Jumat, 19 November 2010

[Cerita Bassang dan Putu Cangkir] Yang Dirindu, Yang Terlupakan

Pagi ini terbangun di tempat yang berbeda. Lelah semalam menguap sudah. Matahari perlahan bangkit. Menggantikan bulan yang pelan-pelan hilang dari mata telanjangku. Purnama sudah berlalu dua hari kemarin. Hem, kuperhatikan laptopku yang tertidur 4 jam lalu… Hem, biarkan dulu dia istirahat.

Menempuh perjalanan semalam, membuat perutku memainkan orkestra. Masih jam setengah enam subuh, tapi genderang lapar sudah ditabuh. Belum waktunya sarapan sebenarnya, tapi jika kampung tengah menuntut jatah… harus segera terpenuhi… hehe…

Berbicara sarapan, mengingatkanku pada dua makanan kegemaranku sedari kecil. Bassang dan Putu Cangkir. Keduanya makanan sederhana dengan rasa yang tak sederhana buatku. Menjadi candu sedari kecil dan kini menjadi hal yang paling dirindukan lidahku. Apalagi sejak menjadi makhluk nomaden. Makanan itu tak pernah lagi terkecap olehku.

1289907373372589346Bassang. Mungkin bagi orang-orang yang pernah menginjakkan kaki di bumi Sulawesi -khususnya Makassar- beberapa puluh tahun silam, pastilah familiar dengan makanan yang tiap pagi dijajakkan dengan sepeda yang membawa panci besar. Bassang tak lain adalah makanan tradisional Sulawesi yang terbuat dari jagung pulen dan santan yang disajikan dalam bentuk bubur. Penyajiannya pun sederhana, hanya ditambahkan sesendok atau lebih gula pasir. Tergantung selera.
Masih teringat waktu kecil dahulu, aku dan adik-adik dengan setia duduk di depan rumah tetangga –rumah kami berada di belakang rumah orang lain- menanti suara yang berteriak bassang…bassang… Jika suaranya telah terdengar dari jauh, maka dengan sigap adikku akan membawa rantang ke pinggir jalan, takut sang pedagang melewatkan kami. Tak lama kemudian uap mengepul dan putihnya bassang beralih dari panci ke rantang kami. Berikutnya ritual sarapan ramai-ramai dimulai.

 Kini, tak lagi kutemukan penjual bassang. Tiap menjenguk rumah, selalu kunantikan adanya teriakan bassang…bassang… Tapi, penantianku sia-sia. Terakhir menikmati bassang lima tahun lalu. Pedagangnya kebetulan tetangga. Tiga tahun lalu meminta adik bungsuku membelikan pada tetanggaku tersebut, ia hanya berucap… Daeng Ngai sudah tidak jualan lagi, Kak. Sudah mati ditikam. Setelah itu, tak lagi mudah menemukan pedagang bassang. Ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Lain bassang lain pula dengan Putu Cangkir. Aku menamakannya si manis karena bentuknya dan warnanya. Bentuknya yang imut dan warnanya yang coklat, ibarat seorang gadis berkulit sawo matang di depanku… (haha, analogi yang sama sekali salah sambung). Putu cangkir adalah salah satu makanan khas Bugis-Makassar yang terbuat dari campuran tepung ketan, gula merah dan kelapa parut kemudian dibentuk menggunakan cangkir dengan memanfaatkan uap air mendidih. Rasanya legit di lidah. Dan makanan ini sungguh membuatku kecanduan sejak kanak-kanak.
Jikalau bassang dijajakkan dengan menggunakan sepeda atau gerobak, maka putu cangkir dijajakan di pinggir jalan –dulunya. Penjualnya pun rata-rata adalah wanita yang telah berumur, terkesan tua. Senasib dengan bassang, putu cangkir pun telah mendekati kepunahan. Meski cara membuatnya sederhana, namun tak semua generasi mampu membuatnya.

Berbeda dengan Bassang, si manis Putu Cangkir masih lebih beruntung. Pedagang kue ini masih bisa dijumpai di pasar-pasar tradisional yang mulai tergeser oleh supermarket. Jika melihat seorang perempuan setengah baya tua, duduk di pinggir jalan dengan baskom berisi tepung berwarna coklat dan panci kecil yang mengepul, singgahlah sebentar siapa tahu itu kesempatan terakhir mencicipi putu cangkir (semoga tidak).

Bassang dan putu cangkir hanyalah contoh dari beberapa makanan tradisional yang dirindukan namun perlahan terlupakan. Dirindukan oleh orang-orang sepertiku, yang jauh dari tanah kelahiran. Dilupakan oleh adik-adikku yang lebih senang menikmati fastfood. Yah, kuakui segala macam fastfood itu memang sangat menggoda mata dan lidah. Sayang, lidahku lidah kampung…hingga masih saja merindukan bassang dan putu cangkir


Terkait dengan tulisan ini :

Sabtu, 06 November 2010

[Larut dalam Kenangan] Cerita Hujan



Pada mulanya hujan itu hanya ada di dalam mimpiku,
di dalam tidurku, di sepasang mataku yang terpejam.

Kemudian hujan itu jatuh cinta kepada sepasang mataku
yang tidak tidur. Aku selalu menemukan bebulu mataku
basah bagai embun di rerumputan, di pagi dan sore hari.

Gerimis menyapa teritisan rumah. Sekarang sedang musim penghujan, wajar jika tiap sore hujan menyapa kampung tempatku bermukim sekarang. Jika jarum jam telah menunjuk angka dua dan dua belas maka lihatlah ke atas. Langit sedang menyulam benang-benang hitam yang sebentar lagi berdegradasi menjadi tetes bening.  Tetes yang mampu menyejukkan atau mungkin menyakiti. Mataku takkan pernah letih memandangi perubahan itu, menanti yang kelabu di atas pelan-pelan jatuh lalu menderas menyajikan orkestra di atap-atap seng rumah. Juga menyapu lembut dedaunan yang mendoa. Hujan telah memiliki nada sendiri di telingaku. Notasinya hanya mampu terbaca oleh mataku. Sebab mataku dan hujan telah lama saling mencintai.

Kemudian hujan itu jatuh cinta juga kepada tubuhku.
Hujan senang sekali menyiram-memandikan tubuhku.
Tubuhku tiba-tiba saja memiliki sebuah kamar mandi
dengan sebuah kolam yang selalu penuh dengan hujan.

Angin telah tiba, menghempas hujan kemana ia suka. Ke barat, timur, tenggara, ke mana saja hingga akhirnya tiba di tubuhku. Sore seperti ini tak usah mandi, pikirku. Toh hujan telah memandikanku, tanpa perlu sabun-shampoo. Wangi yang ditawarkannya melebihi wangi berbagai merk sabun. Yah, wangi alam. Wangi laut, danau, sungai, rawa, empang, curug, bahkan bau air seni yang tersembunyi di balik rimbun dedaunan. Tak satupun pabrik yang mampu meramu semuanya hingga menghasilkan aromatherapy yang begitu menenangkan. Hanya Dia. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa aku tenang di bawah hujan, meski tubuhku telah serupa kolam yang meluap menampung buliran langit itu. Sebab aku merasakanNya di sini, saat hujan memandikanku. Tubuhku dan hujan pun telah sama-sama jatuh cinta.

Kemudian hujan itu jatuh cinta kepada tempat tidurku,
kepada kamarku, juga rumahku. Rumahku penuh hujan.
Aku melihat lemari, kursi dan meja, pakaian, buku-buku,
dan kenanganku berenang-renang di genangan hujan.

Sebuah kebiasaanku di masa kanak-kanak jika hujan menderas, menari bersama angin, bersuara bersama petir dan menyilaukan bersama kilat adalah bersembunyi di bawah selimut hangat. Sesekali mendongak ke atas melihat perpaduannya dengan wajah takut-takut. Kebiasaan itu telah lama kikis, sejak aku jatuh cinta pada hujan. Kita takkan bersembunyi dari sesuatu yang kita cintai, kita akan selalu mendekat padanya. Begitupun dengan hujan dan Dia. Hujan telah melukis banyak kenangan di ingatanku, perpisahan-perjumpaan, tawa-tangis, rindu-benci, galau-damai, dan semua itu karena tangan penciptaanNya, skenario terbaikNya. Lalu mengapa harus bersembunyi lagi dari hujan, biarlah hujan menggenangi seluruh isi rumah. Sebab kenanganku akan mengapung di atasnya. Kenangan memelukku di bawah hujan, sebab hati kami telah sama-sama mencinta.

Kemudian hujan jatuh cinta kepada halaman rumahku.
Hujan menenggelamkan pohon-pohon dan bunga-bunga
yang pernah ditanam di taman itu. Aku melihat tangkai
dan bangkai bunga mengapung-apung di depan rumahku.

Kemudian hujan itu juga jatuh cinta kepada jalan raya.
Aku menyaksikan hujan itu berjalan seperti kendaraan
di atasnya. Aku tak tahu akan berjalan menuju ke mana.

Di layar segi empat ruang tamu riuh terdengar. Kupalingkan wajah sebentar. Di sana hujan pun menyapa. Mengetuk deras segala pintu. Mencipta bah di pelosok negeri. Bahkan di sebuah kota yang telah lama menjadi ibu dari segala kota di negeri ini, jalan-jalan tak nampak lagi. Berganti genangan keruh. Mungkin sebentar lagi Baby Benz, Mercedes, Toyota, Kijang, Xenia, dan kawan-kawannya takkan lagi terpapar manis. Akan tertutup lumpur yang menyesakkan jalan napas mereka. Hujan juga mencintai mereka, berkenan memandikan mereka, menciptakan kenangan pada sang empunya untuk lebih ramah pada alam, pada kawan-kawan hujan, pada mula lahirnya hujan. Kali ini hujan tak memeluk ramah, ia menjebak. Menutup segala arah. Meminta kita menunduk, merenung, mengingat seberapa perih luka yang telah kita torehkan pada ibu pertiwi. Seberapa dalam kerukan-kerukan yang kita gali dari perutnya. Seberapa tamak kita berupaya menghabiskannya tanpa peduli pada saudara di ujung negeri. Hujan kali ini ingin mengajarkan kita kembali mengeja arti kasih sayang. Hingga tak ada lagi tangkai bunga yang menjadi bangkai di halaman-halaman rumah.

Engkau tahu? Aku selalu membayangkan hujan itu singgah
di halaman rumahmu, mengetuk-ngetuk pintu rumahmu,
mendesak masuk ke kamarmu, naik ke tempat tidurmu,
merasuk ke tubuhmu, dan jatuh cinta kepada matamu.

Aku selalu berdoa, di dalam tidurmu, di dalam mimpimu,
sepasang matamu yang terpejam melihat aku dan hujan,
melihat aku bermain hujan, bermain hujan sendirian.
Dan engkau ingin sekali menemani aku bermain hujan.

Hujan pun tak bisa kupisahkan dari mengingati dirimu. Segela kenang tentangmu mekar beriring gerimis. Pertemuan kita dimulai di bawah gerimis. Bagaimana tarian tubuh kita ditingkahi gerimis yang malu-malu. Atau mungkin justru sebaliknya, tubuh kita menari malu-malu di bawah gerimis. Ada jeda yang jauh antara tubuhmu dan tubuhku. Namun, sungguh itulah tarian terindahku di bawah hujan.  Menatapi punggungmu, mendongak berusaha melukis wajahmu, dan menungu senyummu yang tersembunyi. Namun, jarum-jarum langit berubah garang. Memaksa langkah-langkah kita berlari mencari teduh. Cukuplah waktu yang singkat itu kurangkum dalam ingatan yang tak lekang. Selepas hari itu, aku sering bermain sendiri di bawah hujan. Sambil terus melantunkan do’a semoga kelak kau akan berdiri di sampingku menemaniku bermain hujan…

Beberapa baris catatan :
Ø  Penggalan sajak dalam tulisan ini meminjam sajak dari M. Aan Mansyur yang berjudul Sajak buat Orang-Orang yang Suka Bermain Hujan.