Senin, 04 November 2013

Hujan, Cinta Semai



 
Gambar klik




: Ayah

Suatu hari di sebuah siang yang garang, sepasang tangan menengadah memohon gerimis jatuh meski sejenak. Hatinya telah gersang, ia berharap gerimis mampu menghanyutkan sisa luka yang berakar tepat di ulu hati. Ia lama menanti. Mendung pelan-pelan menggantung. Ternyata bukan gerimis yang jatuh, hujan menderas menerpa. Ia menggigil. Kuyup. Bukan ini yang ia harapkan. Ia merutuk. Menggugat.
Airmata langit yang jatuh tak hanya menghapus air mata di wajahnya, juga meluruhkan segala kenang yang ia prasastikan di dadanya yang telah lama kehilangan debar. Ia tak ingin hutan kenangannya tersapu habis. Namun, ia tak berdaya. Rasa sakitnya telah tercerabut beriring ingatan-ingatannya yang terkikis perlahan.
Suatu hari di sebuah senja yang mendung. Sisa gerimis masih menitik. Sebuah wajah menengadah menatap langit. Ia telah melupakan perihal yang telah menorehkan luka. Aku harus menjemput cintaku, batinnya sembari mengeringkan mata air di wajahnya. Sesungging senyum yang telah sekian lama pensiun dari wajahnya kembali terbit. Kakinya ringan menjauhi langit kelabu.
Almanak berguguran. Sepasang anak manusia saling menggenggam dalam rindu. Berpagut dalam cinta. Segala resah juga luka mereka halau. Sebuah dada yang telah mati kembali menemukan debar. Dada yang lain setia menularkan debar yang tak henti.
Gerimis jatuh perlahan, sepasang manusia bersama menanam benih cinta dengan seikat janji. Kau dan aku selamanya.


P.S : Selamat bertambah usia, Ayah.  Segala yang terbaik selalu buatmu. Semoga benih cinta yang kita tanam selalu semi. Aamiin.