Selasa, 22 Desember 2009

Jejak Jejak Mimpi

Lalu,
Jejak-jejak mimpi semakin dalam
Menanam akarnya dalam ingatan
Dalam ruang jiwa…
Hingga mempertemukan kita dalam dunia
Yang tlah lama kita damba

Semilah…
Semilah kuncup-kuncup mimpiku
Semilah benih-benih harapanku
Hingga kau ranum dalam taman-taman
Anganku…
Yang kuharap menjelma nyata…

Menanti Purnama

Genap sedasawarsa
Saban sore menatap langit
Menghitung detik hingga surya pulang
Pada pelukan purnama
Semua berlalu tanpa rasa

Dan…
Tanpa sadar putih uban telah semi
Di sepertiga ladang kepalaku
Memantulkan kilaunya tiap pagi
Pada buram cermin di dinding

Genap sedasawarsa
Diriku yang lelaki
Menghitung uban di Losari
Dan terus menunggu

Bila purnama kan pulang
Memeluk diriku yang surya
Memadamkan rindu
Yang sebentar lagi susut

Kamis, 17 Desember 2009

Jejak Hari Ini....





Seharian lelah menanti dosen, akhirnya membuat jejak di Ishola bersama kawan-kawan... Jejak yang kan jadi kenangan di usia senja kelak...

Sabtu, 05 Desember 2009

Apa Salahnya Menangis?...

Apa salahnya menangis, jika memang dengan menangis itu manusia menjadi sadar. Sadar akan kelemahan-kelemahan dirinya, saat tiada lagi yang sanggup menolongnya dari keterpurukan selain Allah SWT. Kesadaran yang membawa manfaat dunia dan akhirat. Bukankah kondisi hati manusia tiada pernah stabil? Selalu berbolak balik menuruti keadaan yang dihadapinya. Ketika seseorang menghadapi kebahagiaan maka hatinya akan gembira dan saat dilanda musibah tidak sedikit orang yang putus asa bahkan berpaling dari kebenaran.

Sebagian orang menganggap menangis itu adalah hal yang hina, ia merupakan tanda lemahnya seseorang. Namun bagi seorang muslim yang mukmin, menangis merupakan buah kelembutan hati dan pertanda kepekaan jiwanya terhadap berbagai peristiwa yang menimpa dirinya maupun umatnya.
-Rasulullah SAW meneteskan air matanya ketika ditinggal mati oleh anaknya, Ibrahim.
-Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a digelari oleh anaknya Aisyah r.a sebagai Rojulun Bakiy (Orang yang selalu menangis) karena beliau senantiasa menangis, dadanya bergolak manakala sholat dibelakang Rasulullah SAW karena mendengar ayat-ayat Allah.
-Abdullah bin Umar suatu ketika melewati sebuah rumah yang di dalamnya ada sesorang sedang membaca Al Qur’an, ketika sampai pada ayat: “Hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam” (QS. Al Muthaffifin: 6). Pada saat itu juga beliau diam berdiri tegak dan merasakan betapa dirinya seakan-akan sedang menghadap Robbnya, kemudian beliau menangis.
Lihatlah betapa Rasulullah SAW dan para sahabatnya benar-benar memahami dan merasakan getaran-getaran keimanan dalam jiwa mereka. Lembutnya hati mengantarkan mereka kepada derajat hamba Allah yang peka.

Bukankah diantara tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan pada hari dimana tiada naungan kecuali naungan Allah adalah orang yang berdoa kepada Rabbnya dalam kesendirian kemudian dia meneteskan air mata? Tentunya begitu sulit meneteskan air mata saat berdo'a sendirian jika hati seseorang tidak lembut. Yang biasa dilakukan manusia dalam kesendiriannya justru maksiat. Bahkan tidak sedikit manusia yang bermaksiat saat sendiri di dalam kamarnya. Seorang mukmin sejati akan menangis dalam kesendirian dikala berdo'a kepada Tuhannya. Sadar betapa berat tugas hidup yang harus diembannya di dunia ini.

Menangis merupakan sebuah bentuk pengakuan terhadap kebenaran. “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri) seraya berkata: “Ya Robb kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad)”. (QS. Al Maidah: 83).

Ja’far bin Abdul Mutholib membacakan surat Maryam ayat ke-16 hingga 22 kepada seorang raja Nasrani yang bijak. Demi mendengar ayat-ayat Allah dibacakan, bercucuranlah air mata raja Habsyah itu. Ia mengakui benarnya kisah Maryam dalam ayat tersebut, ia telah mengenal kebenaran itu dan hatinya yang lembut menyebabkan matanya sembab kemudian menangis. Raja yang rindu akan kebenaran benar-benar merasakannya.
Orang yang keras hatinya, akan sulit menangis saat dibacakan ayat-ayat Allah. Bahkan ketika datang teguran dari Allah sekalipun ia justru akan tertawa atau malah berpaling dari kebenaran. Sehebat apapun bentuk penghormatan seorang tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul kepada Rasulullah SAW, sedikit pun tidak berpengaruh pada hatinya. Ia tidak peduli ketika Allah SWT mengecam keadaan mereka di akhirat nanti pada ayat, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan neraka yang paling bawah. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolongpun bagi mereka”. (QS. An Nisa’: 145)

Barangkali di antara kita ada yang belum pernah menangis, maka menangislah disaat membaca Al Qur’an, menangislah ketika berdo'a di sepertiga malam terakhir, menangislah karena melihat kondisi umat yang terpuruk, atau tangisilah dirimu karena tidak bisa menangis ketika mendengar ayat-ayat Allah. Semoga hal demikian dapat melembutkan hati dan menjadi penyejuk serta penyubur iman dalam dada. Ingatlah hari ketika manusia banyak menangis dan sedikit tertawa karena dosa-dosa yang diperbuatnya selama di dunia. “Maka mereka sedikit tertawa dan banyak menangis, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS At Taubah: 82).

Jadi apa salahnya menangis?.

sumber : eramuslim.com

Tentang Perempuan (Khususnya buat Para Lelaki)

Perempuan adalah penolong yang sepadan buat lelaki, bukan sparing partner yang sepadan.
Ketika pertandingan hidup dimulai, perempuan takkan berhadapan dengan lelaki untuk saling berlawanan. Tetapi, akan berada bersama lelaki, berjaga-jaga di belakangnya saat lelaki di depan atau mengembalikan bola ketika terlewat oleh lelaki. Perempuanlah yang akan menutupi kekurangan lelaki.

Perempuan ada untuk melengkapi yang tak ada dalam laki-laki : perasaan, emosi, kelemah lembutan, keluwesan, keindahan, kecantikan, rahim untuk melahirkan, mengurusi hal-hal sepele. Hingga ketika laki-laki tidak mengerti hal-hal itu, dialah yang akan menyelesaikan bagiannya, sehingga tanpa lelaki sadari ketika menjalani sisa hidupnya, maka ia menjadi lebih kuat karena kehadiran perempuan di sisinya.

Jika ada makhluk yang sangat bertolak belakang, kontras dengan lelaki, itulah perempuan.
Jika ada makhluk yang sanggup menaklukkan hati hanya dengan sebuah senyuman, itulah perempuan.

Ia tidak butuh argumentasi hebat dari seorang laki-laki, tetapi ia butuh jaminan rasa aman darinya karena ia ada untuk dilindungi, tidak hanya secara fisik tetapi juga emosi.
Ia tidak tertarik kepada fakta-fakta yang akurat, bahasa yang teliti dan logis yang bisa disampaikan secara detail dari seorang laki-laki. Tetapi yang ia butuhkan adalah perhatian, Kata-kata yang lembut, ungkapan-ungkapan sayang yang sepale namun baginya sangat berarti, dan membuatnya aman di dekatmu….

Batu yang keras dapat terkikis habis oleh air yang luwes. Sifat laki-laki yang keras ternetralisir oleh kelembutan perempuan. Rumput yang lembut tidak mudah tumbang oleh badai dibandingkan dengan pohon yang besar dan rindang. Seperti juga di dalam kelembutan perempuan, di situlah terletak kekuatan dan ketahanan yang membuatnya bisa bertahan dalam situasi apapun.
Ia lembut bukan untuk diinjak. Rumput yang lembut akan dinaungi oleh pohon yang kokoh dan rindang. Jika lelaki berpikir tentang perasaan wanita, itu sepersekian dari hidupnya. Tetapi jika perempuan berpikir tentang perasaan lelaki,itu akan menyita seluruh hidupnya.
Karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki- laki. Karena perempuan adalah bagian dari laki-laki… Apa yang menjadi bagian dari hidupnya, akan menjadi bagian dari hidupmu. Keluarganya akan menjadi keluarga barumu. Keluargamu pun akan menjadi keluarganya juga. Sekalipun ia jauh dari keluarganya, namun ikatan emosi kepada keluarganya tetap ada karena ia lahir dan dibesarkan di sana. Karena mereka, ia menjadi seperti sekarang ini. Perasaannya terhadap keluarganya, akan menjadi bagian dari perasaanmu juga… Karena kau dan dia adalah satu…. Dia adalah dirimu yang tak ada sebelumnya. Ketika pertandingan dimulai, pastikan dia ada di bagian lapangan yang sama denganmu.

Disadur dari :http://iqbalir.blogspot.com.

Kamis, 03 Desember 2009

Pada Sang Penyair Malam


Engkau penyair malam
Yang telah membuatku jatuh cinta
Pada bait-bait sajakmu
Saat bulan genap penuh

Lalu serupa makhluk dalam mitologi
Sajak-sajakmu menjelma garang
Melolong dalam perih
Memangsa segala nyeri
Hingga tersisa ruang kosong melompong
Dalam hati

Wahai penyair malam
Biarkan aku mencintaimu
Dalam lembar-lembar kertas penuh aksara
yang tlah kau jalin
Dengan akad yang suci
Sebab dengan itu kumampu selami hatimu…

Ketika Usai....


bahagia mungkin merupakan sebuah kata yang mewakili kami saat ujian mikroteaching usai...dan tak lupa mengabadikannya melalui sebuah gambar...

Selasa, 01 Desember 2009

Sketsa Perasaan

Terbuat dari apakah perasaan ? Hingga ia bisa datang tiba-tiba, lalu menguap tiba-tiba pula. Dari ada menjadi tiada. Aku tidak pernah bisa mengerti mengapa perih selalu menghunjam ketika pemandangan yang sama terpapar di depanku. Tentang sepasang kekasih, siapa saja, yang saling merapatkan tubuh saat tungku langit mulai padam.

Sepasang kekasih selalu mengingatkanku pada sosok perempuan, berbaju dan ber-rok biru, yang berjalan di tengah malam dengan sebatang lilin di tangan. Aku tidak tahu mengapa ia menyalakan lilin sedang lampu jalan begitu menyilaukan. Redup lilin tak sebanding dengan binar lampu dengan berbagai voltase yang begitu angkuh melawan kelam malam. Belum lagi lelehan lilin yang panas lalu hangat menyisakan sepuhan putih di tangannya. Apa yang dilakukannya tengah malam begini ?

Perempuan itu akan terus berjalan hingga lilin di tangannya padam kehabisan sumbu. Lalu ia akan berdiri di tempat dan masa lilin itu padam. Di tempat yang sama. Di bawah pijar kekuningan. Remang. Sepertinya ia telah menghitung lama nyala lilin dan jumlah langkahnya menuju tempatnya berdiri. Serupa menunggu seseorang. Dan aku dengan setia mengintip di kisi jendela kamar. Perempuan itu baru beranjak jika tiang listrik telah dibunyikan lima kali. Lalu aku akan terkantuk-kantuk sepanjang hari karena semalaman mengamatinya.

Serupa apakah perasaan? Serupakah dengan buku yang harus disampul dengan kertas berupa warna? Tertutupi dari ihwal sebenarnya. Sedih ditutupkan riang, tangis ditutupkan tawa. Tapi, tidak dengan perempuan itu. Selalu saja rupanya menggambarkan satu rasa, sendu.

Malam ini, malam kemarin, malam kemarin lusa, bermalam-malam lalu ia masih melakukan hal yang sama. Sudah enam bulan. Selama itu pula aku menatapnya di balik jendela. Tak pernah berani menyapanya. Ia seolah tak lelah berdiri di bawah redup lampu jalan hingga malam tiba pada ujungnya. Hanya berdiri. Menatap langit dan ujung jalan. Seolah dari langit ia nantikan malaikat, dan dari ujung jalan diharapkan kekasihnya tiba.

Ia tidak gila. Mungkin sedikit tertekan dengan dunianya sekarang. Ia masih waras. Ia masih bisa tersenyum jika seseorang menatapnya. Ia pun selalu menoleh ke ujung jalan jika mendengar tapak sepatu. Ia hanya menanti.

Serupa apakah perasaan? Hingga ia kadang begitu kekal, kadang pula ia fana. Kadang bertahan di hati hingga ajal menjemput, namun tak jarang singgahnya hanya sebentar.

Perempuan itu memiliki kisah yang hanya aku seorang mampu menceriterakannya. Karena ia adalah kekasihku, dulu. Enam tahun kami bersama. Semua telah kami lalui bersama, seperti pasangan kekasih lainnya. Tertawa, bersedih, marah, rindu, semua telah berbaur. Saban hari ia ke rumahku, melakukan hal yang harusnya dilakukannya jika ia telah kuperistri Setiap senja kami menghabiskan waktu memandangi pijar langit yang mulai pupus.Hampir semua kami lakukan bersama. Kecuali beberapa hal.

”Berjanjilah untuk menjadi malaikatku,” pintanya suatu senja. Anggukan kepalaku mengukir senyum manis di wajahnya.

Perempuan itu begitu senang jika lampu tiba-tiba dipadamkan pada malam hari. Pada waktu itu tempat tinggalku selalu jadi langganan pemadaman bergilir. Ia akan segera menyalakan sebatang lilin, lalu duduk di depannya dan mengamatinya meleleh sedikit demi sedikit.

”Lilin ini begitu anggun. Meski pijarnya lemah, namun mampu membuat gelap manjadi sangat indah. Meski hanya sebatang.” Itu satu kalimat yang menggambarkan kekagumannya pada benda putih panjang itu.

Ia ingin menjadi seperti lilin yang selalu dibutuhkan orang-orang. Apalagi jika lampu telah kehabisan energi. Meski tampak sederhana, namun mampu menjadi terang saat gelap.

Perempuan itu sejatinya telah mengisi hampir semua kisi hatiku. Tak sedikitpun celah ia sisakan. Hingga tiba-tiba semua hal tentangnya menekanku. Menyesakkan napasku. Semua terjadi tanpa kusadari dan kuingini. Apa yang telah diisinya kini berongga. Makin laun rongga itu membesar dan menghapus perempuan itu dari hatiku. Sedikit demi sedikit.

Terbuat dari apakah perasaan ? Hingga kadang ia selembut sutera, namun tak jarang sekeras karang. Begitulah kami dipisahkan. Perasaannya yang lembut telah kalah oleh karang yang menghuni hatiku. Danau di kedua wajahnya telah meluap, tak mampu menampung hujan yang dicurahkan hatinya.

”Kenapa kita harus berpisah ?”

”Karena perasaanku sudah tak ada lagi buatmu”

Terbuat dari apakah perasaan ? Hingga ia bisa datang tiba-tiba, lalu menguap tiba-tiba pula. Dari ada menjadi tiada. Seperti pula yang kurasakan pada perempuan itu. Semua yang dulunya begitu kujaga tiba-tiba hilang tak berbekas. Mengapa ia tak bisa menjadi sesuatu yang kekal di hatiku, meski kutahu tak ada yang kekal kecuali Sang Maha.

Jika saja perasaan ini kekal pada perempuan itu, ia tak akan seperti ini. Menanti tiap malam. Ditelanjangi oleh pandangan laki-laki iseng. Dianggap pelacur. Ditertawai serupa orang gila. Namun, semua ia balas dengan senyuman, serupa senyuman di suatu senja saat kukecup dahinya pertama kali. Dan sebatang lilin, tak pernah lepas dari jemarinya, meski yang tersisa hanya sepuhan putih.

Malam ini hujan begitu angkuh memamerkan orkestranya di atap-atap rumah. Aku telah meringkukkan badan di tempat tidur. Sepanjang malam langit tak berhenti menguras awan-awan kelabu. Aku teringat perempuan itu. Mungkinkah ia ada di sana? Di bawah lampu jalan dekat jendela kamarku. Ah, tak mungkin ia datang malam ini. Ia tidak gila untuk berhujan-hujan di tengah malam yang menggigit. Lilinnya tak mungkin menyala diterpa titik-titik langit. Malam ini untuk pertama kalinya, aku tertidur pulas tanpa mengamati perempuan itu. Hujan, terima kasih.

Terbuat dari apakah perasaan ? hingga mataku tak sedikitpun mampu meneteskan hujan dari kedua rongganya saat melihat tubuh perempuan itu dikelilingi orang-orang. Perempuan berbaju dan ber-rok biru itu ditemukan kaku di bawah lampu jalan dengan sebatang lilin yang masih utuh di tangannya.

4 April 2007

Sebuah Kisah Sebulat Bakso

“Aku paling benci dengan bakso”

“Kenapa ?”

“Trauma ”

“Kenapa ?”

Kau menanyakan salah satu pertanyaan yang paling enggan aku dengar dan jawab. Bakso.

Mungkin kau sama dengan orang-orang sekitarku yang menggemari makanan bulat-bulat daging itu. Kau akan heran, mungkin sedikit kesal, mendengar aku benci dengan makanan favoritmu.

Dulu, aku juga gemar makan bakso apalagi yang hangat –sangat. Barangkali melebihi dari kau dan teman-temanmu. Tapi itu dulu, dulu sekali.

Jangan memaksaku bercerita. Aku enggan. Akan tiba masanya. Masing-masing hal punya waktunya sendiri. Bukan hari ini. Tunggu. Aku tak mau berbicara tentang bakso hari ini.

Ah, aku benci kalau perempuan merajuk di depanku. Terlalu kekanakan. Tapi jangan pula kau anggap aku benci padamu karena merajuk minta satu bagian kenanganku. Aku tetap sayang kamu walau kau seperti itu, bukankah kau kelak akan jadi istriku ?.

***

Aku bertemu dengannya sesaat, hanya sesaat. Bukan bertemu. Hanya memandang wajahnya. Sekilas. Lalu tiba-tiba ada tungku penghangat di dadaku. Uap hujan dingin mengepung waktu itu.

Ia sedang menikmati semangkuk bakso. Sendiri. Melamun. Ia terlalu laun mengunyah bola-bola di mangkuknya jauh lebih laun dari uapnya yang lesat dalam cuaca dingin. Sendok hanya dipegangnya sebentar-sebentar. Selebihnya ia asyik bermain dengan hayal. Aku memperhatikannya di balik kaca. Aku berdiri di luar sedang menunggu hujan berhenti. Ia di dalam, murung.

Aku melihatnya lagi suatu ketika. Di warung yang sama. Duduk menghadap arah yang sama, di kursi yang sama. Ia masih memiliki kegemaran yang sama, membiarkan semangkuk bakso dingin di hadapannya sementara ia berbicara dengan pikirannya sendiri. Ia seperti seorang pemain tetaer dengan bakso dingin itu sebagai properti semata.

“Bakso itu enak dinikmati saat masih hangat. Apalagi saat musim hujan seperti ini. Panas airnya membagi hangat bagi tubuh, juga kadang-kadang hati kita ”.

Aku berdiri di hadapannya. Tersenyum. Ia memandangku. Lalu menunduk memandangi bakso-bakso seperti balon coklat mengapung di mangkuknya.

Ia masih asyik sendiri, seolah tak ada aku di depannya. Padahal, saat itu aku sedang menikmati semangkuk bakso dengan kepul uap tepat di depan wajahnya. Ia berdiri. Menuju kasir. Membayar semangkuk bakso dingin. Lalu pergi tanpa menoleh, kuharap ia menoleh.

Pelayan warung datang mengambil mangkuk di depanku sambil geleng-geleng kepala. Mangkuk penuh bakso dingin yang tak tersentuh oleh sendok yang digenggam jemarinya kini berkumpul dengan mangkuk-mangkuk lainnya yang telah kosong. Pelayan mencuci mangkuk-mangkuk. Bakso dingin menggelinding ke tempat sampah. Bukan koyak oleh geligi gadis manis itu.

Mangkuk di depanku sudah kosong. Kelenjar hipothalamusku mengisyaratkan rasa kenyang, Organ-organ pencernaanku sempurna telah menerima stimulus tersebut. Aku berdiri. Berjalan ke kasir membayar bakso hangat nikmat.

“Perempuan aneh”, bisik penjaga kasir sambil menyerahkan kembalian. Kata itu terekam di pita ingatanku.

***

Detik berputar di pergelangan tanganku. Kalender di kamarku telah sobek empat belas lembar sejak pertama melihat perempuan aneh itu.

Lambung dan ususku sudah dua pekan mencerna bakso tiap siang. Perempuan itu masih sama. Menikmati bakso dingin dengan sebuah hayal dan segudang diam. Aku makin penasaran olehnya.

Tiap malam neuron sarafku bekerja keras memikirkan perempuan itu. Ia bagai sebuah misteri bagiku. Ia mengajakku bertualang memecahkannya. Kadang aku menganggap diriku bodoh telah melalaikan tugas-tugasku yang menumpuk hanya untuk memusatkan pikiran padanya. Namun, tungku hangat di dadaku yang telah menyala tak bisa aku padamkan dengan segala alasan rasional yang diajukan otakku.

Hari ini kuliahku padat. Mulai sejak pagi dan jeda sesaat pukul dua belas siang. Cacing-cacing di perutku mulai seperti rombongan demonstran. Lambungku mulai mengeluarkan asam hingga mual yang kurasa sudah tiba di tenggorok. Aku harus segera mengisi perut.

Aku duduk di hadapannya. Tanpa mengucap sesuku kata. Segera aku nikmati isi mangkuk yang masih mengepul di depanku. Jeruk nipis, kecap dan sambal bercampur memberi warna dan rasa yang pas di lidah. Keringat mengalir di dahi. Nikmat.

Sempat kualihkan pandanganku, aku lihat perempuan itu tersenyum memperhatikanku. Belum sempat kutegur, ia telah berdiri menuju kasir membayar bakso dinginnya dan bakso hangatku. Ia mulai berubah.

***

“Ajari aku menikmati bakso seperti yang kau lakukan”.

Aku terkejut mendengar ucapannya saat aku baru duduk di meja. Tak ada bakso dingin di hadapannya. Aku memesan dua mangkuk bakso hangat. Masing-masing di hadapan kami.

Hari itu ia mulai belajar marasakan hangat yang ditawarkan semangkuk bakso. Hari itu kami mulai menikmati bakso hangat bersama. Ditemani sebias senyum.

Hidup dapat diibaratkan dengan semangkuk bakso. Kadang ia begitu pedas, terlalu kecut, asin, manis atau pas. Tergantung bagaimana kita menambahkan rasa pada mangkuk yang telah berisi gulungan mie dengan bulatan terapung pada air hangat. Begitu pula hidup, tergantung bagaimana kita mengartikan semua peristiwa yang kita jalani dalam alur hidup ini. Hari-hari yang kami lalui pun sama dengan semangkuk bakso yang tiap hari kami nikmati di siang hari sambil mengusir dingin yang dibawa oleh bulan-bulan yang basah. Bulan-bulan penghujan.

Hampir setahun kami menikmati bakso bersama. Menikmati hubungan kami. Ia mulai pandai menambahkan rasa di mangkuknya. Ia mulai pandai menikmati hangatnya air di mangkuk yang disertai kepulan-kepulan uap panas. Ia mulai pandai mengunyah bulatan kenyal dengan geliginya yang rapat dan menggelindingkannya ke dalam lambung dan usus yang melilit-lilit. Ia sudah melupakan diam dan hayalnya lalu mengganti dengan senyuman dan pesona yang terlalu lama dikuburnya.

An, aku ingin menikmati bakso lagi. Di tempat berbeda. Waktu yang berbeda.

Smsnya mengusik hening kamarku. Aku heran. Baru sekali ini ia membuat janji hanya untuk menikmati semangkuk bakso. Biasanya tak perlu ada janji, kami tahu waktu yang tepat untuk saling bertemu. Kubalas smsnya menanyakan tempat dan waktu. Balasannya masuk ; di sebuah rumah makan di Pantai Losari, pukul lima sore. Waktu yang tak biasa buatku.

Ia terlambat lima menit. Biasanya ia tak pernah terlambat. Ia yang selalu menunggu. Sebuah senyum dilemparkannya bersamaan dengan sentuhan pantatnya dengan kursi di depanku. Tak lama, ia memesan dua mangkuk bakso hangat. Satu di depanku, satu di depannya.

Ia mulai menambahkan berbagai rasa di mangkuknya. Terampil ia menikmati bulatan-bulatan terapung di mangkuknya. Seolah-olah ia telah seabad menikmati hidangan di depannya, padahal baru setahun yang lalu ia memintaku mengajarnya. Seolah ia adalah orang yang pertama menemukan makanan itu.

Kini mangkuk di hadapanku yang mulai dingin. Lama kuperhatikan ia menikmati baksonya. Rasa yang begitu pas di lidahnya, meski terlihat begitu pedas buat lidahku. Aku tak ingin menambahkan rasa apa-apa di mangkukku. Ingin kunikmati apa adanya.

Mangkuk di depannya sudah kosong. Aku masih sibuk mengunyah saat ia menyentuhkan telapaknya pada punggung tanganku yang telanjang. Ia menarik nafas. Tersenyum. Memandangku lalu beralih ke luar, memandang birunya laut yang akan menenggelamkan surya yang mulai susut pendar.

“An, terima kasih selama ini telah mengajarkan hidup padaku melalui semangkuk bakso. Hari ini aku bahagia. Aku akan menikah bulan depan dengan lelaki yang dahulu membuatku berteman diam dan hayal. Ia sudah berubah, sama berubahnya dengan diriku. Hari ini, mungkin, terakhir kali kita menikmati bakso bersama. Semangkuk bakso hangat yang mengalirkan hangatnya di raga dan hati, seperti katamu”.

Ekor ucapan itu lepas dari sepasang bibirnya bersamaan dengan sebuah urat yang tersangkut di leherku, menimbulkan rasa yang tak nyaman di tenggorokanku. Bukan cuma tenggorokan, tapi hatiku dengan empat lobusnya pun perih mendengar ucapannya.

Jadi, selama setahun ini aku tak berarti apa-apa baginya. Hanya sekedar menjadi guru yang mengajarkan cara makan bakso yang benar dan nikmat. Begitu berbeda dengan yang kurasakan. Ia begitu istimewa. Bahkan aku telah membayangkan ia yang akan menjadi istriku. Aku akan melamarnya setelah aku menyelesaikan semua yang bersangkut paut dengan kuliahku. Tapi, hari ini…

“An, kenapa baksomu tak kau habiskan ? sakit ?”

“Tidak, tidak. Aku sudah kenyang. Sebelum ke sini aku sempat makan”

“Ya sudah. Pulang sekarang ?”.

Kami berpisah di depan warung makan. Ia dijemput oleh calon suaminya. Sempat ia menawarkan niat baik mengantarkanku pulang. Aku menolak. Terlalu sakit saat harus melihat perempuan yang setahun mengisi hatiku bersama orang lain.

Aku ingin sendiri. Berusaha melupakan semua kenangan tentang bakso, tentang ia. Semangkuk basko hangat tak lagi menularkan hangat di hatiku, tapi membekukannya.

***

“Jadi, hanya karena seorang perempuan kamu jadi benci makan bakso?”

“Begitulah..”

“Bagaimana dengan hatimu, masih beku?”

“Tidak, tentu saja. Kan sudah ada kamulebih hangat dari bakso manapun”

“Gombal”

“Kamu masih mau kan jadi istriku…?”

"Asal aku masih dibolehkan makan bakso. Dan mengajari kamu menikmati hangatnya semangkuk bakso....".