Kamis, 26 April 2012

Risalah Cinta




: Kepada sepasang mata bening yang setia menemaniku.






Ingatkah dahulu kala sepasang mata kita masih lugu menatapi dunia? Diantara bunga ilalang, kita lahap menatapi matahari sore yang berjingkat pelan-pelan. Kedua tangan mungil kita sibuk menghalau gatal yang tanpa permisi berekspansi pada pori betis kecil kita. Lalu, tawa nyaring darimu akan mengiringi jubah jingga yang ditanggalkan langit saat melihat mukaku meringis, menahan perih bekas kuku yang meninggalkan gurat kemerahan. Bulat matamu menggantikan matahari kala itu. Kau dan aku adalah sepasang sahabat kecil yang berjanji takkan melepaskan tautan kelingking kita.
.
Tahun semakin menua, begitu pula usia kita yang melesat pada bilangan yang tak mampu lagi digenapkan oleh jari-jari kita. Ruang kelas yang angkuh menjelma tabir antara mataku dan matamu. Berlembar kertas menyita waktuku dan waktumu. Letih pun menggumuli tubuh kita. Namun ada yang tak berubah. Kau dan aku masih sama, senang melahap langit jingga. Kau membayangkan puluhan bulatan sunkist, sementara barisan-barisan wortel telah menjajah kepalaku saban sore. Kau dan aku tetap menjadi sepasang sahabat yang tetap saling menautkan kelingking.

Sekalimat Pisah


: Untuknya yang pernah menemani merajut mimpi

Zaman telah menjadikan kita dungu
Terjebak dalam palung rasa yang semu
Jemariku pun telah letih merajut benang
yang kau serah dahulu
Jarum telah menisik luka di hatiku
Ngilu

Bukankah kau mendamba wanita bertutur madu
Berjemari lentik memukau
Wajah kemilau
Suara merdu mendayu merayu
Maka turutlah inginmu
Karena aku telah menjelma bayang lalu
: terima kasih untuk kenangan semanis tebu
Sebelum malam berlalu

Kueja selarik kata pisah padamu

: aku kamu tak harus padu




Sejumput Rindu Pada Hujan




/1/
Senja, pada sebuah taman. Hujan jatuh pada telapak tangan kita. Sela jemari kita rapatkan, seolah tak ikhlas serpihan jarum langit itu segera ditampah oleh bumi. Namun, tetap ada ruang tempatnya menyelinap, segera melepas kerinduan pada mula segala berasal. Ia jatuh, sebagian melenting, lalu rebah. Dua pasang bola mata kita menatap tanpa berkedip. Bahasa kita, diam. Ada yang pelan-pelan menyelinap pada lobus-lobus hati. Kita terpasung pada mesmerisme senja yang melankolik.

Labirin Dua Hati


Naufal Arsy is sign out. Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang kubaca sebelum mematikan notebookku. Jam ruang tamu telah menggemakan nada-nada manakala putaran jarumnya tiba pada angka dua belas, lalu berdentang satu kali pada akhir irama. Perbincangan konyolku dengannya masih terbaca di pelupukku.
Naufal Arsy : Jadi siapami yang diundang nanti pas acaramu?
Naura : Teman-teman lah, masa’ musuh :D
Naufal Arsy : Iya.. maksudku saya iyya diundangja?
Naura : Jelasmi, tidak sah acara kalau tidak datangki’
Naufal Arsy : Iya di’, kan saya tong sebagai…
Naura : Sebagai apa? Sebagai parecu? Hahaha :P
Naufal Arsy : Heeum…
Naura : Seriuska’. Datangki’ sama Lena, nah… J
Naufal Arsy : Boleh saya datang sendiri saja?
Naura : Terserah… :P
Itulah sepenggal obrolan kami dalam ruang segiempat berhias kepala berwarna kuning yang tersenyum. Ruang yang kemudian menjadi tempat bagi kami menghabiskan malam saat mata enggan terpejam. Tempat kami saling bercerita atau pun saling mencela.
Larik-larik rindu tersembunyi di kepingan senja
Lalu luruh berselimut gelap malam

Jemarimu, Jemariku

Jari-jarimu, jari-jariku
.
aku masih ingat. aku masih juga merasakan. kala pertama kali jarimu mengisi sela-sela jariku. ya tidak ada sela-sela lagi. Pun dengan hatiku, tidak ada sela lagi, penuh denganmu.
dan hari ini aku tangkupkan kesepuluh jariku. aku isi sendiri sela jariku.” (Dimas Nur)
.
———————
Di sini, di balik jendela ini aku berdiri. Menatap lintasan-lintasan kenangan kita berdua. Mengingati dirimu. Merasakan saat jari-jari kita saling mengisi tanpa sela. Dan kali ini, jari-jarimu tak lagi mengisi kekosongan sela jemariku. Kutangkupkan sendiri, mengisi sendiri sela jariku. Seolah kau hadir disini.
.
———————-
Malam ini, semua berlalu seperti biasa. Semug kopi, sebatang rokok, dan pendar layar komputer. Tiba-tiba merindumu. Merindu jemari kita yang saling mengisi dahulu. Kutangkupkan jemariku, merasakan hadirmu.
.
————————
Kau dan aku terpisah. Namun rindu, kita tuntaskan pada jemari kita yang saling menangkup.


***Inspired by this video