkapi dan saling menyayangi."

“Dan akhirnya, Kuberikan wanita air mata, agar dapat mencurahkan perasaannya. Inilah yang khusus kepada wanita, agar dapat dia gunakan bila-bila masa pun dia inginkan. Ini bukan kelemahan bagi wanita, karena sebenarnya air mata ini adalah air mata kehidupan.”