Jumat, 08 April 2011

Aku, Kau dan Sebaris Kenang

Tangan gaib Tuhan telah mempertemukan kita pada sebuah petang. Dalam bentangan jarak yang tak terjangkau oleh akomodasi kedua lensa bola mata kita. Matahari telah menggantungkan jubah hangatnya, saat aksara demi aksara mempertukarkan kisah kita. Aku sedang patah hati, tulismu. Kekasihku menikah tadi pagi, aduku. Lalu kita terbahak, menertawai betapa sialnya kita. Ah, luka tak selamanya harus ditangisi. Asinnya air mata hanya akan menambah rasa perih. Maka mula petang itu, kita bersepakat menertawakan segala duka. Tak seorang dokter pun yang menyarankan membersihkan luka dengan air garam, itulah premis kebanggaan kita.
Tangan gaib Tuhan kembali memainkan peranan saat gemuruh rasa yang kau pendam perlahan membuka. Kau datang mengadu. Ah bukan, aku yang memaksa bibirmu yang katup untuk bercerita. Kekanakan bukan? Lalu, sebaris kenangan yang pernah kau kubur kembali hadir. Aku diam. Membiarkan kau menuntaskan segalanya. Sebab aku yakin, kurungan-kurungan yang menyesakkan laju oksigen di dadamu akan terlepas bersama jalinan kata yang lahir dari bibirmu, juga ingatan yang mengelupas perlahan dari simpul-simpul sarafmu.
Aku, kau dan sebaris kenang, mewarnai pergantian warna langit yang kita tatap dalam waktu yang berbeda. Aku mampu merasai betapa kau begitu hanyut dalam melankoli mengenangnya. Dan pada langit sore kelabu dimana rinai bergelantungan, kuhadapkan wajah. Menunggu satu-satu tarian anak langit itu menerpa, lalu luruh bersama anak-anak sungai di wajahku. Setelah itu, beri aku waktu untuk mengumpulkan tawa yang berserak. Kemudian, kau dan aku akan kembali mengagungkan premis kita, sebab luka tak selamanya harus ditangisi…


[….Kepada Kang Ojek,..…]



Paragraf Empat Perempuan




Aku seorang pelacur. Kenapa? Kaget?? Jangan kaget karena aku tak membentakmu. Aku memang seorang pelacur. Jalanan bukan tempatku menunggu langganan. Tidak, mereka yang datang kepadaku. Mereka yang mengemis-ngemis untuk memasuki tubuhku. Pelangganku beraneka latar belakang. Tak jarang yang menikmati jengkal kulitku adalah laki -laki yang terlihat santun. Namun kebanyakan mereka adalah suami-suami yang mencari selingan di tengah kebosanan hidupnya. Cibiran-cibiran masyarakat telah kenyang kutelan. Suara-suara sumbang lebih kutanggapi dengan tawa panjang. Ya, kenapa mereka hanya menghujatku? Kenapa mereka hanya menghakimiku. Bukankah suami-suami maupun laki-laki mereka yang mendatangiku? Kalau suami dan laki-laki mereka tak mendatangiku tentu aku pun tak pernah ada. Kenapa mereka tak melarang laki-laki mereka berkeliaran mencariku? Jangan hakimi aku. Karena aku telah menjadi hakim atas diriku. Aku memang pelacur. Aku tak pernah merasa diriku suci. Tidak, diriku jauh dari suci. Aku memang pelacur. Aku berlumur dosa. Tiada layak bagiku mendapat ampunanNya. Namun aku masih punya asa. Asa untuk mencegah anak anakku terjebak di jalan yang sama denganku.
~~~~~~~~~~~
Mataku menatap undangan bersampul hijau lumut di tanganku. Tertera nama yang kukenali beserta tanggal yang sebentar lagi di sebuah tempat yang hanya berjarak setengah jam dari rumahku. Hela nafasku satu-satu berat meninggalkan alveolus. Hari ini akhirnya tiba juga. Hari dimana aku harus mengikhlaskan pernikahan orang yang kusayangi. Orang yang selama ini selalu ada di sampingku pada saat tawa merekah di bibirku atau kala duka menggelayut manja di wajahku. Aku harus ikhlas melihatnya bahagia dengan orang yang telah berhasil memenangkan hatinya. Yah, aku harus ikhlas melihat adik perempuanku satu-satunya menikah mendahuluiku. Sudah lima tahun ia mengalah, menunggu lelaki yang akan mengabarkan kabar gembira di telingaku, lelaki yang akan mempersuntingku. Namun, tak seorang pun yang mengetuk pintu rumahku dan mengajukan lamaran atasku. Dan akhirnya, kuputuskan untuk tidak menjadi penghalang atas kebahagiaanya, atas pahala yang akan diraihnya sebagai seorang perempuan dan istri. Sudah terlalu lama ia bersabar untukku, untuk seorang perempuan berumur 40 tahun dengan wajah rusak bekas kebakaran beberapa tahun silam. Jodohku mungkin bukan di dunia ini, Dik, batinku, lalu melipat undangan berwarna hijau lumut di tanganku.
~~~~~~~~~~~
Hari ini aku kembali terlambat pulang. Bos mengadakan meeting mendadak. Menjelang audit, kesibukan makin menjadi-jadi. Waktuku tersita di kantor. Namun bukan sekali ini, hampir tiap hari waktuku tersita. Ah andai bisa memilih aku ingin menjadi ibu rumah tangga seperti wanita-wanita lain. Aku ingin mencurahkan waktuku untuk putraku tersayang yang kini beranjak remaja. Aku ingin seperti ibu-ibu lain yang bisa selalu memasak makanan kesukaan putranya. Atau setidaknya aku ingin mengambilkan raport untuknya. Ah putraku terlalu sering kutinggalkan. Terlalu kurang perhatianku untuknya. Bahkan tak jarang aku bersikap keras padanya. Terkadang aku memarahinya saat ia ingin bercerita tentang hari-harinya di sekolah. Maafkan aku putraku. Aku bersikap keras padamu agar kau menjadi laki laki yang kuat, laki-laki yang tangguh. Bukan laki laki manja yang hanya menggantungkan kekuatan orang tuanya. Putraku, aku sungguh menyayangimu. Andai kau tahu, aku ingin menjadi ibu sekaligus ayah yang sempurna bagimu. Walau ayahmu tak ada, ingatlah kau masih punya diriku, orangtuamu yang akan mati matian mempertahankan tegaknya atap rumah kita.
~~~~~~~~~~~
Menikahlah dengan seorang lelaki yang mencintaimu, itu pesan ibuku yang masih terngiang hingga detik ini. Kala itu aku sedang dilanda rasa frustasi berlebihan. Lelaki yang telah memacariku selama empat tahun ternyata berselingkuh, menjalin cinta di dunia maya, lalu memutuskan meninggalkanku demi perempuan yang hanya dijumpainya lewat layar komputer. Perih. Semenjak itu, aku tak pernah lagi percaya akan cinta yang terucap dari mulut lelaki. Cinta itu bullshit. Tahun berganti. Kaki-kaki waktu berlari hingga tanpa sadar telah menghempasku pada angka tiga puluh dua. Aku masih belum percaya akan cinta, hingga ibuku mengambil jalan ekstrim. Aku dijodohkannya dengan lelaki yang sekian tahun menumpang di rumah kami. Dia mencintaimu sekian lama, Nak. Dia selalu memperhatikanmu. Dan kali ini dia ingin membuktikan cintanya dengan meminangmu. Ingat ucapan ibu, Nak, lelaki yang betul-betul mencintaimu akan selalu menjaga dirimu dan kehormatanmu, tak pernah membuaimu dengan kata manis hanya untuk keinginan sesaat, dan ia bersabar menanti saat dimana ia akan menjadikanmu pendampingnya. Istikharahlah jika kau ragu. Itulah kalimat-kalimat ibu saat aku berusaha menolak perjodohan itu. Namun rencana Tuhan begitu sempurna, istikharah yang kulakukan menuntunku menuruti keinginan ibu. Ridho Tuhan bergantung pada ridho orang tua, itulah alasan yang paling masuk akal. Pernikahan sederhana antara aku dan lelaki itu pun berlangsung. Dan kini, sungguh aku tak menyesali keputusanku untuk menjadi pendamping seorang lelaki sederhana, seorang lelaki pincang dengan cinta yang begitu besar. Lelaki yang telah menumbuhkan cinta di hatiku, membuatku percaya kembali kepada cinta. Pesanku padamu wahai perempuan, menikahlah dengan lelaki yang mencintaimu, serupa pesan ibu dahulu padaku.
~~~~~~~~~~~
>> Duet lagi dengan Indra>> Gambar dari sini

Kepada Yang Mencintai Hujan

Sekiranya kau ada di sini, duduk bersisian denganku, di sebuah tempat yang hanya kau dan aku yang tahu, tempat kita menatap hujan yang jatuh dalam bayang-bayang purnama, maka akan kau lihat lengan rapuh ini menyandarkan diri dalam kokoh telapak tanganmu. Membiarkan rasa sahaja kasihmu mengaliri setiap vena.
Kupandangi arak-arakan awan yang bergemulung, berat terbawa oleh napas-napas angin. Kelabu menggantung pertanda kehamilan langit makin menua. Dahulu kita bersepakat, kau adalah rahim langit tempat rindu dan mimpi berkondensasi, dan aku adalah rahim bumi yang akan memeluk anak-anak berkulit perak yang lahir darimu. Kita boleh tersekat jarak, namun rindu selalu menemukan jalan untuk bertemu.
Sungguh aku tahu bagaimana dada kita terasa begitu hidup saat mendengarkan atap-atap rumah bertepuk dengan tangan-tangan mungil hujan. Lalu wangi bumi yang terlepas dari kurungan tanah-tanah kering akan berikatan dengan hemoglobin dan tiba ke pokok-pokok ingatan, juga pada degup jantung kita. Petrichor dan Geosmin berpelukan dalam aliran darah, menjadikan hujan adalah kalam rindu yang tak pernah habis terbaca oleh mata yang perlahan merabun.
Kehilangan demi kehilangan telah terbaca dalam jejak-jejak kita, begitupun luka telah tertoreh sempurna dalam nadi hidup kita. Namun, kita takkan menyerah. Anak-anak awan mengajarkan kita ketangguhan. Jatuhnya yang perlahan mengajarkan kita kesabaran. Tak percaya? Lihatlah bagaimana anggunnya gerimis yang jatuh pelan-pelan namun mampu meluruhkan benci, juga emosi jiwa-jiwa yang merasai bulirnya. Pernahkah kita mendengar seseorang membenci gerimis? Tidak. Mereka mencintai gerimis, anak-anak awan yang kecil.
Kita berbeda, kita tak hanya mencintai gerimis, tapi kita menikmati pula anak-anak langit yang terlahir dewasa. Tangis mereka yang begitu garang ditingkahi angin, mengajarkan kita kemauan yang keras. Kemauan untuk menghapus segala duka, menghempas kolase kepedihan, dan membiarkannya hanyut hingga dada kita lapang dan pikir kita lupa akan mereka yang telah menusukkan belati tepat di jantung.
Sekiranya kau ada disini, duduk bersisian denganku, di tempat yang hanya kau dan aku yang tahu, mungkin telingamu akan penuh dengan ceracauku yang tak bosan bercerita tentang segala hal remeh sambil menatapi awan yang pelan-pelan menghela nafas usai melahirkan berjuta anak. Lalu, dua pasang mata kita menatapi angin menggendong tetubuh awan ke atas laut, melihatnya bersetubuh hingga orgasme, kemudian kembali mengandung benih-benih hujan. Sebuah siklus teratur, tanpa jeda, tanpa lelah.
Kini, kita terpasung dalam rentangan waktu dan jarak. Namun, kuyakin kita menatapi rintik hujan yang sama, yang jatuh pelan-pelan dan menjadi tirai bagi jendela kamar kita. Dan pada tetes langit yang kembali dalam peluk bumi, kita belajar tentang kesabaran, tentang ketegaran, bahwa semua hanyalah bagian siklus hidup yang harus kita lalui.
Kepadamu yang mencintai hujan, tengadahlah. Rasakan ketegaran mengaliri dadamu, ketegaran dari anak-anak langit yang berpadu mendentingkan harmoni syahdu.



 
=================================
>> Kepada mereka yang mencintai hujan, pun gerimis…
>> Kepada Dan… we luv rain...

 

Hey, You...

Hey you, ingatkah semalam
Saat rintik hujan meningkahi
Pertukaran suara kita
Dalam desah-desah rindu tertahan
Lalu, tawa pecah bersama kisah basi
Tentang hari yang kau putari
Dan hari yang kulewati
.
Hey you, ungkapan rindu kita masih tersimpan
Dalam arsip yang ditata rapi mr.buzz
Beserta segala link lagu yang kita sertakan
Juga emoticon hati yang berdebar
.
Aih, tersenyum aku membayangkan
Bagaimana jemarimu menekan keyboard
Kemudian aishiteru terbaca dalam layarku
Beriring wajah bulat kuning tersipu malu
Aku tahu, kamu malu…
.
Mmh, you..you…you…
Kangen ini memang terpasung jarak
Layar silau menjadi mata temu
Namun, tak jadi aral buat kita
Saling menautkan kelingking
Tanda sahabat sejati
Selalu ada di hati… 



--------------------------
Untuk Zwan.....
Gambar dari sini

Monolog Rindu

Hey, tahukah kau jika aku sedang rindu
Memendamnya dalam laku yang malu
Dan kini rinduku mulai matang
Melunak bagai alpukat yang telah kuperam seminggu
.
Jangan hanya berdiri terpaku
Atau menatapku termangu
Bukan laku itu yang kumau
Cukup bisikkan sebuah kata rindu di telingaku
.
Aih, gelak tawamu makin membuatku tersipu
Namun kunikmati serupa candu
Dengan debaran dada yang bertalu
Beriring pipi merona merah jambu
.
Cukuplah tingkahmu membuatku gagu
Hingga lidahpun turut beku
Menanti dengan dada sehangat tungku
Sepatah kata rindu yang kuharap tak palsu
.
Ah, kusudahi saja monolog rinduku
Sudah terlalu lama hati dalam belenggu
Menebak rasamu yang ambigu
Bila benar kau rindu,
Kata itu malam ini kutunggu…

=======================
Gambar minjem disini

Tentang Sebuah Kata : Rindu












Melangkahkan kaki pada setiap jejak yang pernah disinggahi
Di tarikan nafas yang mewangi pada raga yang terjamah
Mengingati segala kenangan yang telah tersulam
Dalam lembaran pintalan ingatan yang pelan-pelan menua
.
Di lereng gunung yang terjal, ada pegangan erat
Di balik cumbuan kekupu pagi selalu ada harapan yang semi
Tentang hati dan juga rasa yang menderu rindu
Di aliran darah pada syair-syair yang terpanakan para pujangga
Di masa yang silam pada hangatnya senyum
Di bisikan lembut pada indra yang peka
Di ucapan syahdu pada bibir yang ranum
Di kesendirian pada angan yang terlewat malam
.
Cinta…aku rindu padamu
Seperti alfa yang merindukan beta
Laksana buliran-buliran embun di atas dedaunan pada kesejukan pagi
Umpama damainya dunia di masa kecil kehidupan kita.
.
Sayang…aku rindu padamu
Serupa rindunya telinga akan senandung ibu
Saat malam gulita berangkul sepi
Kala serangga malam serentak berdendang
.
Kasih…aku rindu padamu
Pada tepian waktu senja di samudra
Yang tergambar sempurna oleh sang surya
.
Ada namamu yang selalu kuigaukan
Kala jarak menjadi antara
Dan waktu semakin garang tak berhati
Lalu pada langitlah kuadukan segala
.
Tentang sebuah rasa
Dalam sebuah kata: rindu

=====================
Kolaborasi dengan Ihya Ulumuddin...
Gambar dari sini

Segitiga Merah Warnanya



“Masuk dan melihat-lihatlah dulu!” kata Andi.
“Kau tidak ikut masuk?” tanyaku.
“Aku tidak berkepentingan. Lagipula, aku tidak mau jika memang bukan untuk keperluanku sendiri, tidak sebanding dengan jengahnya, Bos.”
Aku mengangguk-angguk sambil cengengesan. Di tempat seperti ini, lelaki manapun akan jengah untuk berada di dalamnya, tidak terkecuali aku. Beberapa jam yang lalu aku memang meminta pendapat kepada Andi mengenai masalahku, masalah yang sebenarnya mungkin wajar dalam kehidupan berumah tangga di manapun juga: aku jenuh dengan istriku!
Aku bukan jenuh dengan sikapnya atau ketidakmampuannya menjalankan fungsi sebagai ibu rumah tangga, karena tak bisa kupungkiri betapa besar peranannya dalam kehidupan keluarga kecil kami. Istriku adalah pengurus keluarga yang luar biasa. Tatanan perabot di dalam rumah membuatku serasa berada di istana, ditambah lagi pelayanan yang ikhlas dan sepenuh hati lainnya yang jika tidak dikerjakannya sendiri, niscaya tidak akan pernah beres dengan baik. Dengan kata lain, urusan rumah tangga yang lahir dari tangannya sangat memuaskan.
Hanya satu yang tidak membuatku puas. Kehidupan seks kami!
Hampir enam tahun kami berumah tangga, seorang anak telah kami miliki, tapi selama hampir enam tahun itu benar-benar tidak pernah ada kejutan yang mendebarkan dalam kehidupan seks kami. Terlalu datar dan lurus, seperti jalan aspal baru digilas. Tidak ada variasi-variasi yang bisa membuat seks menjadi hal yang benar-benar dinantikan, sehingga lama kelamaan rasanya pun menjadi hambar . Terutama setelah kami memiliki anak, sulit rasanya untuk menjadi sangat bergairah apalagi merasakan kepuasan, seperti kencing saja: setelah dibuang ya sudah, rasa kebelet hilang.
Andi lalu menyarankan padaku untuk merubah atau membuang sekalian gaya bercinta kami yang dirasanya sudah benar-benar kuno dan langka.
“Hanya di bawah dan di atas? Kau lebih banyak di atas? Dia hanya diam tanpa melakukan apa-apa? Kau tidak membolak-balikkannya seperti dalam gaya pemanggang sate? Kau tidak pernah memutarnya seperti baling-baling? Mendorong gerobak? Memanjat pohon kelapa? Tidak? Waduh, adegan di sinetron Indonesia masih lebih panas dari adegan kalian. Kalian seperti melakukan adegan percintaan dalam film jadul saja kalau begitu, “ ejeknya waktu aku bercerita padanya.
Aku hanya meringis. Tampak berlebihan sekali dia.
“Lalu,” lanjutnya, “Sebelum melakukannya, apa yang kalian lakukan untuk mendongkrak suasana menjadi lebih romantis?”
“Maksudmu?”
“Apa yang kalian lakukan sebelum itu, kau tahu, untuk membangkitkan selera?”
“Biasa saja. Pemanasan biasa yang kadang tidak terlalu lama. Inisiatif selalu datang dariku dan bahkan kadang aku harus membangunkannya jika keinginanku tidak tertahan lagi, karena seringkali dia terlalu cepat tidur.”
“Jadi kalau kau tidak minta, tidak akan ada adegan khusus dewasa di rumah kalian?”
Aku mengangguk.
“Dan pula, tanpa persiapan dan perencanaan? Langsung tancap?”
Aku hanya tersenyum kecut dan mengangguk lagi. Sungguh sebenarnya aku malu untuk menceritakan padanya, tapi jika tidak demikian, aku akan bercerita kepada siapa lagi?
“Durasinya tidak pernah lebih dari setengah jam?” lanjutnya.
Mengangguk.
“Jadi?”
“Ya, begitu saja. Rutin.”
Andi tertawa ngakak.
“Pantas saja kau kelihatan pucat seperti semangka muda yang terpaksa dibelah. Kau pasti lebih banyak menyiram tanaman di halaman rumahmu dibanding menyiram istrimu.”
“Jadi?”
“Jadi?”
“Apa saranmu?”
“Saranku?”
“Ya, aku tidak bercerita banyak hanya untuk kau ejek.”
Andi tertawa lagi.
“Ciptakanlah suasana yang baru, Ndok. Aku serius. Mendengar ceritamu aku justru heran, kenapa salah satu dari kalian belum ada yang mati.”
“Jangkrik!”
“Aku serius. Mungkin di luar kalian tampak bahagia, tapi dengan kehidupan seks yang seperti itu, kalian sedang meretas jalan menuju kehancuran. Dan kehancuran yang seperti ini akan terjadi sangat lambat tanpa kalian sadari. Sekarang akui saja, bukankah kau ingin menikmati bagaimana rasanya bercinta dengan perempuan lain?”
“Ah, kau memang jangkrik! Lagi-lagi jangkrik!”
“Akuilah. Bagaimana pendapatmu tentang Dania? Bukankah dengan melihatnya saja kau sudah terbakar?”
“Aku pikir itu wajar. Semua lelaki di kantor yang melihatnya dengan pakaian seksinya tentu punya khayalan masing-masing.”
“Nah!”
“Nah apa?”
“Pernah membayangkan Dania tidak berbusana?”
Aku menelan ludah. Dania memang seksi, yang terseksi di antara perempuan yang lain di kantor kami. Tapi membayangkannya dengan tanpa busana? Hmm, aku tidak malu-malu lagi, sepertinya memang sering.
“Kenapa tidak ada lelaki yang mengkhayalkan istrinya sendiri? Atau jika pun ada, itu adalah hal yang sangat tidak umum?”
“Entahlah, mungkin karena tidak tega dan tidak patut membayangkan istri sendiri.”
“Tidak tega atau tidak patut? Bukankah membayangkan istri sendiri tidaklah dosa? Bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah, mereka para lelaki itu sudah bosan! Jenuh!”
Andi berhenti dan menyalakan rokoknya dengan dramatis.
“Bertahun-tahun disuguhi sesuatu yang sama setiap hari tentu saja akan bosan. Karena itu, Handoko sahabatku yang baik, untuk mengakalinya hadirkanlah sesuatu yang baru. Mengolah ketela pun tidak hanya direbus atau digoreng, bukan? Bisa dibuat kroket, gethuk atau cimplung.”
“Maksudmu?” tanyaku.
“Buat atau bangunlah suasana yang baru entah itu tempat, gaya atau busana. Sesuatu yang dapat meningkatkan gairah sehingga hubungan suami istri kalian menjadi optimal. Kau sangat mencintai istrimu dan tidak akan beralih ke perempuan lain, bukan?”
“Tentu saja..dosa itu.”
“Tapi kau merasa jenuh dengan hubungan seks kalian?”
“Ya.”
Andi kelihatan bepikir sebentar. Lalu berkata
“Belikanlah pakaian dalam untuk istrimu.”
“Ha?”
“Belikan dia pakaian dalam!”
“Dia terbiasa membelinya sendiri.”
“Sekarang kau yang belikan. Yang kelihatan seksi dan liar atau sesuai dengan seleramu. Percayalah denganku.”
Aku berpikir dan jadi teringat dengan wanita-wanita cantik di majalah atau di film-film yang menggunakan pakaian dalam yang seksi. Mereka selalu menarik buatku dan minimal selalu mampu menggerakkan bagian depan celanaku. Jika istriku mau memakai dan sedikit bemain-main dengannya……wow! pastilah jenuh sudah angkat kaki. Semua itu sebenarnya pernah terlintas dalam kepalaku, tapi karena rasa raguku bahwa istriku akan menurutinya, juga malu, keinginan itu lenyap entah kemana.
“Yang paling utama menurutku sekarang adalah pakaian dalam itu. Tempat dan suasana baru yang perlu dibangun bisa menyusul, gaya yang variatif bisa mengikuti nantinya asalkan tidak ada rasa malu, tapi pakaian dalam sangat mutlak karena bisa meningkatkan daya rangsang secara tepat dan efektif dan menjadi kunci pertama suksesnya hubungan seks. Bayangkan seorang perempuan dengan hanya menggunakan celana dalam saja. Seksi sekali, bukan? Itulah pengaruh magis dari pakaian dalam.”
Hmm..aku langsung membayangkan seorang wanita yang cantik tengah berlari-lari di tepi pantai dengan gerakan lambat diiringi lagu You Make My World So Colourful-nya Daniel Sahuleka…rambutnya yang panjang berkibar tertiup angin laut dan tubuhnya terbuka, sempurna seperti kuda betina yang seksi. Kulitnya yang mulus seakan memantulkan kembali cahaya matahari sore yang telah memantul pula dari air laut menciptakan aura berwarna kekuningan di sekeliling tubuhnya. Lalu tubuh bagian bawahnya itu…….amboi, hanya di tutupi dengan selembar G-String berwarna merah….busyet!
“Berangkat!” teriakku tanpa pikir panjang.
Dan di bagian pakaian dalam di sebuah butik terkenal inilah aku dan Andi sekarang berada.
“Masuklah,” kata Andi lagi.
Dengan perasaan yang jengah aku masuk dengan meninggalkan Andi tetap melihat-lihat di bagian lain. Seorang perempuan berdandanan menor kemudian langsung menyapaku.
“Cari pakaian dalam buat istrinya, Pak?”
“Eh, ya..”
“Beha atau celana dalam?”
“Celana dalam.”
“Mau yang model apa?”
“Kalau bisa yang biasa..eh, paling banyak dibeli.”
Lalu perempuan itu langsung menjelaskan hampir segala jenis dan model celana dalam dari A sampai Z, membuatku baru menyadari bahwa ternyata di dunia ini banyak sekali benda-benda aneh yang bahkan sama sekali tidak tepikirkan bisa dibuat oleh manusia, tapi ternyata ada.
“Bagaimana, Pak?”
“Jelas sekali. Mbak. Tapi yang saya mau hanya satu dan sudah saya tetapkan. Saya mau yang seperti itu,” kataku sambil menunjuk sebuah celana dalam G-String warna merah yang dipajang dan dikenakan oleh sebuah manekin. Harganya minta ampun, untuk sebuah benda kecil seperti itu. Tapi tidak mengapa, ini juga untuk kesenanganku sendiri nantinya.
Sore itu setelah mengantarkan Andi pulang ke rumahnya, aku langsung pulang ke rumah. Sepanjang jalan otakku tidak lepas dari celana dalam yang akan kuberikan pada istriku itu. Membayangkan dia memakainya saja sudah membuat panas dingin badanku.
Oke. Setelah kubungkus dengan kertas kado, akan kuletakkan ini di atas ranjang setelah kuselipkan pula pesan untuknya besok pagi. Aku yakin dia akan segera memakainya sambil mematut dirinya di depan cermin dan dengan tidak sabar menantiku pulang dari kantor. Aku tertawa dalam hati, tapi aliran darah dalam tubuhku telah mulai menghitung mundur, bergejolak.
Panas dingin.
******
Kupandangi lagi kado pemberian suamiku. Tadi aku telah membukanya, namun kuputuskan memasukkannya kembali ke dalam kotaknya. Aku tak pernah menyangka ia akan memberiku kejutan yang demikian. Sungguh benar-benar mengejutkan. Setelah enam tahun kami berumah tangga, baru dua kali ia memberiku hadiah, pertama saat aku hamil anak pertama kami, kedua saat ia mendapat promosi di tempat kerjanya. Dan ini kali ketiga ia memberiku sebuah kejutan.
Hari masih pagi saat kado berbungkus kertas bercorak hati merah jambu itu kutemukan terletak di atas tempat tidur, tepat di tengah. Rupanya suamiku telah dengan sengaja menaruhnya di sana sebelum ia berangkat ke kantor. Disertakannya pula selembar pesan.
Kepada bidadari malamku yang telah menemaniku melalui malam-malam dingin dalam putaran hari.
Penuh cinta,
Handoko.
Mataku kembali menatap kotak pemberian suamiku itu. Otakku masih mencari alasan mengapa ia memberikanku benda ini, benda yang seumur hidupku sebagai perempuan tak pernah sekalipun terlintas di kepalaku akan memilikinya, apalagi mengenakannya. Tanganku kembali mengeluarkan benda itu dari kotaknya, diikuti jemariku yang kemudian menyusuri tiap bagian-bagiannya. Ada perasaan aneh menjalariku, antara merinding dan risih, entah. Lalu, kalimat demi kalimat yang pernah terekam pita ingatanku mulai berlompatan.
“Hati-hati jika suami kita sudah memberi benda-benda aneh pada kita,” ujar Bu Mirna, tetanggaku, saat kami mengikuti arisan ibu-ibu di kompleks perumahan tempatku tinggal.
Namanya ibu-ibu, maka obrolan tidak akan jauh seputar infotainment, perhiasan, urusan anak, menggunjingkan tetangga, dan urusan kamar. Seperti juga hari itu, entah mengapa tiba-tiba obrolan berputar pada tingkah para suami. Aku yang merasa suamiku baik-baik saja, mengambil posisi yang paling aman, menjadi pendengar yang sangat setia.
“Loh, benda aneh kaya mana sih, Jeng?” Bu Tirta yang terkenal tak pernah mau ketinggalan gosip seputar kompleks menunjukkan wajah antusias. Ia begitu mudah terpancing dengan bahasan-bahasan yang sensitif.
“Yah..benda aneh…eum..misalnya…pakaian dalam.”
Ibu-ibu yang ada di sekitar Bu Mirna memasang ekspresi berbeda.
“Katanya sih, kalo suami sudah mulai ngasih pakaian dalam ke istri, artinya dia sudah mulai bosan sama istrinya, bosan dengan gaya itu-itu saja, pengen variasi, improvisasi, yang lebih liar…” kalimat lanjutan dari Bu Mirna tak kumasukkan lagi ke gendang telingaku, toh suamiku tak pernah protes, tak pernah meminta yang lebih.
Kehidupan seks antara aku dan Mas Handoko berjalan normal sejak kami mulai terikat dalam ikatan perkawinan, ia menjalankan perannya dengan baik sebagai seorang suami, dan aku pun berlaku layaknya seorang istri yang manut pada suami. Mas Handoko tak pernah meminta perubahan apapun dalam aktivitas percintaan kami. Jangankan variasi, mengeluhpun ia tak pernah. Kesimpulannya, kami bahagia. Apalagi setelah kehadiran anak kami, maka kebahagiaan itu lengkaplah sudah.
“Wah… Jeng Ratri kok ga ikutan nimbrung, sih?” pertanyaan Bu Tirta diikuti lirikan beberapa pasang mata ibu-ibu yang sedari tadi asyik dan lupa bahwa aku pun ada di antara mereka.
“Pasti Jeng Ratri sama suami masih hot di ranjang, jadi hanya senyam senyum mendengarkan omongan kita,” sambar seorang ibu yang wajahnya baru sekali ini kulihat.
“Ah… nggak juga kok, Bu. Biasa saja.”
“Biasa saja gimana, Jeng?”
“Yah..biasa saja…seperti ibu-ibu yang lain.”
“Waah…masih pake gaya monoton? Kirain anak muda sekarang mah udah make apa tadi kata jeung Mirna..intro…introvasi”.
Ledakan tawa mengiringi kalimat yang barus saja putus dari kalimat ibu tadi.
“Ehem…” deheman Bu Mirna menarik perhatian.
“Justru sekarang yang muda yang harus hati-hati, laki-laki sekarang lebih ganjen dan jelalatan dibanding laki-laki jaman dulu. Fantasi mereka lebih liar, apalagi kalo udah liat cewek seksi, kita istrinya pasti lewaaat.”
“Jadi harus pinter-pinter narik perhatian suami dong, Jeng.”
“Iyalah…biar nggak kalah saing sama yang muda-muda.”
“Caranya…?”
“Dengan ini…” Bu Mirna mengeluarkan sebuah katalog yang menjual aneka pakaian dalam perempuan. Segala model, corak dan warna tergaleri melalui tubuh-tubuh mulus perempuan dalam majalah itu. Mata-mata penasaran segera mengikuti gerak tangan Ibu Mirna.
“Dan model ini yang paling hot…” tunjuk Bu Mirna pada sebuah pakaian dalam yang modelnya setali.
“Ini namanya G-string…pasti bikin suami panas dingin,” sambungnya yang diikuti cekikikan ibu-ibu yang lain, cekikikan yang membuatku risih.
Obrolan beberapa bulan lalu itu masih sempurna tersave dalam pita ingatanku. Dan sekarang, di kamar ini, dengan matahari yang masih sepenggalah, kuamati kembali pemberian suamiku yang kini telah sempurna kuletakkan di hadapanku. Ah, perasaan itu belum hilang. Aku masih bergidik membayangkan diriku mengenakannya. Tak kukira G-string yang beberapa bulan lalu hanya kulihat di majalah Bu Mirna, kini telah nyata ada di depan mataku.
Bisa kubayangkan betapa tak nyamannya diriku saat mengenakan G-string ini. Dengan bentuk yang hanya setali dan serba minim hanya akan membuatnya terselip diantara bokongku, dan akan menambah daftar ketaknyamanan yang kurasa di luar rasa risih yang telah membukit. Aih… beragam pertanyaan mulai beradu di kepalaku.
Telah bosankah mas Handoko padaku? Apakah aku tak menarik lagi di matanya hingga ia membelikanku G-string berwarna merah untuk membangkitkan kelelakiannya, meningkatkan adrenalinnya? Tak mengertikah ia jika aku risih mengenakan pakaian-pakaian minim di depannya selain pakaian tidur tipis yang biasa aku kenakan? Haruskah aku bertindak seperti pelacur di depan suamiku sendiri? Melakukan hal yang selama ini kuanggap tak biasa?
Aarrgh…
Bukannya aku tak tahu kewajiban seorang istri yang harus selalu tampak menarik di hadapan suaminya. Semua sudah kulakukan. Menjaga kebersihan diri, menghindari makanan yang menimbulkan bau tak sedap dan bisa membuatnya tidak berkenan, berdandan, dan senantiasa mewangikan diri. Tapi, jika harus mengenakan G-string dengan warna mencolok itu…
“Nduk, jadi istri itu harus manut mau suami. Dia bilang kiri, kamu ikut ke kiri. Dia bilang kanan, yo wis kamu juga ikut ke kanan. Bahkan dalam urusan suami-istri juga begitu. Apa mau suami, sebisa mungkin kamu turuti. Jadi pahala, Nduk.” Nasehat si Mbok mengiang kembali.
Tanganku menimang-nimang pemberian suamiku itu. Perasaan risih dan nasehat si Mbok bergantian beradu di kepalaku. Setelah lama, kuputuskan membawa G-string itu ke kamar mandi. Mencucinya. Meskipun baru terbeli dari toko, tetap saja tak ada jaminan ia bersih. Apakah akan kukenakan nanti malam atau tidak, itu urusan nanti. Yang aku tahu G-string merah itu sebentar lagi akan tergantung manis di jemuran belakang rumah. Tersembunyi dari pandangan orang-orang.
*****
Sedari pagi tadi aku benar-benar tidak tahan. Bagaimana juga caranya agar bisa tertahan? Pikiranku melayang tidak karuan. Ah, tidak ada cara lain selain merapatkan selakanganku, berlama-lama duduk dan fokus dengan pekerjaan. Jangan sampai aku berdiri apalagi wira-wiri, karena kondisi sudah tak terkendali. Di area celanaku, bagian vital sudah menonjol tinggi. Karena.. aagghhrr, aku ingin cepat pulang!
Keadaan semakin parah ketika Anis, teman kerjaku, datang. Dia terus bolak-balik melewati meja kerjaku dengan beberapa lembar kertas laporan. Entah Anis punya urusan apa dengan Pak Bos yang ruang kerjanya tepat di sebelah meja kerjaku. Tapi kelakuannya itu membuatku apes. Sudah empat kali Anis mondar-mandir, empat kali pula aku mengamati lenggak-lenggok pinggulnya dan goyang pantatnya yang terbalut busana kerja masa kini. Seksi! Badanku panas dingin, selangkangan makin kurapatkan.
Isi kepalaku telah dibuat kewalahan oleh sikap Anis hari ini. Otak primataku terus menebak bentuk maupun warna di balik rok mininya. Celana dalam warna putihkah? Tidak, pasti merah! Iya, merah. Aku yakin merah. Berenda motif bunga, mungkin tipis. Jika tebakanku benar, pasti celana dalamnya akan terlihat dinamis, bergoyang ritmis mengikuti irama pantat padatnya Anis. Andai saja aku bisa melihatnya… Duh!
“Sudahlah, Nis, jangan bolak-balik terus!” batinku.
Semakin aku membatin, goyang tubuh Anis malah menjadi-jadi. Kelelakianku sontak tegang, seperti tentara gagah yang tegap berdiri. Dingin AC tak mampu mengendalikan laju keringatku. Aku tidak tahan! Konsentrasiku buyar, pekerjaan langsung kutinggalkan. Keluar, biar aman. Aku lalu duduk santai di loby kantor sambil berharap hati dan pikiran bisa sedikit tenang.
Ternyata tidak. Sesampai di loby pun gambar celana dalam masih saja terbayang. Kali ini bukan milik Anis tapi Windi, ibu muda satu anak yang bertugas sebagai costumer service.
“Celana dalam sialan! Celana dalam sialan! Celana dalam sialan! Awas kau, malam ini akan kuhajar. Akan kuciumi kau habis-habisan!” dendam batinku.
Makanya, tanpa ba-bi-bu, tadi sore aku segera pulang. Tidak menyapa Anis seperti hari-hari biasanya, tidak juga mampir ngopi, pokoknya langsung pulang. Penyebabnya hanya satu: celana dalam.
Aku sendiri heran, dari kecil aku sudah sangat mengenal wujud dan fungsinya, namun sekali pun aku tidak pernah bercita-cita apalagi terobsesi bercinta karena celana dalam. Ironis. Ah, bukan.
Memang benar, celana dalam berkaitan erat dengan kemaluan. Sesuatu yang memalukan bila dibicarakan. Beberapa orang menggunakan istilahnya sebagai bahan candaan yang cenderung melecehkan, hinaan, kadang umpatan bila emosi mereka spontan memerlukan. Bagiku tidak demikian, dewasa ini aku baru mengerti. Banyak yang menganggap celana dalam itu barang remeh-temeh karena selalu diletakkan di lapis paling dalam, paling disembunyikan. Justru posisi itulah yang menjadikan celana dalam begitu penting, begitu hebat membuat hati penasaran. Bukankankah sepatutnya kehebatan tidak perlu ditonjolkan? Tentu seperti punya Anis yang selalu membuat gairahku meninggi. Apalagi ditutupi bajunya yang seksi, imajinasiku tentu semakin menjadi. Oh..
Aku percaya, semua barang yang bernyawa atau tidak, memiliki nilai seni. Antik. Semua menyimpan rasa yang patut dinikmati. Termasuk celana dalam. Untuk satu celana dalam ternyata menyimpan berjuta fantasi dan mampu membangkitkan andrenalin yang tersembunyi. Layak disebut seni, bentuk karya nyata dan bisa dinikmati rasa. Apalagi yang menggunakannya adalah wanita, wih! Bila aku bisa mendapatkan celana dalam mereka, akan menjadi kebahagiaan tersendiri dan harus kunikmati sendiri. Dari situlah kejantananku bekerja, libidoku akan berfungsi sempurna. Nikmat rasanya. Kenikmatan ini mungkin bisa jadi obsesi tiap hari. Apalagi hampir tiap hari aku bertemu Anis. Dialah pemicu nafsuku, gairah seniku. Karena dia juga, malam ini aksiku harus kuulangi lagi.
Aku rela mengendap-endap, hati-hati berkeliling antar jemuran . Memastikan rumah yang akan menjadi targetku tidak jauh dari tempatku tinggal, minimal beda satu-dua gang, penghuninya harus tidak mengenaliku, begitu juga sebaliknya.
Tadi sore sepulang kerja sudah kuamati wanita-wanita daerah sekitarku ini. Sekedar memeriksa jemuran mereka jika saja ada celana dalam yang layak untuk kumiliki. Berharap kiranya ada satu atau dua celana dalam tergantung menggiurkan. Ternyata ada, ya, di jemuran ini. Entahlah ini jemuran rumah siapa, yang jelas dari sore tempat ini sudah kupastikan sebagai sasaran aksi. Dan malam ini adalah malam yang paling mengejutkan dan membahagiakan. Dendamku sedari pagi mulus terlaksana, bahkan bisa dibilang aksi paling gemilang.
Kutemukan sepotong G-string merah! Wow, mengejutkan sekali. Selama berburu, belum pernah aku dapat G-string. Padahal inilah buruan yang paling kudamba. Unik bentuknya, susah mendapatkannya, bila kucium fantasiku bisa tiga kali lipat lebih sempurna dari biasanya. Hampir bosan aku berburu celana dalam yang bentuknya itu-itu saja. Maklum, aku tinggal di daerah biasa, berpenghuni manusia-manusia daerah biasa pula. Aku yakin, jarang dari mereka yang mengenal celana dalam bertipe luar biasa, bahkan bisa aku pastikan tidak ada. Celana mereka berbentuk serba biasa, minimal berenda pinggirannya, motif bunga. Jika beruntung, bisa kudapatkan yang bergambar unik, biasanya milik gadis remaja. Misal, gambar lambang cinta yang terletak tepat di bagian depan, lurus dengan organ vital. Tapi itu jarang.
Oh, G-stringnya masih basah, pun sama dengan kejantananku tiba-tiba. Puitis sekali…
Sekarang pulang saja, temuan G-string ini sudah lebih dari cukup. Segera aku bergegas pergi, namun tiba-tiba ada yang membuka jendela. Sigap, aku segera tiarap. Merangkak dan berlindung di balik tumpukan batu bata beberapa meter dari sana. Sialan! Aku terpaksa tetap dalam posisiku karena jika aku bergerak sedikit saja, cahaya lampu kamar akan menerangiku dan seseorang bisa saja memergokiku.
“Hilang!” kudengar suara seorang wanita. Sepertinya dia telah tahu bahwa salah satu barangnya telah kuamankan, G-string yang menggiurkan ini. Fiuh..untung aku lebih cepat beberapa detik daripada dia.
“Hilang bagaimana?” seorang lelaki bersuara pula.
“Sumpah, tadi kucuci dan kujemur, Mas. Sekarang sudah tidak ada. Padahal setengah jam yang lalu aku masih melihatnya di sana.“
“Bukannya kau buang?”
Sunyi. Lalu sosok lelaki yang tadi hanya terdengar suaranya itu muncul di jendela sambil membuang puntung rokok dan berdiri di sana seperti memandang ke arah persembunyianku.
Dengan tegang aku makin merapatkan tubuhku, akrab dengan kegelapan, berusaha menghindari sebisa mungkin jangkauan cahaya lampu kamar itu.
“Kenapa juga aku harus membuangnya?” kudengar suara wanita itu lagi.
“Bisa saja. Mungkin karena kau tidak suka,” jawab lelaki itu sambil berbalik, kini dia masih di sana tapi dengan punggung menghadap ke luar, ke arahku.
“Aku tidak membuangnya.”
“Lalu kenapa sekarang tidak ada?”
“Pasti ada yang mengambilnya.”
“Tidak mungkin. Kau pasti sudah membuangnya.”
Diam di antara mereka. Hanya kurasakan aroma pertengkaran suami istri yang bakal terjadi. Aku tertawa saja dalam hati, malah semakin ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Kau bisa katakan terus terang kalau tidak suka, tidak usah dengan cara begini. Mencari-cari alasan.”
“Aku sudah bilang, Mas, aku tidak membuangnya. Ya, mungkin aku memang merasa risih dan kurang senang dengan apa yang Mas berikan itu, tapi tidak ada sama sekali niatan untuk membuangnya. Aku justru sedang memikirkan untuk memakainya malam ini, karena itu kan yang Mas mau?”
Kudengar lelaki itu mendengus dan berbalik sambil menutup jendela dengan kasar, sementara lamat-lamat kudengar wanita itu mulai terisak-isak. Tak terdengar jelas apa yang kemudian mereka bicarakan, yang jelas, sepertinya akan terjadi pertengkaran yang hebat atau minimal akan ada kebisuan yang lama, aksi saling diam di antara mereka berdua. Hubungan yang memburuk antara suami istri. Atau ada lagi yang lebih buruk yang dapat terjadi? Banyak!
Ah, asal keberadaanku ini tidak diketahui, masa bodohlah dengan mereka! Lebih baik aku pergi sekarang. Pulang. Mengendap-endap. Hati-hati sekali.
Aku tertawa lagi dalam hati. Semua akibat segitiga merah warnanya ini. Betapa lucunya! []

--------------------------------------
Tulisan kolaborasi bersama Aris Kurniawan dan Naim Ali...
Gambar hasil tangan Naim Ali...