Sebuah cerita basi karena kehabisan inspirasi
Sebulan lalu menjelang hari raya Idul Qurban kembali saya menempuh perjalanan selama 10 jam dari Tana Toraja menuju kota Makassar. Jika pada bulan-bulan sebelumnya perjalanan saya habiskan dengan tidur di atas bus, maka perjalanan kali ini agak sedikit berbeda. Berbeda karena saya mendapat tumpangan gratis dari kepala sekolah tempatku bertugas dan juga pengalaman baru. Yah, pengalaman baru sebab mampu menikmati pemandangan indah sepanjang jalan dan juga berkenalan langsung dengan salah satu makanan khas yang jarang terdengar di telinga. Inilah yang akan saya ceritakan disini, namun jika terlalu berputar-putar harap dimaklumi, namanya saja kehabisan inspirasi.
Kami meninggalkan Tana Toraja yang terkenal dengan ritual Rambu Solo (sebuah pesta kematian yang kemeriahannya mengalahkan resepsi pernikahan) pukul tiga sore. Toraja adalah salah satu kabupaten terindah di propinsi Sulawesi Selatan menurutku, sebab sepanjang jalan mata memandang yang nampak adalah hijaunya gunung yang masih perawan.
Namanya perjalanan yang tak terikat apapun, maka beberapa kali kami singgah, entah membeli buah tangan atau sekedar melepas penat. Meninggalkan kabupaten Toraja dan memasuki kabupaten Enrekang, maka akan dijumpai penjual sayuran di pinggiran jalan. Yah, Enrekang memang terkenal dengan produksi sayuran segar dengan harga murah sehingga tak salah jika istri kepala sekolahku menjadikannya persinggahan pertama. “Beli sayur untuk mertua, mumpung murah,” ujar ibu empat anak ini.
Persinggahan kedua adalah membeli buah tangan. Inilah yang berkesan, sebab buah tangan kali ini lain dari biasanya, namanyaDangke. Nama ini sering terdengar namun agak kurang familiar di telingaku, hingga membuat penasaran. Dangke adalah makanan khas Enrekang yang sering diplesetkan dengan sebutan keju Enrekang. Bentuknya menyerupai tahu tapi agak lebih besar, berwarna putih dan agak kenyal. Lalu mengapa diplesetkan dengan sebutan keju Enrekang? Mari kita tanya si pembuat dangke… hehehe….
Dangke merupakan makanan khas yang pembuatannya sangat sederhana dari bahan yang sederhana pula, susu sapi atau susu kerbau (kami menyebutnya tedong). Dangke dibuat dengan cara merebus campuran susu sapi/kerbau, garam dan sedikit getah buah pepaya muda. Kata sang pembuat dangke, getah pepaya ini fungsinya untuk menggumpalkan susu, tapi tidak boleh terlalu banyak, takut dangke menjadi pahit. Setelah googling, tahulah bahwa getah pepaya itu mengandung enzim papain yang berfungsi memisahkan protein dan air sehingga susu menjadi padat. Hem, hebat siapa yah sang pembuat dangke atau om google…?
Nah, setelah susu menggumpal, maka adonan susu tadi dicetak dalam tempurung kelapa yang telah dibelah menjadi dua. Setelah adonan membeku, maka dangke dibungkus dengan daun pisang dan siap dinikmati, baik dimakan langsung ataupun dipanggang/di goreng terlebih dahulu. Sebuah keberuntungan saat itu buatku adalah melihat langsung proses pembuatan dangke tersebut, meski tidak sampai selesai. Info bermanfaat itu pun akhirnya dipertukarkan dengan selembar uang puluhan ribu. Yah, satu buah dangke dihargai sepuluh ribu rupiah, tapi belinya ga satu kok… hehe…
Belum meninggalkan tempat tersebut, mataku kembali melihat cemilan yang lain. Bukan Taro, Chiki dan sekawanannya, keripik Dangke itulah namanya. Dikemas dalam plastik bening kecil-kecil –yang besar juga ada, khas produksi rumah tangga. Hem, penasaran dengan rasa dan cara pembuatannya kembali langkah saya menemui sang pedagang. Ternyata selain diolah menjadi dangke, susu kerbau atau sapi juga bisa diolah menjadi keripik. Cocok bagi orang-orang yang tak senang mengkonsumsi susu secara langsung. Cara pembuatannya pun tak kalah sederhana, berbahan tepung beras, susu, dan garam. Namun langit yang mulai memerah membuatku tak sempat bertanya banyak tentang cara pembuatan keripik itu. Yah, perjalanan masih jauh sementara kepala sekolahku agak kewalahan saat menyetir pada malam hari, maka pertanyaan seputar keripik ditunda hingga saya mendapatkan kesempatan numpang gratis lagi mudik berikutnya. Namun, keinginan untuk mencicipi rasa keripik itu sepertinya tak bisa menunggu maka sekali lagi buah tangan untuk keluarga ditambah, bukan hanya “keju” Dangke tapi juga keripiknya.
Perjalanan berlanjut, melewati gunung Nona yang begitu indah dan membuat rasa takjub akan kuasaNya semakin besar. Singgah sejenak mengagumi keindahannya dengan mulut yang tak henti mengunyah keripik Dangke. “Bagaimana kalau sekalian kita makan dangkenya disini?” saran istri kepala sekolahku. Karena penasaran dan belum pernah mencoba sebelumnya maka anggukan kepalaku segera menyetujui ajakan tersebut. Dangke yang kami beli tadi di iris kecil-kecil, sebagai percobaan maka tanganku memilih irisan yang paling kecil. Aromanya memang seperti keju, namun tetap dominan aroma susu sapi buatku. Menggigit secuil dan melihat mukaku agak merengut maka spontan kepala sekolahku berujar “Bagaimana rasanya? Seperti menyusu dari sapi kan..?” Eum, no comment.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar