Senin, 18 Oktober 2010

Hey, kami bukan untuk kau injak-injak, Bung!

Perempuan bermata bola itu akhirnya datang mengadu padaku. Setelah dering telepon atau getar sms kepayahan menyampaikan gundah yang menggelayut di dadanya. Akhirnya dia memutuskan menemuiku. Meski harus menghabiskan waktu semalaman di jalanan. Sepertinya luka di dadanya telah menjelma karat.

“Dik, saya sudah pasrah…”, ujarnya sambil memeluk tubuhku. Erat. Dan rasanya tanpa ia berceritapun, kegundahannya telah terbaca oleh hatiku yang perempuan.
“Menyerah ??”. Ia mengangguk. Hela nafasnya terdengar begitu berat. Aku tahu, ia tak ikhlas dengan kondisi ini. Ia berontak.
“Tak ada lagi jalan, dik. Buntu.”

Lalu diam mengambil alih diantara kami. Dalam kesunyian itulah kucoba mengeja kembali segala runutan perstiwa yang akhirnya membuat kakak perempuanku ini betul-betul terpuruk. Dan selalu saja akhir dari ejaan itu adalah benci. Benci pada keinkonsistenan, benci pada kepengecutan juga benci pada sebuah kata menyerah.
*****
Setahun lalu kakakku masih menyandang rupa riang dalam hari-harinya. Segala hal telah dimilikinya sebagai seorang perempuan dewasa, menurutku. Kecuali satu, ikatan pernikahan. Sebenarnya itu tak perlu menjadi soal jika saja seluruh keluarga tak mendesaknya di usianya yang mencapai bilangan 32. Dan yang membuatnya makin runyam adalah kakakku tak memiliki seorang kenalan lelaki yang betul-betul berniat menjalin hubungan yang serius dengannya.

Hingga suatu sore, saat kami menikmati senja di Losari, seorang perempuan menepuk pundaknya. Lalu ritual bertemu teman lama pun berlangsung. Dari sebuah pelukan kangen beralih ke pembicaraan rumah tangga. Jelas saja, kakakku hanya bisa terdiam. Dan perempuan kenalannya pun mengerti. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba ia menarik lengan lelaki yang dari tadi menemaninya. Lelaki yang kukira suaminya.

“Vin, ini Ammar. Teman SMAku,” ucap sang perempuan memperkenalkan lelaki tinggi hitam di sampingnya. Sekali lagi ritual perkenalan berlangsung. Dan pada akhirnya muara pertemuan hari itu adalah kesedihan yang menggantung di langit hati kakakku.

Hanya bertemu dua kali, komunikasi via telepon, dan tiba-tiba kabar pernikahan mampir di telingaku. Saat itu aku telah berada di tempat yang berbeda dengan keluarga intiku, hingga terlalu banyak episode yang aku lewatkan.
“Kak, sudah dipertimbangkan lagi keputusan ini?”, tanyaku saat ia meneleponku seiring dengan jam yang berdentang sebelas kali.
“Iya, dik. Ammar serius ingin menikah denganku. Ia telah mengutarakannya pada Ibu kemarin”.
“Kakak mencintainya?”. Hening.
“Cinta bisa tumbuh, dik. Seiring berjalannya waktu”. Sungguh kalimat klise.
“Ammar mencintai kakak?”. Pertanyaan bodoh! Tapi semua sudah terlontar.
“Entah, saya sendiri tak tahu. Ia cinta atau tidak. Ia hanya mengatakan ingin menikahi kakak.”
“Kakak sudah siap dengan segala kemungkinan?”.
“Insya Allah, dik. Doakan saja”. Entah mengapa perbincangan malam itu serasa begitu formal. Tak ada tawa terkekeh-kekeh seperti biasanya. Benarkah kakakku telah menemukan lelaki yang tepat? Ah, harusnya saya tidak ragu kalau Ammar adalah lelaki yang tepat. Bukankah dengan menunjukkan keseriusannya pada Ibu tlah cukup menjadi bukti bahwa ia adalah orang yang tepat dan datang pada waktu yang tepat. Barakallah ya kak, doaku malam itu.

Puting beliung!

Seluruh keluarga telah berkumpul, ngantuk sisa perjalananku semalam belum lenyap. Kakakku telah berpakaian rapi. Mataku masih mengerjap memandang kakakku. Akhirnya, kau akan menggenapkan separuh dienmu, kak.

Sungguh dering handphone itu mengganggu telingaku. Kulihat nama yang muncul di layar, Ammar. Kupanggil kakakku. Handphone menjadi saksi. Wajah yang tadi semi kini layu, pasi. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk merubah segalanya. Hanya butuh waktu sepuluh menit beliung menghantam dinding-dinding rumah kami. Sejak itulah aku benci pada sebuah inkonsistensi. Sungguh benci. Hanya dengan sebuah alasan ketidaksiapan, perubahan hati yang mendadak maka porandalah semua yang telah terencana. Dan yang lebih menyakitkan, arang malu telah dicoreng di kening kami, siri’.
Tak cukup kata menggambarkan malu dan kecewa. Cukuplah sampai di sini cerita tentang beliung.
*****
Seorang lelaki sejati, lelaki Bugis-Makassar, pantang berkata dua kali. Pantang mundur dari apa yang telah diucapkannya. Itu sepenggal kalimat yang sering kudengar dari mulut paman-pamanku. Lalu, bagaimana dengan Ammar?? Ah, pertanyaan itu sungguh mengganggu.
“Dia sungguh tak menyangka akan seperti ini, dik”, kakakku masih saja membelanya. Cintakah kau padanya, kak?
“Tapi buktinya dia melakukan sebuah kesalahan yang membuat bapak dan ibu menahan malu, kak.”
“Dia pun malu, dik.”
“Lalu…?? akankah dia bertahan dengan sikapnya yang tidak konsisten? mengabaikan harga diri keluarga kita dan keluarganya demi egonya semata? Jika memang tak berani melangkah sebaiknya jangan melangkah!”. Entah mengapa amarah ini begitu mengubun-ubun. Darah bugis yang mengalir di diri ini rasanya tak terima. 
Sungguh!

Menurut akal sehatku, saat ini bukan lagi berbicara dalam tataran rasa atau apapun itu, tapi harga diri. Rasa bisa tumbuh, tapi harga diri… sekali terinjak-injak maka takkan ada kompromi untuk itu.
“Dik, tak ada yang bisa menolak rencana Tuhan. Kita semua sudah berusaha, namun jika hasilnya serupa ini… tak ada jalan lain selain pasrah”. Perempuan bermata bola itu akhirnya mengeluarkan kalimat andalannya. Kalimat yang pastilah takkan mampu kubantah. Siapa yang bisa membantah jika telah diperhadapkan pada ketetapanNya?
“Tapi, kak… namanya manusa kita diwajibkan berusaha. Sementara di mataku, belum ada usaha maksimal. Setidaknya sebuah usaha untuk mengurangi luka di hati orang tua kita”.
“Hhhhh….luka itu pasti akan terhapus, dik. Waktu adalah penghapus yang terbaik untuk segala luka.”
“Dan kakak akhirnya memutuskan menyerah? pasrah?”. Anggukannya sudah cukup. Cukup menjadi tanda buatku bahwa ia pun sebenarnya berharap semua bisa lebih baik, bahwa ia pun berontak dengan luka ini.

Perbincangan sore ini berakhir buntu. Kedatangan perempuan di hadapanku ini hanya untuk melepaskan sedikit gundahnya. Gundah yang akan ditentengnya lagi saat ia meninggalkanku di sini. Dan diriku yang perempuan makin benci. Seolah ingin kuteriakkan pada lelaki-lelaki di sekitarku, pada semua lelaki hey, kami bukan untuk kau injak-injak, Bung!
*****
Perempuan bermata bola itu akhirnya pergi. Sebelum ia pergi ia hanya menitipkan secarik kertas kecil…
Perempuan, bukan dari tulang ubun ia dicipta, sebab berbahaya membiarkannya dalam sanjung dan puja…. Tak juga dari tulang kaki, karena nista menjadikannya diinjak dan diperbudak.. Tetapi dari rusuk kiri, dekat ke hati untuk dicintai, dekat ke tangan untuk dilindungi. Jadilah perempuan seutuhnya, dik. Jadilah tulang rusuk yang benar-benar pas untuk pasanganmu kelak… sebab fitrah kita untuk dilindungi dan dicinta. Menikahlah kelak dengannya, dengan yang mencintaimu…

Bulir hangat itu akhirnya jatuh, ditengah kegundahannya, di tengah usianya yang kejar deadline, kakak perempuanku masih bisa berjiwa besar menyikapi segalanya. Ia masih bisa menunjukkan jalan buatku, untuk menemukan lelaki yang mencintai…konsisten dan menerima apa adanya…



*sebuah bahan renungan...*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar