.
Sore ini hari kelima aku berada di kotamu. Dua hari lagi aku akan pergi. Sedari dulu kau selalu memberiku batasan, hanya boleh berada tujuh hari di kota ini. Lebih dari itu, kau takkan menemuiku lagi meski aku merengek-rengek memintamu menemaniku berkeliling. “Bukankah sudah kukatakan, jangan lebih tujuh hari jika ingin menemuiku,” sungutmu hari itu, di hari kedelapan yang aku habiskan dengan mengitari putaran waktu di kota Anging Mammiri ini. Kesal terbaca dari nada suaramu. Dan kau membuktikan ucapanmu. Tak kau kunjungi aku di penginapan, bahkan mengantar kepulanganku pun engkau abai.
Warna langit pelan-pelan pupus. Aku masih betah duduk di sini. Di atas pasir hitam yang selalu kita bayangkan putih, lalu membiarkan lidah laut menyelinap menjilati jemari kaki kita. Hari ketujuh kedatanganku tahun lalu, kusempatkan bertanya perihal angka tujuh yang begitu kau agung-agungkan. Kita sudah terlalu tua untuk membicarakan hal-hal keramat, tapi tetap saja kefanatikanmu pada angka itu mengusikku.
“Mengapa harus tujuh, Mala? Mengapa angka itu harus menjadi batasan pertemuanku denganmu?” Kau hanya mengacak rambutku. Tersenyum.
“Karena buatku angka tujuh itu istimewa. Seistimewa angka sembilan, tapi hatiku telah cinta pada angka itu.” Ah, jawabanmu makin membuatku pusing. Itu bukan sebuah jawaban. Hanya sebuah alur yang berputar.
“Aku butuh alasan, Mala. Bukan ungkapan cinta. Jujur saja aku benci dengan angka itu. Selalu jadi batasan-batasan kita melepas rindu. Berikan aku alasan itu.”
“Berapa banyak alasan yang kau butuh?”
“Seberapa yang ikhlas kau bagikan untukku?”
“Mmmh… tak ada alasan logis mengapa aku jatuh cinta pada angka itu. Hanya sebuah simbol-simbol yang membuatku selalu ingat pada yang menciptakan kita. Bumi tempat kita menabur mimpi, langit tempat kita menatap harap diciptakanNya tujuh lapis. Surah Fatihah yang senantiasa kita baca saat menemuiNya ada tujuh ayat, serupa dengan jumlah guliran hari dan organ tubuh kita saat sujud menghadapNya. Kaupun pasti ingat jumlah sapi dalam mimpi Raja Mesir yang ditafsirkan oleh Nabi paling tampan, Yusuf, ada tujuh ekor gemuk dan tujuh ekor kurus bukan? Putaran thawaf, sa’i dan jumlah kerikil dalam lontaran jumrah juga tujuh. Ah..diriku jadi ceramah agama ya?” ujarmu terkekeh. Kau tahu aku paling tidak betah mendengarkan pembicaraan seputar agama, apalagi jika sudah berdebat kusir.
“Oya, satu lagi… gadis tidak boleh pulang di atas jam tujuh malam,” kedipmu sambil melemparkan pasir ke arahku lalu berlari menjauh. Matahari yang memudar menjadi tanda pertemuan kita harus berakhir.
“Mala, Kumala tepatnya,” ucapmu memperkenalkan diri di hari pertama orientasi kampus. Perempuan berdarah Bugis yang setia merecoki kepalaku dengan segala adat yang kau pegang teguh, sementara aku lebih menikmati gayaku yang semaunya. Kau pulalah yang mengajarkanku mencintai laut dan langit jingga. “Kau tahu Wawa, sore seperti ini adalah masa dimana rindu kurasakan begitu meruah. Masa-masa menanti pertemuan dengan bulan juga harap-harap cemas jika nafas esok masih akan ada. Dan nenek, selalu mengajarkanku berdo’a di waktu-waktu seperti ini.” Dasar kau, perempuan berambut ikal yang selalu menjadikan sore sebagai lumbung inspirasi, dan aku dengan setia mendengarkan segala kicaumu. Yah, dua telinga yang diciptakan untukku kumaksimalkan jika bersamamu camar soreku.
Mala, lima tahun kita bersahabat semakin nyata jika kita memang berbeda. Namun, jika telah tiba waktunya bersua maka kita ibarat magnet berbeda kutub. Tapi hanya tujuh hari. Sesudah itu tak ada lagi dispensasi, tak ada lagi pertemuan meski tubuhku telah sebulan bergumul dengan hawa panas kota ini. Seperti hari itu, lagi-lagi aku melanggar perjanjian kita. Tapi, sungguh kali ini pelanggaran ini harus kau maafkan. Rasa was-was lah yang membuatku membatalkan langkah kakiku memasuki gate bandara. Rasa khawatir yang timbul setelah sebuah pesan singkat menggetarkan kantong jeansku.
Kak Mala sejak semalam kesurupan, kak. Sekarang sedang dibawa ke orang pintar. Kakak bisa ke rumah sekarang? Pesan singkat dari adikmu. Yah seluruh keluargamu tahu kedekatan kita hingga mereka merasa perlu membagi rasa khawatir mereka padaku. “Bagaimana mungkin seorang Kumala yang kukenal bisa kesurupan?” batinku. Bergegas langkahku. Tak kuhiraukan lagi corong-corong yang meneriakkan nomor penerbanganku.
Di rumahmu, kulihat mata ibumu sembab. Tak ada sesiapa selain beliau. Kesurupan apakah engkau gerangan hingga duka begitu tersirat di wajah tirusnya? Tanya berpilin-pilin di kepalaku.
“Mala sekarang di mana, Bu? Kok bisa dia kesurupan?”
“Ibu juga tidak tau, Wa. Sore sepulangmu dari pantai bersamanya tiba-tiba saja dia menggeram dan meracau tak jelas. Seisi rumah kaget. Orang pintar sudah dipanggil sejak semalam, tapi tetap saja tak ada perubahan. Sekarang dia di bawa ke pantai yang kalian kunjungi kemarin.”
“Wawa mau ke sana, Bu. Ibu mau ikut?”. Anggukan kepala ibumu membuatku segera menyusul.
Di sana, di bawah terik matahari, di tengah debur ombak, mereka yang menamakan diri orang pintar melakukan ritual yang membuat hatiku perih, Mala. Mereka membenamkan kepalamu berulang-ulang. Membuatmu megap-megap kehabisan nafas. Perlawananmu kandas di tangan kukuh mereka. Yang mau mereka keluarkan apa? Jin ataukah nyawamu? Ayah dan kakak lelakimu hanya berdiri mematung menyaksikan adegan itu. Tidak denganku, aku tak sanggup melihat tubuhmu lemas kehabisan tenaga meronta. Berlari ke sana, itu yang terpikir olehku. Melawan mereka, membawamu ke rumah sakit, itu yang selanjutnya kulakukan. Melihatmu terbujur kaku tertutupi kain putih, pemandangan itu yang terpapar sepuluh menit setelah kita tiba di rumah sakit. Ngilu, Mala.
“Paru-parunya sudah kemasukan banyak air,” singkat penjelasan dokter mengakhiri hari kedelapan aku berada di kotamu. Hari aku terbebas dari rutuk kesalmu atas pelanggaranku tapi juga menjadi hari perpisahan kita.
Sore ini hari kelima aku berada di kotamu. Dua hari lagi aku akan pergi. Setelah tujuh hari, kunjungan ini berakhir. Jilatan ombak menyadarkanku, sudah cukup waktu untuk menjenguk genangan kenangan kita. Kota ini akan kutinggal jauh. Kenangan tentangmu akan kulipat rapat-rapat. Langit pun telah merona jingga. Seperti katamu dahulu, gadis tak boleh pulang di atas jam tujuh malam. Aku pulang, Mala.