Rabu, 25 Agustus 2010

Belum Pulang

hingga kita diskusi pada kata
padahal malam melarut kian ke dalam
sedang kata tetap dipori-porinya
membagi arti di setiap bunyi
kita berbunyi dan kerana itu kita bersuara
gelap saja bersuara
sepi pun memainkan nadanya sendiri
meski senyap
meski hitam
Kata entah kapan?
merantai diri dalam kalimat
tapi yg kumengerti bila diam juga kata...


ingatlah hujan kala merintik
rasakan angin yang mengelus
dedaun kala mendesah
ombak yang mengetuk
hentakan terompah pada tanah
dia bunyi yg berbagi untuk kita kata
tapi bukan makna,memaksa makna
hanya bunyi
kita lalu berpuisi, bernyayi, dan diskusi
menangkap tanpa inspirasi tak penting
denyaran juga mencipta kata
dan... apa lagi?


P.S :
Dari sebuah catatan yang direlakan, usai berdiskusi tentang kata...

Kaki Waktu

Kelak,
Waktu akan merampasmu pula
Membentangkan jeda tak berkesudahan
Antara kau dan aku


Lalu kita akan berlari berjauhan
Urung bertemu
Yang tesisa hanya lengang yang panjang

Saat Kau Beranjak

Senja telah susut saat kau beranjak
Meninggalkan tetanda
Yang kau ukir di ujungujung ingatan


Hujan telah berlari
Serupa langkahlangkah lebarmu
Meninggalkan genangan
Yang kau ikat bersama layanglayang


Saat kau beranjak
Ada yang tertinggal di rongga dada
Serupa asap, putih, halus
Lalu menguap di langit belangbelang

Padamu Lelaki

Padamu lelaki
Jedalah kau menjelma kumbang
Hinggap ke berupa kembang
Sedang hati dilanda gamang
Mengumpulkan serpihan ingatan
: Padamu yang beranjak menghilang

Bening dalam Hening

Aku ingin keluar dari penat ini
Menghentikan aluralur yang mengalir dari dua perigi di wajahku
Aku ingin berlari dari jerat yang telah lama mengikat kepak sayapku
Aku ingin semuanya hilang lalu membiarkanku dibuai hening

Tak jua kuperoleh ramai
Dari jiwajiwa semesta

Hujan sore tadi telah mengikis ingatanku
Tentang jalan yang dibentang dari ujung hati
Juga menghapus semua pertanda
Yang diurai kenangan

Bening dalam hening
Begitu yang kumimpi

Ingatan Sebulat Bola

Terik. Panas. Keluhku pada bola kuning yang tepat berada di atas kepalaku. Pening. Kepalaku berputar merasa sengatannya.

Sore ini semua anak-anak pemulung disini bermandi peluh memainkan benda bundar di kaki-kaki mereka. Aku tak ikut. Aku hanya bisa menonton kegembiraan mereka. Aku lebih memilih duduk di kursi depan rumah yang dibuat dari tumpukan kardus dan seng bekas. Rumah itu berdiri tak seimbang. Miring ke sebelah kanan. Rumah itulah peninggalan terakhir bapak sebelum ia mati dikeroyok oleh pemulung dari kampung lain. Bapakdikeroyok karena dianggap mengambil rezeki mereka. Sebuah tumpukan besi bekas yang jika dijual mampu menghasilkan lebih banyak lembaran uang jika dibandingkandengan menjual gelas-gelas plastik. Bapak tidak salah, iitu kata ibu. Bagi pemulung, dimanapun ia memperoleh barang-barang bekas atau sampah, maka itu adalah miliknya. Bukan milik siapa-siapa. Tapi, orang-orang yang mengeroyok bapak menganggap bahwa tumpukan besi itu milik mereka karena bapak mengambilnya di daerah yang dekat dengan wilayah mereka. Hidup melarat telah merubah watak-watak murni manusia.

Anak-anak itu masih ramai mempermainkan benda bulat di antara kaki-kaki kecil mereka.Mengoper kesana kemari sambil diiringi tawa mereka. Tawa khas anak-anak. Aku masih betah mengamati mereka di balik sarung yang menutupi separuh tubuhku. Seorang anak lelaki yang paling kecil tubuhnya menghampiriku. Mengajak aku bermain bersama mereka. Menarik tanganku. Aku menggeleng. Aku lebih suka mengamati mereka bermain. Merasa aku menolak ajakannya, ia lalu berlari ke kumpulannya tadi. Berbisik pada anak lelaki yang bertubuh besar. Mereka berdua menoleh padaku lalu tersenyum. Kulambaikan tanganku membalas senyum mereka. Mereka lalu kembali pada dunia mereka semula. Asik.

Skor hari ini imbang antara mereka. Tak ada menang, tak ada kalah. Tak ada saling jago-jagoan. Lapangan berdebu tak berumput mulai melepas jejak-jejak kecil mereka. Tinggal beberapa orang yang tinggal menghabiskan peluh yang sedari tadi mengalir sambil menghitung lembaran berwarna di tangan mereka. Peluh habis dari badan. Terbawa angin atau terserap oleh pori. Mereka tak peduli, yang jelas hari itu mereka senang. Usai memulung, mendapat uang, lalu bermain sepak bola. Hidup ini terlalu indah untuk dijadikan beban oleh mereka.

Burung-burung sore mulai riuh rendah menghias cakrawala. Melepas mentari yang hendak istirah setelah bertugas seharian. Anak-anak tadi mulai beringsut pulang. Kecuali dua orang. Anak yang bertubuh paling kecil –yang mengajakku bermain tadi– dan temannya yang bertubuh paling besar. Mereka ke arahku. Menghampiri.

"Kenapa kau tak mau bermain tadi ?", yang kecil bertanya padaku.
"Aku tak bisa"
"Tak bisa atau tak tahu?", kali ini yang besar menyahut.
"Dua-duanya"
"Kenapa?". Aku memilih diam tidak menjawab. Aku bisa merasakan betapa menyenangkan bermain seperti mereka. Tapi aku memang tidak bisa dan tidak tahu.
"Kami akan mengajarimu", ucap mereka sambil menemaniku masuk ke rumah. Setelah itu mereka berpamitan pada ibu yang sedang menghidang ubi rebus di atas bale-bale.

Bale-bale itu multifungsi buatku dan ibu. Tempat tidur, tempat makan, tempat duduk-duduk, menerima tamu, dan tak jarang digunakan ibu untuk meyusun gelas-gelas plastik bekas yang telah dibersihkan. Bale-bale itu adalah salah satu tempat favoritku selain kursi depan rumah. Entah mengapa aku suka pada benda yang membuatku nyaman duduk di atasnya. Ibu mengajak mereka mencicip ubi. Mereka menolak. Mereka harus pulang. Maghrib tlah tiba. Muadzin di mushalla telah memanggil. Maghrib hari ini aku shalat di rumah bersama ibu. Sudah lama kami shalat bersama di rumah. Dulu ibu juga sering kemushalla bersama bapak. Tapi sejak aku lebih banyak duduk, dan bapak mendadak pergi dari kami kebiasaan ibu ke mushalla pun makin berkurang. Bahkan kini tak pernah lagi. Kecuali saat bulan ramadhan dan shalat Ied.

Sudah dua minggu aku belajar bermain bola. Meski hanya belajar menendang sambil duduk. Setidaknya aku bisa nyata merasakan kenikmatan menyentuhkan telapak kakiku dengan benda bundar yang sering diperebutkan oleh banyak kaki. Bahkan di luar negeri pun, para bule tidak malu memperebutkan benda gundul ini di lapangan hijau –itu salah satu cerita yang diperdengarkan dua orang pelatihku. Anak bertubuh besar dan kecil itu tiap hari datang ke rumah setelah memulung. Sambil menunggu anak-anak lain yang akan bermain sepakbola, mereka mengajariku perlahan. Suatu hari nanti kau akan berlari dilapangan bersama kami, begitu yang mereka ujarkan tiap selesai mengajarku sebelum berlari ke lapangan menemui teriakan-teriakan yang memanggil mereka.

Seperti kemarin, hari ini aku duduk di kursi depan rumah dengan sarung menutup separuh tubuh. Aku menunggu kedua pelatihku datang. Ingin kuperlihatkan pada mereka bahwa tendanganku sudah mengalami peningkatan. Sudah kencang dan kuat. Tapi, hingga adzan menyahut dari corong-corong pengeras suara mushalla, mereka tak muncul-muncul. Pun anak-anak lain yang sering bermain di lapangan berdebu depan rumahku. Baru keesokan harinya mereka datang. Mengatakan kalau mereka untuk sementara tak bisa mengajariku. Mereka sedang ujian kenaikan kelas. Jadi merekaharus belajar. Aktivitas memulungpun pun mereka kurangi. Mereka tak mau tinggal kelas. Aku mengangguk mengerti.

Selama seminggu aku tak bertemu mereka.Tak mendengar teriakan-teriakan riang anak-anak yang bermain bola. Tak melihat debu-debu memeluk tubuh-tubuh mereka yang setengah telanjang. Aku lebih banyakduduk di bale-bale menemani ibu. Sekedar membantu membersihkan gelas-gelas plastik yang dikumpulnya seharian. Sering kukatakan padanya kalau aku pun ingin menemaninya memulung seperti anak-anak lain seusiaku. Tapi, ibu tetaplah ibu. Sosok penuh kasih. Ia melarangku. Katanya pekerjaan itu tak cocok buatku. Aku kasihan pada ibu. Kerja keras demi hidup kami berdua. Aku ingin sekali membantunya sebab aku bosan berada sendiri di rumah. Apalagi sekarang semua waktuku kuhabiskan hanya dengan duduk-duduk saja.

"Kenapa temanmu tak pernah ke sini lagi ?"
"Mereka ujian bu. Ujian sekolah"
"Oohh. Andai kamu juga bisa sekolah seperti mereka. Tapi,...", ibu mengingsut beningyang hampir ruah di sudut matanya. Sudah lama ibu tak menangis. Sejak aku hobi duduk. Sejak bapak mati.
"Saya juga sekolah, bu. Sekolah dari mereka. Sekolah bola. Sekolah dari ibu. Sekolah hidup", aku berusaha membesarkan hati ibu. Mencoba mengatakan kalau aku bahagia dengan hidup yang diberi Tuhan padaku. Dan ibu tak perlu menyesali semuanya.

***

Mendung.Jarum-jarum langit mulai menusuk perut bumi. Meninggalkan permukaan serupa kawah di jalan-jalan gersang berdebu. Membuat orkes meriah di tumpukan seng-seng. Melemaska kardus-kardus yang tadi kokoh. Hari ini mungkin awal bulan-bulan hujan di kota ini. Bulan-bulan basah. Bulan-bulan penuh penyakit gatal, demam, batuk pilek dan penyakit tidur –hujan sering membuat kita begitu lelap tertidur. Kursiku dimasukkan ibu ke rumah. Katanya aku tak bisa berlama-lama duduk di luar. Mencari penyakit. Aku menurut.

Jarum-jarum langit makin hari makin besar menyakiti perut bumi. Hingga berdarah dan menggenangi rumah-rumah di perkampungan kami. Debu-debu tak lagi memeluk tubuh para pemulung. Debu berganti plastik transparan atau mantel kedap hujan. Bahkan kadang mereka lebih memilih dipeluk sarung apabila jarum langit sudah tak bisa berkompromi dengan tubuh mereka. Hingga yang berpesta adalah kodok-kodok yang membuat orkesnya sendiri-sendiri.

Ibu sudah lama tidak keluar rumah –apalagi jika hujan deras sangat. Selain tak punya mantel, juga takut meninggalkanku sendiri. Dengan begitu, otomatis makanan kami dari hari ke hari makin menurun kualitasnya. Tapi, aku bahagia dengan anugerah Tuhan padaku.

Waktu berderap. Bulan mengiring lajunya. Hujan makin deras. Tiap subuh aku menggigil. Kakiku mulai gatal-gatal. Tapi, hari ini hujan sepertinya ingin berbagi pada matahari yang terlalu lama cuti. Meski masih malu-malu di balik awan, tetap saja sinarnya menembus rumah-rumah, celah-celah daun yang basah dan juga hati-hati yang dingin. Ibu pagi ini pamit padaku. Mumpung hari tidak hujan ia akan memulung. Aku meminta kursiku dikeluarkan. Aku rindu duduk di depan rumah. Menghirup udara tanpa debu. Menonton semua laku orang-orang. Ibu-ibu sibuk hari itu. Ada yang mencuci setumpuk pakaian. Ada yang mengeluarkan pakaian yang tak kering-kering sejak jarum menusuk bumi.Banyak kesibukan yang ditangkap mataku hari itu.

Hari sudah sore. Setengah empat. Ibu sudah pulang dari tadi. Aku masih betah duduk. Menunggu. Siapa tahu hari ini anak-anak akan bermain bola dan para pelatihku akan datang menjengukku. Aku rindu pada mereka. Betul kiraku. Telingaku mulai menangkap suara-suara riang mereka. Kaki-kaki telanjang segera menemui lapangan tak berumput yang rindu menggelitik kaki mereka. Kelompok mulai dibagi dua. Gawang sudah ditetapkan. Bola bundar diletakkan di tengah. Permainan segera dimulai.

Tiba-tiba salah seorang anak dipanggil pulang oleh ibunya. Dimarahi.Telinganya dijewer hingga si anak menangis minta ampun. Rupanya ia tidak pamit dan meningalkan adiknya yang masih kecil dalam ayunan. . Setelah anak tadi pergi,salah satu anak yang tubuhnya paling besar diantara mereka –kunamakan Giant, karena mirip tokoh Giant di film Doraemon yang pernah sekali kunonton di rumah sepupu ibu– meminta salah seorang untuk mundur, jadi cadangan. Tidak mungkin meneruskan permainan jika jumlah pemain ganjil. Tapi tak ada yang mau mundur. Semua berkeras ingin main. Mereka rindu bermain sepak bola setelah sekian lama terkurung. Lama mereka saling menunjuk yang harus mundur. Tetap tak ada yang ingin. Tiba-tiba pelatihku –yang bertubuh besar– maju. Berbisik pada anak yang paling besar tubuhnya tadi. Entah apa yang mereka bicarakan tapi kulihat si Giant mengangguk. Lalu berlarilah pelatihku yang kecil ke arahku. Diikutiyang besar.

"Kamu mau kan main bola bersama kami ?"
"Aku belum bisa", jawabku. Padahal saat itu aku berharap mereka memaksaku ikut hingga aku pun bisa merasakan nikmatnya menendang benda gundul itu. Aku juga ingin menunjukkan kalau aku sudah bisa menerapkan apa yang mereka ajarkan padaku. Tapi, aku ragu. Dadaku berdentum hebat.
"Kami kan sudah mengajarimu"
"Tapi.."
"Ayo", dan mereka berdua membawaku ke tengah lapangan. Susah payah baru aku tiba disana. Masih kuatur nafasku saat kulihat anak-anak yang lain memandangku aneh. Kecuali mereka berdua.
"Mana bisa ia main dengan kita ?", salah seorang anak yang tinggi kurus mengeluarkan suaranya. Giant pun menganggukan kepala. Diikuti anak-anak yang lain. Kecuali para pelatihku.
"Ia sudah kami ajari kok", pelatih kecilku berkomentar.
"Tapi, tidak bisa berlari, tidak bisa menggiring bola, tidak bisa menendang. Bahkan jadi kiper pun susah. Karena..."Giant menggantung kalimatnya.
"Karena apa ?", kini pelatihku yang besar angkat bicara.
"Karena bentuk kakinya aneh. Ia tak mampu berdiri tegap !". Deg. Aku tersentak. Rupanya kedua kakiku yang menyita perhatian mereka. Kedua kaki yang bentuknya tidak seperti kaki-kaki kecil mereka yang lincah. . Kedua kaki yang tidak mampu membopong tubuh tirusku hingga harus dipegangi oleh kedua pelatihku. Kedua kaki yang membengkok setelah aku terserang demam dan kejang saat usiaku lima tahun. Kedua kaki yang oleh mantri kesehatan divonis sebagai penyakit polio.
Aku tidak menangis. Aku tidak tersinggung akan ucapan mereka. Aku lalu minta tolon pada kedua pelatihku untuk mengantarku kembali ke kursiku. Hari itu aku tidak bermain bola –tidak pernah sekalipun. Tapi, aku tetap bersyukur pada Tuhan atas hidup yang diberiNya padaku, meski polio menggerogoti tulangku.

***

"Daeng, nonton tivi kok melamun. Kenapa ?", Ratih, istriku, menepuk lembut pundakku. Rupanya ia telah selesai melap kakiku saat aku menonton siaran piala dunia sambil mengembara ke masa silam. Dirapikannya sarung yang menutupi kakiku.
"Kenapa?", ia bertanya ulang. Kutatap wajah ayunya. Tak setitik cacat pada tubuhnya. Ia sempurna.
"Tidak. Saya tidak apa-apa".
"Boleh ku bertanya padamu ?".
"Apa?"
"Mengapa kau mau menikah denganku ? Lelaki cacat dengan tulang kaki bengkok yang berdiri pun susah."
"Karena daeng baik dan juga ..."
"Juga apa ?"
"Juga pandai menulis serta selalu bersyukur....", ujarnya manja lalu memeluk tubuhku.

14 Hari Merangkai Cerita






Empat belas hari kita disatukan
Empat belas hari kita berbagi
Empat belas hari merangkum segala laku
Empat belas hari merangkai cerita kita
Tentang persahabatan dan persaudaraan

Mengenang Perempuanku

Senja temaram, angin laut pelan mempermainkan rambutku yang telah tiga bulan tak tersentuh gunting. Entah apa yang kulakukan di sini. Langkah kakiku lah yang menuntunku ke tempat ini, sisi Losari. Jauh dari ramai orang-orang yang lebih senang berkumpul di Anjungan Bahari. Matahari senja sempurna melukis wajah perempuan itu, perempuan dengan tahi lalat kecil tepat di kedua pipi yang selalu membuatnya tampak menawan kala tersenyum.

Angin berputar bersama dengan pusara ingatanku yang kembali ke masa setahun silam, masa saat suara di ujung telepon membuat debar jantungku berpacu lebih cepat. Yah, penghujung Desember itu adalah masa yang lengkap terekam di ingatanku, saat mula ku mengetuk pintu yang tlah lama rapat. Tak usahlah kubagi sebagian masa itu, sebab itu adalah masa yang sungguh ingin kukenang sendiri.

Semua rasanya berjalan begitu cepat, waktu seolah melayang saja diantara kami, hingga tanpa terasa serupa ada jalinan tak kasat mata yang mengikat di antara kami. Tapi, hidup tak selamanya indah meski kita telah melalui banyak getir. Indah hanya dinikmati di awal atau pada akhir sebuah kisah. Begitu juga hidup kami. Semua mimpi yang terlukis di langit luruh oleh deras hujan, menyisakan mendung yang terus menggelayut.

Perempuan itu telah menawan hatiku sejak mula kumelihatnya, di sebuah pagi masa penerimaan mahasiswa baru –masa yang selalu menyimpan romantisme antara senior-junior. Ia datang terlalu pagi, hingga salah seorang panitia mengambil kesempatan mengerjainya. Aku hanya menatap di balik sarung, dingin masih mencengkeram saat itu. Namun, kuku-kuku dingin tak mampu menghalangi tungku hangat yang mulai menyala di hatiku pagi itu.

Waktu berlalu cepat, masa romantisme tlah usai, namun tak kujumpai lagi wajahnya di antara wajah-wajah baru yang tiap hari lalu lalang. Ah, aku lupa. Aku tak sejurusan dengannya, pantaslah wajahnya tak kutemukan. Menjelma sebuah kebiasaan baru buatku, tiap hari mengitari koridor ruang kuliah sambil berharap tak sengaja berpapasan dengannya, namun mengapa wajahnya tak jua nampak? Tahukah ia bahwa ada seorang lelaki “gila” yang sedang mencarinya hingga ia sengaja bersembunyi, atau ia mungkin terlalu sibuk dengan segala tugas kuliahnya hingga mendekam di ruang kuliah saja. Maka selain mengitari koridor, sesekali kulongokkan kepalaku ke ruang kuliah jurusannya. Kapasitasku sebagai senior membuatku bisa melakukan hal itu. Hal-hal yang sungguh bodoh. Dua bulan berlalu tak ada hasil dari segala usaha bodohku, aku menyerah, menyerah di saat yang salah.

Angin masih sempurna memainkan rambutku, menghapus jejak-jejak keringat di dahiku. Jejak perkenalanku dengan perempuan itupun sempurna terlukis di antara debur ombak.

“Kak, ini temanku,” perempuan di sampingku memperkenalkan perempuan itu padaku. Tungku hangat itu kembali menyala, tapi di saat yang salah. Perempuan itu hanya tersenyum menerima uluran tanganku. Perempuan di sampingku memperkenalkanku sebagai kekasihnya, dan lagi-lagi perempuan itu kembali tersenyum kemudian meminta diri. Ah mengapa baru sekarang kita berpapasan?

Hidup berputar laksana roda, aku dan kekasihku, perempuan itu dengan kekasihnya pula. Namun pertemuan demi pertemuan juga berputar tak kalah cepat. Selalu ada masa di mana perempuan itu nampak di depan mataku tanpa sengaja. Tak kusiakan memandanginya, memandangi wajah yang tanpa sadar telah menyalakan tungku di hatiku pada sebuah subuh yang menggpgil dan sekarang tungku itu membara. Wajah tanpa riasan yang menawanku dengan senyum yang tak bisa kugambarkan. Senyum yang kadang bukan untukku, namun aku senang mencurinya di sela-sela derai tawa teman-temannya. Toh, tak ada yang memperhatikanku, perempuan itu sekalipun.

Waktu begitu pandai mempermainkan rasa. Perempuan itu akhirnya menghilang. Kuliahnya usai. Pelan-pelan padamlah nyala di hatiku. Aku dan kekasihku sebentar lagi menikah. Semua nyala boleh padam, namun arang selalu tersisa bukan? Begitu pula dengan hatiku.

Waktu begitu pandai memutar balikkan segala rencana. Pernikahan yang tlah sempurna terancang batal, menyisakan sebuah luka pada orang yang mencintaku. Dan kumemilih pergi. Bukan lari, hanya pergi untuk sementara. Memberi kesempatan pada waktu untuk menyembuhkan segala luka.

Waktu begitu mahir mengatur segala pertemuan. Kutemukan lagi perempuan itu di tengah hiruk duniaku, tanpa sengaja. Jika dulu ia menciptakan nyala, kini ia bagai mata air. Di subuh yang dingin ia menularkan hangat, di penatnya jiwaku ia membasuh segala resah dan mengalirkannya jauh.

Obrolan demi obrolan telah menjalin sesuatu yang berbeda diantara kami. Derai tawanya tlah menjadi candu yang kadang membuatku sakaw. Ingin kumiliki senyum itu. Sungguh.

Harapan-harapan menguncup. Disirami kasih yang pelan-pelan menjelma. Namun waktu sekali lagi menunjukkan kepandaiannya memainkan rasa. Saat semua terjalin, saat semua rencana terancang sempurna, maka waktu kembali menunjukkan kepongahannya. Menunjukkan nyata bahwa kami takkan pernah bisa satu, takkan pernah.

Suatu sore ia datang mengadu, bercerita tak tentu arah. Menatapku dalam-dalam dengan bulat matanya yang kemudian mengalirkan perigi yang tak kunjung mengering. Semua tiba pada sebuah simpulan, ia tak bisa bersamaku, bukan tak ingin tapi sungguh tak bisa. Ia memutuskan menyerah pada semua perih yang menghunjam, juga pada tangis yang selalu tertahan. Yah, ia menyerah pada permainan waktu juga rasa. Di ujung kalimatnya yang juga menjadi muara periginya ia hanya berujar berhentilah memainkan rasa di dada ini.

Sebulan silam kabar darinya dihembuskan angin, mampir di telingaku. Ia akan segera menikah dengan seorang lelaki yang dikenalkan sahabatnya. Seminggu lalu kami bertemu. Setelah sekian waktu tak melihat wajah dan tahi lalat di pipinya, maka pertemuan itu seolah klimaks yang meluruhkan sedikit kerinduanku padanya. Ia masih saja sama, sederhana tanpa warna. Namun, tahi lalat di pipinya tak pernah berpindah tempat. Apakah karena pertemuan ini hingga senyum tak bertahta di wajahnya?

“Tak usah menanyakan perihal senyuman, Kak. Ia sudah hilang sejak pertemuan kita hari itu”, ujarnya tanpa garis wajah yang berubah. Datar.
“Lalu lelaki itu?”,
“Dia datang menawarkan pundaknya saat aku sungguh tak bisa lagi berdiri. Dia bersedia bersabar dengan hatiku yang terlanjur menyimpan sosokmu. Dia tak menuntut aku mencintainya. Dia hanya ingin aku berdiri. Sederhana.”

Berikutnya hanya angin yang memainkan musik di telinga kami. Mengibarkan kerudungnya, mengacak rambutku. Dan untuk sepersekian detik tangan perempuan itu mengusap rambutku, menunjukkan tahi lalatnya yang sedikit bergeser, sebuah cermin nampak di matanya.

***
Langit tlah berubah gelap. Esok pagi perempuan itu akan terikat ijab qabul. Kini hatiku benar-benar gelap. Gersang. Nyala dan mata airku tlah pergi. Gerimis jatuh pelan-pelan, getaran handphone di saku mengusik persetubuhanku dengan sunyi. Pesan singkat dari perempuan itu, datanglah esok kak, saat riasan menghalangi pendar yang selama ini kau kenang, lihatlah riasan itu berpola mendung...

Gerimis tlah sempurna berubah rupa, waktuku rupanya telah habis mengenangnya, mengenang perempuan itu. Dan tlah kuputuskan esok takkan datang. Sebab aku tak mau ingatanku tentang esok menghapus wajah sederhananya.