Senin, 05 September 2011

Roo Untuk Moo


Moo…
Mungkin saat ini matamu telah lelap di atas roda-roda karet yang akan membawamu tiba pada peluk bunda terkasih beberapa jam lagi.  Lelaplah Moo, rebahkan letihmu setelah dua hari kau dan aku serupa gasing, berputar-putar untuk berhenti pada tempat yang sama. Tumpukan batu bisu penyaksi sejarah kebesaran daerah kita.

Moo…
Kau bertanya berapa puisi yang kan lahir setelah dua senja kita tenggelamkan pada mata kita. Tak ada angka pasti untuk menjawab itu, Moo. Kita tidak sedang belajar aritmatika atau menebak-nebak konsentrasi larutan kimia. Maka sediakah kau bersabar entah untuk berapa lama…? *kuharap kau menganggukkan kepala dan gigimu berbaris rapi menyunggingkan senyum*

Moo…
Harus berujar apa untuk persuaan kita? Senja pertama yang tanpa sengaja kita habiskan secara tak sempurna di balik kepala beberapa orang adalah sebuah ujung dari kejahilan kita. Aku tak pernah mengira kaki-kaki waktu akan membawa kita hingga tiba pada hari ini, atau mungkin beberapa hari lalu saat kita bersepakat untuk bersama menenun helai-helai benang yang kita satukan dari rasa percaya, sayang, rindu, sedikit ragu dan takut, juga kalimat-kalimat yang kita tukarkan melalui udara. Helai benang yang kita harap kan menjelma kain penuh warna yang kan menjadi pakaian kita satu sama lain.
Kau tahu Moo, luka telah membuatku menganggap hidup ini getir. Dan sim salabim kau tiba-tiba muncul, tertawa dan mengulangi kalimat 3 Idiot “Aal Iz Well” saat kegetiran itu kungiangkan. Jiwamu terbuat dari apa, Moo? *stupid question ya*  Senyum itu tak hilang dari wajahmu kecuali saat blitz kamera siap menyapa J  Aih, Moo… pantaslah kau menjelma  madu yang mengundang kekupu, dan seperti yang pernah kukatakan padamu, aku hanya akan menjadi ulat bulu yang mengamati dari jauh. Tak berharap menjelma kekupu rupawan.

Moo…
Bolehkah kumeminta sedikit kesabaranmu untuk sikapku yang begitu banyak cela? Aku yang tak tahu ini itu, rewel pada yang begini dan begitu, bahkan sensitive yang amit-amit melangit *sebuah pengakuan dosa*. Sedikit saja, Moo… sebentar saja..hingga tiba ulat bulu ini bermetamorfosa menjelma kupu-kupu dengan sepasang sayap sederhana tanpa rona memikat. Sebab, aku tak mau banyak mata yang terpikat, Moo. Cukup satu. Sepasang matamu saja.

Moo…
Dahulu kau meminta sedikit segmen, maka telah kusediakan segmen itu beserta rasa yang telah mengendap menjadi sedimen, kini hanya menunggu bila kan permanen menempati segmen yang ada.  Aku percaya padamu, Moo…  Saat keputusan demi keputusan kuambil, saat manik mata kita beradu, saat itulah aku mempercayaimu…

Moo…
Cukuplah man jadda wa jadda untukmu, man shabara zhafira untukku…lalu kita basuh bersama do’a-do’a,  dan kita balut bersama keyakinan. Semoga mimpi sederhana yang kita tanam kan mekar dengan bersahaja. Aamiin.

Moo…
Kusudahi surat ini sambil berharap  roda-roda yang kini membentangkan jarak antara kita, kelak akan merekatkan kita. Mempertemukan dalam taliNya. Nite My Moo...

                                   




                                                                                                                     Your Roo