Minggu, 31 Oktober 2010

Tak Sesederhana Sebuah Ingin

Inginku sederhana…menjadi ibu dari anak-anakmu, juru masak dari laparmu, juru pijat dari letihmu, teman dari sepimu, pendengar dari keluh kesahmu, tangis dalam sedihmu, tawa dalam bahagiamu, penopang dalam rapuhmu, penyejuk dalam marahmu, makmum dalam sholatmu, pengamin dalam do’a-do’amu, juga maaf dalam khilafmu.
Inginku sederhana…menjadi rusuk yang senantiasa melindungi jantungmu yang tak letih berdetak, dalam sebuah naungan yang suci; munakahat

Kuhela lagi nafasku malam ini, lebih panjang dari biasanya. Sungguh sesak ini tak tahu lagi serupa apa…mungkin serupa bola salju yang bergulir makin lama maka akan makin membesar. Lalu kutemukan dada ini tak sanggup lagi menahan guliran bola tersebut hingga akhirnya ia pecah berserak… Kubaca lagi tulisan tangan di kertas lusuh itu…

Kertas lusuh itu tiba di tanganku seminggu silam. Diberikan oleh seorang perempuan dengan lesung pipi menawan. Dalam wajah malu tertunduk, diremasnya kertas itu berulang kali sebelum ia merasa berani mengangsurkannya padaku.
“Bacalah, kak. Maaf jikalau kurang berkenan”, ujarnya lalu segera mengangkat tapaknya sedikit menjauh dariku. Lalu semakin menjauh meninggalkanku termangu membaca tulisan tangannya yang sama sekali tak rapih. Penuh coretan. Butuh keberanian besar buatnya menuliskan kalimat-kalimat itu. Keberanian yang ditebus dengan rasa malu berlipat-lipat. Dan hingga adzan Magrib menggema, aku masih terpekur memandangi kertas lusuh itu, apa yang harus kulakukan…??

Tak ada yang salah dengan keinginan perempuan itu, semua perempuan normal di dunia ini pun pasti memiliki keinginan yang sama. Hanya saja, ragu masih menggantung sempurna di hatiku. Pantaskah…?? Pantaskah aku menjadi detak jantung yang dilindunginya? Pantaskah dia menjadi tulang bengkok yang kucari selama ini? Ahh……tak ada jawaban yang ditemukan otakku. Organ yang selama ini selalu kuandalkan itupun menjadi buntu seketika. Ibarat processor computer yang sedang hang. Mungkin sekarang giliran hati yang mengambil alih…
“Apa yang menjadi tanda seseorang dikatakan sepadan buat orang lain?”, tanyaku suatu petang pada sahabatku yang sebentar lagi menikah.
“Relatif, Bro. Terlalu banyak ukuran yang berbeda di mata-mata kita. Ukuranmu dengan ukuranku pasti beda. Sebagai contoh di masyarakat kita, seorang dokter mungkin baru merasa pantas jika ia berpacaran atau menikah dengan dokter atau orang-orang yang selevel dia. Itu jika ditilik dari kepantasan dalam bahasa ekonomi atau strata sosial. Namun tidak menutup kemungkinan, anak seorang pengusaha merasa bahwa mantan napi adalah sosok yang juga sepadan buat dia. Semua kembali pada diri dan hati”.
“Aku butuh sebuah ukuran baku. Ukuran yang umum menjadi tanda”.
“Hahaha…sebuah tanda umum buatku…adalah kau merasa nyaman dengannya… well, tapi itu ukuranku. Entah denganmu atau orang lain.”

Perbincangan hari itu berakhir dengan sebuah simpulan buatku, merasa nyaman. Ah…apakah aku merasa nyaman dengan perempuan itu? Aku sendiri sulit mengukur perasaanku sendiri. Jika kenyamanan itu diibaratkan dengan kebetahan berbicara lama dengannya, maka aku betah berbicara lama dengannya…tapi, tak jarang rasa kantukku tak mau mengalah hingga sebuah perbincangan harus terhenti hanya karena sang kantuk telah melonjak-lonjak. Ah…rasa nyaman yang dangkal…

Di hari yang lain dengan sahabat yang lain…
“Sebenarnya bahasa sepadan tak sepadan itu terlalu ambigu buatku. Agama kita telah mengatur segalanya. Maka pilihlah sesuai kriteria yang dianjurkan. Satu hal lagi, butuh kelapangan hati untuk saling menerima satu-sama lain. Menikah bukanlah lantas yang dua itu menjadi satu, namun bagaimana yang dua itu melangkah bersama dalam satu arah. Banyak beda sungguh wajar, maka kesabaran dan kelapangan hati lah yang menjadi kunci. Apakah hatimu cukup lapang untuk memenuhi keinginan sederhana perempuan itu?”.

Segala jawaban yang diberikan sahabat-sahabatku rupanya belum mampu menuntunku menuju sebuah jawaban. Aku masih ragu. Entah. Aku sendiri tak tahu… Sementara di sudut sana, perempuan itu masih menunggu. Meski dengan sisa waktu yang semakin menipis…

Dering handphone mengganggu mataku yang sibuk memperhatikan tayangan Tsunami Mentawai. Nama perempuan itu menari-nari di layar.
“Halo, assalamu ‘alaikum”, ujarku.
“Wa alaikum salam”, sahutnya. “Mengganggukah saya, kak?”
“Tidak”.
Cukup lama ia terdiam sebelum kudengar hela nafasnya yang pajang…
“Kak…maafkan tulisan kemarin. Jika tulisan kemarin membuatmu bingung, maka lupakanlah. Biarkanlah semua berjalan sesuai alurnya, seperti yang pernah kau katakan padaku. Semua akan tiba jika waktunya telah tepat. Kita hanya serupa boneka yang mengikuti alur cerita. Senang dan sedih adalah bagian dari peranan yang kita mainkan. Kau dan aku telah berperan sebaik yang kita mampu…selanjutnya ada Dia yang berhak mengatur… dan seburuk apapun…itulah yang terbaik menurutNya…maafkan kelakuan kemarin yang tak berkenan”.
Aku tak tahu harus menjawab apa…semua kalimat yang diucapkannya adalah serpihan-serpihan kalimatku sendiri. Dan aku memilih diam…
“Kak…sudah dulu ya…Wassalam”. Tak ada canda seperti biasa kala ia menelepon, tak banyak cerita yang mengalir dari mulutnya yang kadang tak mengenal kata titik. Dan apakah aku merasa nyaman…?? Entah…

Handphone masih di genggaman… bunyi tut…tut…masih terdengar. Lalu ingin sederhana itu…harus kujawab apa…?? Iya……tidak……



Hanya waktu yang tahu jawabnya
Sebab ia menyimpan sgalanya
Rapat-rapat
Juga tentang tanya dalam hati
Bilakah semua kan berujung
Sungguh, ku ingin tergesa
Segera tiba di penghujung waktu
Tapi sabar
Mungkin jawaban terbaik
Dan usaha terkeras
Yang aku mampu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar