Naufal Arsy is sign out. Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang kubaca sebelum mematikan notebookku. Jam
ruang tamu telah menggemakan nada-nada manakala putaran jarumnya tiba
pada angka dua belas, lalu berdentang satu kali pada akhir irama.
Perbincangan konyolku dengannya masih terbaca di pelupukku.
Naufal Arsy : Jadi siapami yang diundang nanti pas acaramu?
Naura : Teman-teman lah, masa’ musuh :D
Naufal Arsy : Iya.. maksudku saya iyya diundangja?
Naura : Jelasmi, tidak sah acara kalau tidak datangki’
Naufal Arsy : Iya di’, kan saya tong sebagai…
Naura : Sebagai apa? Sebagai parecu? Hahaha :P
Naufal Arsy : Heeum…
Naura : Seriuska’. Datangki’ sama Lena, nah… J
Naufal Arsy : Boleh saya datang sendiri saja?
Naura : Terserah… :P
Itulah
sepenggal obrolan kami dalam ruang segiempat berhias kepala berwarna
kuning yang tersenyum. Ruang yang kemudian menjadi tempat bagi kami
menghabiskan malam saat mata enggan terpejam. Tempat kami saling
bercerita atau pun saling mencela.
Larik-larik rindu tersembunyi di kepingan senja
Lalu luruh berselimut gelap malam
Menuntun melalui gelap kelam
Menuju padamu
Rinduku padanya adalah rindu yang tak patut. Rindu
yang tersesat dalam labirin-labirin tanpa ujung, hingga akupun ikut
sesat di dalamnya. Rindu yang selama ini bungkam dalam gelak tawa
diantara kami. Memilih bisu. Berharap kelak beku.
Naufal,
nama itulah yang telah membuatku merasai rindu yang nyasar. Salah
sasaran. Aku harusnya tidak merinduinya, sebab sebentar lagi aku akan
bertunangan dengan Arya, lelaki yang dipilihkan oleh orang tuaku. Namun
sungguh, rindu ini hadir sebelum aku diperkenalkan pada Arya. Rinduku
pada Naufal telah kuncup pada mula kami bertemu.
Aku dan Naufal awalnya berkenalan di situs pertemanan sosial. Entah bagaimana sejarahnya friend requestnya tiba padaku, 45 teman bersama, dan alumni dari universitas yang sama cukuplah menjadi alasan buatku mengklik tombol confirm. Lalu dari sekedar saling sapa, bertukar alamat YM, kemudian topik pembicaraan kami pun mulai melebar kemana-mana.
Naufal
adalah seorang lelaki bugis, kedua orang tuanya berasal dari Bone.
Tahun lalu ia lulus seleksi penerimaan pegawai di sebuah departemen, dan
ditugaskan di sebuah kabupaten yang terkenal dengan Gunung Nonanya,
Enrekang. Berbicara dengannya, meski melalui perantara layar segiempat,
rasanya seolah berbicara dengan seorang sahabat lama. Segala sifat
jaimku tanggal saat berbincang dengannya. Hingga aku
menemukan diriku terjebak dalam sebuah rasa yang tak patut. Tak patut
sebab mula kami berkenalan aku sudah mengetahui bahwa di sisinya telah
ada seorang perempuan elok, Armalena Citra.
Kemudian tibalah hari ajakan pertemuan itu diajukannya.
Naufal Arsy : Woy, ketemuan yuk :P
Naura : Heh?
Naufal Arsy :
Kita ketemuan. Minggu depan kan ada cuti bersama, saya mau jalan-jalan
ke Makassar, capek dikelilingi gunung terus. Apalagi gunung nona :P
Naura : Hehe… Trus?
Naufal Arsy : Yah, kita ketemuan. Masa’ tujuh bulanmeki berteman belum pernah ketemu.
Naura : Boleehh… Tapi ada syaratnya…
Naufal Arsy : Apa?
Naura : Bawakan saya oleh-oleh.. :P
Naufal Arsy : Apa?
Naura :Terserah
Naufal Arsy : Oke. Saya bawakan salak saja nah.
Naura : Okeeee…. :D :D
Naura : Eh, ada lagi tambahan syaratnya…
Naufal Arsy : Apa?
Naura : Kita ketemu di Rotterdam saja J
Naufal Arsy : Oke…oke… ;))
Dan
pertemuan itu pun tiba, saat senja tersisa separuh di atas langit Fort
Rotterdam. Seorang lelaki berambut cepak, kulit sawo matang, berkaos
biru tua - jeans hitam, dengan sebuah kantongan tiba-tiba duduk di
sampingku. Saat itu, aku duduk di bagian atas Fort Rotterdam yang
berbatasan langsung dengan jalan raya.
“Heh?”
“Naura?”
“Iya.”
“Ini salakmu.”
“Naufal?”
“Yup”
“Wah. Kenapa tidak sms kalo sudah sampai?”
“Biar jadi kejutan.”
“Kok tahu saya ada di sini?”
“Haha…di chat kamu pernah bilang paling suka duduk di atas sini kalo ke Rotterdam.”
“Trus kenapa….”
“Tahu kalo yang duduk disini itu kamu? Karena cuma kamu sendiri yang tidak memiliki pasangan, hahaha…”
Pertemuan
senja itu kemudian menyisakan sesuatu yang aneh di dadaku. Jutaan
kunang-kunang sepertinya beterbangan di antara lobus-lobus hatiku. Rasa
yang aku sadari sungguh tak layak hadir diantara dia dan Lena. Rasa yang
kemudian pelan-pelan harus kucabuti sebelum mengakar.
Seminggu
setelah pertemuanku dengan Naufal, ayahku memberi tahu jika aku akan
dipinang oleh anak sahabatnya. Tak ada alasan untukku menolaknya. Aku
tidak sedang dalam keadaan dekat dengan seorang lelaki yang bisa
kukatakan sebagai kekasih di hadapan ayah, terlebih lagi sejak kecil aku
tak terbiasa menolak kata-kata ayah. Maka anggukan kepalaku adalah
jawaban atas pinangan itu.
Naura : Faaaaallllllllllllllllll……..
Naufal Arsy : Iyaaaaaa….. saya tidak tuli eh buta… :P
Naura : Saya…akan dilamar…
Naufal Arsy : Cieeeeee…. Kapan….?? Suit…suit….
Naura : Bulan depan…
(lima menit berlalu tanpa balasan)
Naura : Faaalllllllllll………………….
Naufal Arsy : Eh, sory… Lena nelpon. Saya sign out dulu. Btw, selamat nah.. tauwwa… aku dilamar…. =))
Naura : oke….
Kalimat
terakhir Naufal itu menjadi penanda bagiku, bahwa sungguh rinduku ini
hanya menyesatkanku seorang. Maka biarkanlah Naufal tetap menjadi kawan
bicaraku melalui jaringan nirkabel, tanpa harus tahu kecamuk rasa di
dada ini.
Hari-hari
pun berlalu biasa, seperti malam ini, kami membicarakan persiapan acara
pertunanganku dengan Arya, dan rekaman kalimat terakhirnya kembali tereplay, bolehkah aku datang sendiri?
***
N-a-u-r-a,
lima huruf yang berpadu membentuk sebuah nama yang telah empat bulan
terakhir mengusik kisi hatiku. Kisi hati yang sesungguhnya telah
berpenghuni dara jelita, Armalena Citra. Aku sendiri tak tahu bagaimana
muasalnya nama itu begitu sering hadir, yang aku tahu bahwa aku sedang
terjebak dalam pusaran rasa yang tak jelas saat ini.
Mulanya
aku hanya iseng menambahkan Naura sebagai teman pada situs pertemanan
sosial, itupun atas saran Hardi, teman kampusku dulu. Saat itu adrenalin
kami sedang menggelegak untuk membuktikan diri sebagai lelaki yang
mampu mempesona perempuan di dunia maya. Maka kami pun bertukar saran
tentang perempuan yang akan kami jadikan target, dan Naura adalah calon
korban dari ambisi konyol kami. Calon korbanku, tepatnya.
“Anaknya
baik, polos, belum pernah pacaran, sikapnya dingin terhadap lelaki, dan
satu lagi aku pernah ditolaknya.” Akun dengan gambar profil perempuan
berambut sebahu yang sedang tersenyum terekam lensa mataku.
“Lumayan.”
“So?”
“So..”
“Good luck, Bro.”
Mulailah permainanku. Mengirim friend request,
menyapa lewat kotak chat, bertukar komentar, hingga saling memberi
alamat YM. Langkah awal sukses. Berikutnya, hampir tiap malam aku
menahan kantuk hanya untuk berbicara dengannya via ruang kotak dengan
kepala kuning beragam emoticon. Langkah kedua, kuanggap sukses.
Kuceritakan segala hal tentangku serupa ia bercerita tentang dirinya
dan kesehariannya, kubuat ia nyaman berbagi denganku, kubiarkan ia
mengetahui tentang perempuan yang menghuni hatiku. Adrenalinku semakin
tertantang membuatnya jatuh cinta padaku, meski ia telah mengetahui
kehadiran Lena. Bukankah itu lebih hebat?
Kemudian angkuhku luruh
Bertekuk pada sepasang senyum sederhanamu
Palung jiwa tak henti menasbihkan namamu
Menuntun langkahku
Menuju hatimu
Semua
berubah. Pertemuan yang kusengaja dengan Naura telah membuat pondasi
rencanaku keropos. Langit senja Fort Rotterdam menjadi saksi gemuruh
yang kurasa saat pertama menatap manik matanya, juga simpul senyumnya
yang sederhana. Aku terpasung dalam pesonanya yang sahaja. Hingga aku
tak butuh lama untuk menarik simpulan bahwa aku mencintai Naura pada
pertama kali mataku menatapnya. Segala hipotesa yang kubangun selama
ini, tertolak dengan sempurna. Kehebatan yang telah siap kusandingkan
atas diriku sendiri, ambruk. Senjata makan tuan, sungguh ungkapan yang
tepat buatku.
Aku
terjebak dalam labirin cinta yang kubuat sendiri, dan tapakku sendiri
bingung menentukan arah kemana ia akan menuju. Pada Lena kah yang telah
menemaniku menghabiskan tiga ratus hari atau pada Naura yang telah
mencuri hatiku tanpa ia sadari. Dan saat aku bingung, Naura tiba dengan
kabar pertunangannya. Kabar yang membuatku tak tahu harus mengetikkan
kalimat apa di layar chat, hingga menjadikan telepon Lena sebagai
alasan. Cintaku layu.
Hari
berlalu, topengku belumlah kutanggalkan. Bersikap seolah tak menabung
rasa pada Naura. Menutupi. Bukankah aku akan malu jika ia bisa membaca
perasaanku? Akan digelarinyalah aku lelaki kumbang hidung belang yang
menyemai benih cinta di mana-mana, sementara cintaku padanya adalah
sebuah ketaksengajaan. Maka, ruang kuning menjadi saksi segala
kemunafikanku yang terselubung.
Bolehkah aku datang sendiri?
Aku sendiri tak tahu mengapa tiba-tiba jemariku menyusun abjad-abdjad
membentuk kalimat itu saat Naura memintaku hadir pada pesta
pertunangannya bulan depan. Sungguh aku tak tahu. Sel sarafku saat ini
berputar mencari cara melepaskan diri dari jeratan rasa ini. Aku harus
jujur. Jujur pada Lena juga Naura.
***
Naufal Arsy : Ketemuan yuukk.. J
Naura : Heh? Ngapain?
Naufal Arsy : Pengen aja, sebelum dirimu menjadi milik orang :P
Naura : Hahaha… kapan?
Naufal Arsy : Tiga hari lagi. Saya ke Makassar lusa, oke.
Naura : Di mana?
Naufal Arsy : Ganti lokasi, pinggiran Losari saja. Bagaimana?
Naura : Oke. Jangan lupaa….
Naufal Arsy : Apa? Salak?
Naura : hehehe… :D
***
Naura telah duduk di sampingku sejak sepuluh menit lalu. Canggung. Aku bisu.
“Ngajakin ketemuan cuma buat diam-diaman yah?”
“Hehe…kikuk ketemu sama yang bentar lagi tunangan.”
“Aish…ngasal. Eh, salakku mana?”
“Waduh, lupa! Masih di kebun.”
“Heummm…ingkar janji. Dasar.”
“Maap… tapi besok-besok kamu bisa makan salak sepuasnya.”
“Kok?”
“Iya, kan bakal jadi istri juragan salak.”
“Haha, Arya bukan juragan salak.”
“Memang bukan Arya.”
“Siapa?”
“Aku.”
“Heh?”
“Aku serius.”
Hening.
“Mau kan kau menikah denganku?”
“……”
“Naura”
“Tidak mungkin, Fal.”
“Kenapa?” Apakah kau tidak mencintaiku?”
“Aku…”
“Aku
tahu kau tidak mencintai Arya. Aku mungkin terlalu percaya diri dengan
mengatakan bahwa aku tahu kau mencintaiku. Tapi, aku bisa merasakan
hatiku membaca hatimu.”
“Lalu hati Lena?”
“Aku telah jujur pada Lena.”
“Dan dia tersakiti, bukan?”
“……”
“Cinta bukan satu-satunya alasan untuk menikah, Fal. Aku tidak mungkin menyakiti hati Lena, aku perempuan. Pun jika aku bisa menyakitinya, aku tetap tak bisa mencoreng arang di kening ayah. Ini menyangkut siri’ keluarga.”
“Naura….”
“Maaf, Fal…”
-----------------------------------------
selalu ada 1001 alasan untuk cinta bersemi hangat dalam dada. tetapi cinta tanpa timbang rasa dan tanggung jawab mudah pudar. sesaat ia membara, setelah itu padam meninggalkan arang.
BalasHapusbtw, ini cerita sederhana namun menarik. kerap terjadi dalam dunia sekitar kita tapi jarang terungkap. ibu Reni mampu menghadirkannya dan menyentil rasa. kalau boleh kritisi, endingnya terlalu sederhana, kurang tuntas. mengingat pergumulan batin yang dialami keduanya cukup hebat. boleh jadi, meski Nara bertunangan dan akhirnya menikah namun sosok Naufal akan membayangi perjalanan rumah tangganya, apalagi bila Nara tidak menemukan kebahagiaan, ketenangan, semangat, dll seperti yang ia rasakan menguat pada pribadi Naufal... bukankah itu akan sangat menyiksa banyak pihak, Nara sendiri, Arya, dan Naufal. belum ditambah bila pernikahan ini menghadirkan keturunan yang sedikit banyak perasaan gundah seorang ibu akan mudah tertransfer ke anak.
tapi 1000 jempol buat ibu, tetap hadirkan sentilan2 seperti ini. bagus buat bahan renungan.