Adzan Isya berkumandang, menembus dinding-dinding yang saling merapat di pemukiman padat penduduk ini. Lena mengintip di balik kerai, mencoba mencari bayangan suaminya. Sia-sia. Kali ini dibiarkannya kerai terbuka lalu menghampiri kedua putri kembarnya yang sibuk menggambar.
“Disya menggambar apa, sayang?”
“Istana, Ma. Ada kita di dalamnya.”
“Oya? Mana coba mama lihat.” Disya mengangsurkan kertas gambarnya. Sebuah istana lengkap dengan para penghuninya. Kata mama, papa, Disya, Kesya menjadi atribut di bawah tiap gambar.
“Gambarnya mirip perayaan ulang tahun Disya kemarin ya.” Disya mengangguk.
Seperti itulah Disya, tiap kali mendapat tugas menggambar maka istana adalah gambar favoritnya. Kastil, ruang yang megah dan gambar seorang putri bergaun peach adalah tokoh utama di setiap lembar kertas gambarnya. Situasi yang mirip saat pesta pertambahan umurnya yang genap tujuh tahun.
Lena mengalihkan fokus pandangnya pada Kesya. Putrinya yang satu ini telah menghabiskan setengah lusin crayon berwarna hitam dalam sebulan ini. Gambar yang dibuatnya jauh dari warna cerah laiknya gambar anak lain seusianya.
“Eum, kalau Kesya gambar apa, sayang?”
“Rumah kita, Ma.” Lena menatap kertas gambar di depan Kesya. Awan yang abu-abu, kotak-kotak yang berhimpitan, aliran sungai yang berwarna coklat tua. Tak ada warna biru di sana, warna kesukaannya.
“Kotak-kotak ini apa, Ke?
“Rumah tetangga”. Singkat.
Lena menghela nafas. Kedua putrinya memang lahir kembar identik. Sebuah cekungan di pipi Kesya lah yang menjadi beda. Mereka identik secara fisik, namun sikap mereka menerima hidup yang sekarang sungguh beda. Mereka membangun dunia mereka masing-masing tanpa saling ganggu, tanpa saling melirik. Ada nyeri di ulu hati Lena.
Lena mampu melihat bagaimana Disya seolah-olah masih merasakan kehidupan yang dahulu, saat Rasya, ayah mereka, masih menjadi wakil direktur sebuah perusahaan semen ternama di kota ini. Disya masih menyimpan bagaimana rasanya menjadi seorang putri. Sementara Kesya, ia berusaha menerima kenyataan hidup mereka yang sekarang, yang sudah sangat jauh berbeda. Dan penerimaan itu digambarkannya gelap. Kelam.
Pandangan Lena kembali membentur jendela. Masih kosong. Jam di dinding menunjuk angka setengah sembilan.
“Kesya, Disya, bobo yuk. Udah setengah Sembilan. Mama punya cerita baru lho.” Mata kedua putrikembar itu binar. Segera membereskan crayon dan kertas gambar mereka.
“Dongeng putri dan istana lagi yah, Ma.” Disya merajuk dengan mata membola.
“Bosan”. Kesya kali ini tak setuju.
“Malam ini mama punya cerita lain, judulnya Papa Jerapah. Hem, penasaran kan? Yuk, kita ke tempat tidur.”
Lena mendongengkan Papa Jerapah pada Disya dan Kesya hingga lelap. Sebuah harap teriring dari hati, semoga mereka bisa berbesar hati menerima situasi sulit sekarang. Situsi yang sungguh jauh berbeda dari masa-masa saat ayah mereka masih dipercaya sebagai tangan kanan di perusahaan semen itu. Kebahagiaan terakhir yang mampu mereka kecap adalah perayaan usia mereka yang genap tujuh tahun. Disya dengan gaun peach, Kesya dengan gaun biru. Keduanya manis, mengalahkan gambar malaikat-malaikat di teve. Sebulan setelah malam perayaan, semuanya berubah. Disya dengan gambar istana, Kesya dengan crayon hitam adalah monumen perubahan itu.
Kembali Lena menghela nafas. Sudah jam sepuluh malam suaminya belum juga pulang. Pulang larut, kebiasaan yang sama saat Rasya masih menjadi orang penting. Berkeliling kemana lagikah gerangan? Lakukah segala dagangan yang dibawanya? Masih asyik bertanya, didengarnya ketukan kecil di pintu.
Langkahnya tergesa, takut sang suami marah.
Tas besar di pundak kanan diletakkan Rasya ke lantai. Dasinya diperlonggar lalu beranjak ke dapur. Segelas air putih tandas. Lena mendekat.
“Mas, kok pulangnya malam?”
“Ada meeting dengan klien tadi.”
Nyeri kembali terasa di ulu hati Lena, bukankah klienmu telah meninggalkanmu, Mas…?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar