Ada bisu yang paling senyap
mencipta jarak antara kita. Menghadirkan beku. Kau-aku tak lagi mampu menghalau
dinginnya sunyi, meski dengan segala benang keriangan yang telah terpintal.
Kabut telah terlalu tebal mengukir jeda pada jemari kita yang dulu saling
bertaut. Kini, kita berada di persimpangan. Langkah kaki kita tak lagi ingin
saling beriringan. Kedua lengan kita pun enggan bertukar peluk.
Rabu, 01 Agustus 2012
Selasa, 29 Mei 2012
Kepadamu (Sebuah Tulisan Lalu)
Dan
pada hatimu telah kutikamkan belati
Malam
ini, malam yang tak pernah terlintas dalam warna-warna harap kita kemarin.
Harap yang hanya kita baca dalam satu kata, indah. Selayar sms dan berbaris
kalimat telah kujelmakan belati yang menikam hati tulusmu. Aku tak berani
menanyakan rasanya. Cukup mendengar senyummu yang tak lagi sama atau kalimatmu
yang tertahan. Nyeri.
Luruhlah
merah dalam genggaman
Kau
pasti merasakan sakit. Perasaanmu yang putih telah kunodai dengan sebuah larik
cerita lalu. Cerita usang berdebu yang harusnya terkubur, tiba-tiba menjelma
hantu mengusik ketenangan yang kita punya. Dan ini salahku! Telah kulukis noda
pada kanvas tempat kita melukis bersama. Tanganku berlumur merah
Serakan Galau
Pada
sebuah janji akan larik-larik puisi...
Hari-hari
telah penuh peluh menanti
Mungkin
pula engkau
Sementara
rahim kataku telah mandul
Tak
lagi mampu membesarkan benih aksara
Maka
mengendaplah baris-baris kata
Yang
sedia menjelma puisi
:
aku masih butuh waktu
Pada
sebuah hari kala usia berganti...
Tak
ada manis coklat yang dilahap mata
Juga
nyala lilin yang dirindui hembus nafas
Namun
sepi bukanlah kawanmu, sayang
Ada
puluhan do'a di dinding rumahmu
Munajat
tulus dari ayah-bunda
Juga
bulir-bulir asa yang kau tanam
Jemari
ini yang kian laun merapuh
Diam-diam
dalam hening malam
Tengadah
:
Semoga kau selalu dalam peluk-NYA
Pada
sebuah diri yang patah hati
Kata
siapa patah hati identik dengan kehilangan kekasih?
Aku
tidak!
Kau
masih di dekatku
Dan
aku yakin itu
Namun
hatiku telah patah, Sayang
Tak
lagi kutemui binar asaku dahulu
Padam
Tak
lagi tegak kepalaku
Tak
lagi kokoh semangatku
Layu
Aku
patah hati, sayang
Bukan
padamu
:
Izinkan kepalaku layu di pelukmu.
*11 Nopember 2011*
Kamis, 26 April 2012
Risalah Cinta
: Kepada
sepasang mata bening yang setia menemaniku.
Ingatkah dahulu kala sepasang mata kita masih lugu menatapi
dunia? Diantara bunga ilalang, kita lahap menatapi matahari sore yang
berjingkat pelan-pelan. Kedua tangan mungil kita sibuk menghalau gatal yang
tanpa permisi berekspansi pada pori betis kecil kita. Lalu, tawa nyaring darimu
akan mengiringi jubah jingga yang ditanggalkan langit saat melihat mukaku
meringis, menahan perih bekas kuku yang meninggalkan gurat kemerahan. Bulat
matamu menggantikan matahari kala itu. Kau dan aku adalah sepasang sahabat
kecil yang berjanji takkan melepaskan tautan kelingking kita.
.
Tahun semakin menua, begitu pula usia kita yang melesat pada
bilangan yang tak mampu lagi digenapkan oleh jari-jari kita. Ruang kelas yang
angkuh menjelma tabir antara mataku dan matamu. Berlembar kertas menyita
waktuku dan waktumu. Letih pun menggumuli tubuh kita. Namun ada yang tak
berubah. Kau dan aku masih sama, senang melahap langit jingga. Kau membayangkan
puluhan bulatan sunkist, sementara barisan-barisan wortel telah menjajah
kepalaku saban sore. Kau dan aku tetap menjadi sepasang sahabat yang tetap
saling menautkan kelingking.
Sekalimat Pisah
: Untuknya yang pernah menemani
merajut mimpi
Zaman telah menjadikan kita dungu
Terjebak dalam palung rasa yang semu
Jemariku pun telah letih merajut benang
yang kau serah dahulu
Jarum telah menisik luka di hatiku
Ngilu
Bukankah kau mendamba wanita bertutur
madu
Berjemari lentik memukau
Wajah kemilau
Suara merdu mendayu merayu
Maka turutlah inginmu
Karena aku telah menjelma bayang lalu
: terima kasih untuk kenangan
semanis tebu
Sebelum
malam berlalu
Kueja
selarik kata pisah padamu
:
aku kamu tak harus padu
Sejumput Rindu Pada Hujan
/1/
Senja,
pada sebuah taman. Hujan jatuh pada telapak tangan kita. Sela jemari
kita rapatkan, seolah tak ikhlas serpihan jarum langit itu segera
ditampah oleh bumi. Namun, tetap ada ruang tempatnya menyelinap, segera
melepas kerinduan pada mula segala berasal. Ia jatuh, sebagian
melenting, lalu rebah. Dua pasang bola mata kita menatap
tanpa berkedip. Bahasa kita, diam. Ada yang pelan-pelan menyelinap pada
lobus-lobus hati. Kita terpasung pada mesmerisme senja yang melankolik.
Labirin Dua Hati
Naufal Arsy is sign out. Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang kubaca sebelum mematikan notebookku. Jam
ruang tamu telah menggemakan nada-nada manakala putaran jarumnya tiba
pada angka dua belas, lalu berdentang satu kali pada akhir irama.
Perbincangan konyolku dengannya masih terbaca di pelupukku.
Naufal Arsy : Jadi siapami yang diundang nanti pas acaramu?
Naura : Teman-teman lah, masa’ musuh :D
Naufal Arsy : Iya.. maksudku saya iyya diundangja?
Naura : Jelasmi, tidak sah acara kalau tidak datangki’
Naufal Arsy : Iya di’, kan saya tong sebagai…
Naura : Sebagai apa? Sebagai parecu? Hahaha :P
Naufal Arsy : Heeum…
Naura : Seriuska’. Datangki’ sama Lena, nah… J
Naufal Arsy : Boleh saya datang sendiri saja?
Naura : Terserah… :P
Itulah
sepenggal obrolan kami dalam ruang segiempat berhias kepala berwarna
kuning yang tersenyum. Ruang yang kemudian menjadi tempat bagi kami
menghabiskan malam saat mata enggan terpejam. Tempat kami saling
bercerita atau pun saling mencela.
Larik-larik rindu tersembunyi di kepingan senja
Lalu luruh berselimut gelap malam
Jemarimu, Jemariku
Jari-jarimu, jari-jariku
.
aku masih ingat. aku masih juga merasakan. kala pertama kali jarimu mengisi sela-sela jariku. ya tidak ada sela-sela lagi. Pun dengan hatiku, tidak ada sela lagi, penuh denganmu.
dan hari ini aku tangkupkan kesepuluh jariku. aku isi sendiri sela jariku.” (Dimas Nur)
.
aku masih ingat. aku masih juga merasakan. kala pertama kali jarimu mengisi sela-sela jariku. ya tidak ada sela-sela lagi. Pun dengan hatiku, tidak ada sela lagi, penuh denganmu.
dan hari ini aku tangkupkan kesepuluh jariku. aku isi sendiri sela jariku.” (Dimas Nur)
.
———————
Di
sini, di balik jendela ini aku berdiri. Menatap lintasan-lintasan
kenangan kita berdua. Mengingati dirimu. Merasakan saat jari-jari kita
saling mengisi tanpa sela. Dan kali ini, jari-jarimu tak lagi mengisi
kekosongan sela jemariku. Kutangkupkan sendiri, mengisi sendiri sela
jariku. Seolah kau hadir disini.
.
———————-
Malam
ini, semua berlalu seperti biasa. Semug kopi, sebatang rokok, dan
pendar layar komputer. Tiba-tiba merindumu. Merindu jemari kita yang
saling mengisi dahulu. Kutangkupkan jemariku, merasakan hadirmu.
.
————————
Kau dan aku terpisah. Namun rindu, kita tuntaskan pada jemari kita yang saling menangkup.
***Inspired by this video
Langganan:
Postingan (Atom)