Selasa, 26 Januari 2010

With the Lect...






Akhir kuliah...sekali lagi ingin mengabadikan separuh jejak di kota ini, di ruang kuliah yang satu setengah tahun menjadi saksi berupa perjuangan yang tlah kami lalui bersama... Nice memory...

Sabtu, 16 Januari 2010

Pelajaran dari Segenggam Garam

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi,
datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah.
Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet.
Pemuda itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Pemuda itu menceritakan semua masalahnya.
Pak Tua yang bijak mendengarkan dengan seksama. Beliau lalu
mengambil segenggam garam dan segelas air.
Dimasukkannya garam itu ke dalam gelas, lalu diaduk
perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya, “ujar Pak tua itu.

“Asin. Asin sekali, “jawab sang tamu, sambil meludah ke samping.

Pak Tua tersenyum kecil mendengar jawaban itu.
Beliau lalu mengajak sang pemuda ke tepi telaga di dekat tempat tinggal Beliau.
Sesampai di tepi telaga, Pak Tua menaburkan segenggam garam ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, diaduknya air telaga itu.

“Coba, ambil air dari telaga ini dan minumlah.” Saat pemuda itu selesai
mereguk air itu, Beliau bertanya, “Bagaimana rasanya?”
“Segar,” sahut sang pemuda.
“Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?” tanya Beliau lagi.
“Tidak,” jawab si anak muda.

Dengan lembut Pak Tua menepuk-nepuk punggung si anak muda.
“Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam tadi,
tak lebih dan tak kurang. Jumlah garam yang kutaburkan sama, tetapi rasa air yang kau rasakan berbeda. Demikian pula kepahitan akan kegagalan yang kita rasakan dalam hidup ini, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Beliau melanjutkan nasehatnya. “Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya.
Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran"


"Subhanallah.. "

Sekarang seberapa luas hatimu kawan...? Sudah siapkah hati ini menjadi tempat yang nyaman damai berdampingan dengan masalah yang datang? karena untuk keluar atau pun lari tidak mungkin.Sejauh kita berlari dan sembunyi, masalah itu akan selalu menemukan kita dalam episode kehidupan kita..terima saja dan berdamailah...ajak dia untuk menikmati secangkir teh kesabaran...selepas dia pergi Insya Allah akan mendapati diri kita yang kuat dan tegar...SEMANGAT KITA PASTI BISA!


Disadur dari komunitas BISA... Diposkan oleh Isa Alamsyah.

Jumat, 15 Januari 2010

Dunia Main Main

Dulu Ayah kira, saat engkau sudah bisa berjalan adalah saat yang melegakan karena Ayah tidak harus lagi menggendongmu, engkau bisa jalan sendiri bisa main sendiri dan Ayah tinggal duduk mengawasi. Tapi ternyata tidak begitu, saat ini dimana engkau sudah bisa berjalan adalah juga saat-saat melelahkan sama seperti waktu engkau masih digendong-gendong.

Kakimu telah kuat menapak dan hasrat bermainmu semakin bertambah-tambah. Apakah Ayah tetap duduk-duduk saja mengawasimu? Terpaksa Ayah ikut bermain. Bersama anak-anak maka kita pun seharusnya menjadi anak-anak, begitu amanat baginda Rosul.
Menjadi anak-anak berarti ikut melihat dengan penglihatan anak-anak, berarti juga ikut berpikir dengan pola pikir anak-anak. Asalkan jangan berbicara dengan cara bicara anak-anak: dicadelin. Anak juga perlu melihat contoh bagaimana orang dewasa bicara. Menjadi anak-anak tidak berarti menghilangkan kedewasaan kita. Menjadi anak-anak adalah dengan sikap sadar semata-mata ingin coba memahami dunia anak-anak. Kita ingin menunjukkan bahwa hubungan yang harmonis dan bersahabat adalah hubungan kesetaraan, hubungan yang menjaga jarak dengan arogansi kedewasaan ataupun egoisme kekanak-kanakan. Maka Baginda Rosul pernah mempercepat sholat karena mendengar ada anak yang menangis ataupun memperpanjang sujud demi membiarkan cucunya bermain-main dipunggungnya.

Ah, betapa menyenangkan menjadi seorang anak. Dunianya adalah bermain, bermain dan bermain. Dan pada saat dia bermain, orang-orang disekitarpun ikut bermain bersamanya. Seorang anak bermain untuk menyegarkan jiwanya sehingga mampu terus berkembang dan berkembang. Orang dewasa yang ikut bermain jiwanya juga menjadi segar dan tidak berhenti berkembang. Jiwa menjadi kaku dan mandeg hanya ketika kita berhenti bermain. Segalanya menjadi serba serius dan kaku. Bayangan dan realita bercampur aduk. Kepekaan rasa menjadi hilang.

Sesungguhnya dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau belaka, begitu Allah berfirman. Dan rasa-rasanya engkaulah, anakku, yang paling mengerti dengan kalam suci itu. Ayah sudah seringkali melantunkan ayat suci itu sedangkan engkau membaca sekalipun belum pernah. Tetapi seolah-olah engkau telah memahaminya dengan menjadikan dunia ini benar-benar sebagai arena permainan dan engkaulah pemain diarena itu. Engkau genggam dunia dan engkau reguk saripatinya.

Ayah pernah beberapa kali putus asa dengan dunia. Rasanya ingin sekali menjaga jarak dengan dunia. Berapakah nilai dunia? Dunia hanyalah tempat bermain dan bersenda gurau belaka. Oleh karenanya dunia menjadi tidak penting. Apa yang penting? Yang penting adalah kehidupan abadi setelah dunia. Disanalah kebahagiaan sesungguhnya diperoleh. Kebahagiaan yang benar-benar bahagia yang tidak berakhir dengan kesedihan. Tidak seperti di dunia ini, dunia yang tidak hakiki. Kita menangis tapi yang terdengar adalah tawa. Kita tertawa tapi yang terlihat adalah air mata.
Anakku, engkau memperlihat sisi yang hakiki dari dunia ini. engkau telah benar-benar tersedot masuk dalam hakekat dunia: permainan. Ayah melihat engkau bermain, tapi apakah engkau merasa sedang bermain? Ataukah engkau yang dipermainkan? Oleh siapa? Apakah dunia ini juga dipermainkan? Oleh siapa?

Jika dunia ini disebut sebagai arena permainan, maka sudah tentu ada suatu rancangan permainan yang melibatkan Ayah, engkau dan alam semesta. Jadi bukan lagi kita yang bermain tetapi kita yang dipermainkan dalam rancangan permainan itu. Jika dunia adalah panggung sandiwara maka sudah tentu ada alur cerita yang harus ditaati oleh para penghuni panggung tersebut. Kalau begitu, apalah artinya kalah dan menang dalam permainan. Apalagi dalam permainan yang dirancang sendiri oleh pemainnya. Apalagi pemainnya itu adalah pemain tunggal. Ibarat permainan catur. Permainan menjadi sangat memusingkan apabila dimainkan oleh dua orang. Kalah dan menang menjadi sesuatu yang sangat berarti. Tetapi bila pemainnya hanya satu-satunya, apalah artinya kalah dan menang.

Begitu ya?

Benar Ayah, perlakukan dunia seolah-olah Ayah akan hidup selamanya sehingga tidak perlu sedih dan cemas bila ada permainan dunia yang luput dari Ayah, kan masih bisa dimainkan kapan-kapan. Permainan yang telah berlalu, menang atau kalah, biarkanlah berlalu. Permainan yang akan datang belum diketahui bentuknya. Hanya permainan saat ini sajalah, yang sedang kita mainkan, yang harus kita mainkan dengan sungguh-sungguh. Pernahkah Ayah lihat aku bermain dengan malas-malasan. Apa saja yang ada dihadapanku aku mainkan dengan sungguh-sungguh sampai aku merasa harus berganti atau diganti paksa dengan permainan yang lain. Lalu aku menjadi asyik dengan permainan itu Rasa-rasanya, semua permainan sama bagiku, sama-sama aku nikmati dengan benar-benar. Adapun setelah dunia ini, yaitu akhirat, perlakukan ia seolah-olah Ayah akan mati besok. Kalau tidak sekarang kapan lagi?

Terima kasih anakku. Setelah bermain denganmu Ayah ingin terus bermain dan menganggap persoalan dunia tidak lebih sebagai permainan belaka.

Disadur dari sebuah blog http://sutris.blogspot.com tertanggal 27 Desember 2009