Pagi ini terbangun di tempat yang berbeda. Lelah semalam menguap sudah. Matahari perlahan bangkit. Menggantikan bulan yang pelan-pelan hilang dari mata telanjangku. Purnama sudah berlalu dua hari kemarin. Hem, kuperhatikan laptopku yang tertidur 4 jam lalu… Hem, biarkan dulu dia istirahat.
Menempuh perjalanan semalam, membuat perutku memainkan orkestra. Masih jam setengah enam subuh, tapi genderang lapar sudah ditabuh. Belum waktunya sarapan sebenarnya, tapi jika kampung tengah menuntut jatah… harus segera terpenuhi… hehe…
Berbicara sarapan, mengingatkanku pada dua makanan kegemaranku sedari kecil. Bassang dan Putu Cangkir. Keduanya makanan sederhana dengan rasa yang tak sederhana buatku. Menjadi candu sedari kecil dan kini menjadi hal yang paling dirindukan lidahku. Apalagi sejak menjadi makhluk nomaden. Makanan itu tak pernah lagi terkecap olehku.
Bassang. Mungkin bagi orang-orang yang pernah menginjakkan kaki di bumi Sulawesi -khususnya Makassar- beberapa puluh tahun silam, pastilah familiar dengan makanan yang tiap pagi dijajakkan dengan sepeda yang membawa panci besar. Bassang tak lain adalah makanan tradisional Sulawesi yang terbuat dari jagung pulen dan santan yang disajikan dalam bentuk bubur. Penyajiannya pun sederhana, hanya ditambahkan sesendok atau lebih gula pasir. Tergantung selera.
Masih teringat waktu kecil dahulu, aku dan adik-adik dengan setia duduk di depan rumah tetangga –rumah kami berada di belakang rumah orang lain- menanti suara yang berteriak bassang…bassang… Jika suaranya telah terdengar dari jauh, maka dengan sigap adikku akan membawa rantang ke pinggir jalan, takut sang pedagang melewatkan kami. Tak lama kemudian uap mengepul dan putihnya bassang beralih dari panci ke rantang kami. Berikutnya ritual sarapan ramai-ramai dimulai.
Kini, tak lagi kutemukan penjual bassang. Tiap menjenguk rumah, selalu kunantikan adanya teriakan bassang…bassang… Tapi, penantianku sia-sia. Terakhir menikmati bassang lima tahun lalu. Pedagangnya kebetulan tetangga. Tiga tahun lalu meminta adik bungsuku membelikan pada tetanggaku tersebut, ia hanya berucap… Daeng Ngai sudah tidak jualan lagi, Kak. Sudah mati ditikam. Setelah itu, tak lagi mudah menemukan pedagang bassang. Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Lain bassang lain pula dengan Putu Cangkir. Aku menamakannya si manis karena bentuknya dan warnanya. Bentuknya yang imut dan warnanya yang coklat, ibarat seorang gadis berkulit sawo matang di depanku… (haha, analogi yang sama sekali salah sambung). Putu cangkir adalah salah satu makanan khas Bugis-Makassar yang terbuat dari campuran tepung ketan, gula merah dan kelapa parut kemudian dibentuk menggunakan cangkir dengan memanfaatkan uap air mendidih. Rasanya legit di lidah. Dan makanan ini sungguh membuatku kecanduan sejak kanak-kanak.
Jikalau bassang dijajakkan dengan menggunakan sepeda atau gerobak, maka putu cangkir dijajakan di pinggir jalan –dulunya. Penjualnya pun rata-rata adalah wanita yang telah berumur, terkesan tua. Senasib dengan bassang, putu cangkir pun telah mendekati kepunahan. Meski cara membuatnya sederhana, namun tak semua generasi mampu membuatnya.
Berbeda dengan Bassang, si manis Putu Cangkir masih lebih beruntung. Pedagang kue ini masih bisa dijumpai di pasar-pasar tradisional yang mulai tergeser oleh supermarket. Jika melihat seorang perempuan setengah baya tua, duduk di pinggir jalan dengan baskom berisi tepung berwarna coklat dan panci kecil yang mengepul, singgahlah sebentar siapa tahu itu kesempatan terakhir mencicipi putu cangkir (semoga tidak).
Bassang dan putu cangkir hanyalah contoh dari beberapa makanan tradisional yang dirindukan namun perlahan terlupakan. Dirindukan oleh orang-orang sepertiku, yang jauh dari tanah kelahiran. Dilupakan oleh adik-adikku yang lebih senang menikmati fastfood. Yah, kuakui segala macam fastfood itu memang sangat menggoda mata dan lidah. Sayang, lidahku lidah kampung…hingga masih saja merindukan bassang dan putu cangkir …
Terkait dengan tulisan ini :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar