Dan
pada hatimu telah kutikamkan belati
Malam
ini, malam yang tak pernah terlintas dalam warna-warna harap kita kemarin.
Harap yang hanya kita baca dalam satu kata, indah. Selayar sms dan berbaris
kalimat telah kujelmakan belati yang menikam hati tulusmu. Aku tak berani
menanyakan rasanya. Cukup mendengar senyummu yang tak lagi sama atau kalimatmu
yang tertahan. Nyeri.
Luruhlah
merah dalam genggaman
Kau
pasti merasakan sakit. Perasaanmu yang putih telah kunodai dengan sebuah larik
cerita lalu. Cerita usang berdebu yang harusnya terkubur, tiba-tiba menjelma
hantu mengusik ketenangan yang kita punya. Dan ini salahku! Telah kulukis noda
pada kanvas tempat kita melukis bersama. Tanganku berlumur merah
yang telah merusak warna yang telah kau toreh. Rusak. Cacat. Tak sesuai harap.
yang telah merusak warna yang telah kau toreh. Rusak. Cacat. Tak sesuai harap.
Lalu
rasa, pelan-pelan mengemas diri
Kecerobohanku
meretakkan rasamu yang harusnya kujaga, serupa kau begitu telaten menjaga
rasaku. Kecewa terpahat. Dan aku hanya mampu mengutuk diri. Lihatlah! Perempuan
dengan segala cela ini begitu lancang menghancurkan apa yang kau bangun susah
payah. Dan ketika bingung menyergap rasa di hatimu, hanya isak yang mampu ia
tuturkan. Kala rasamu perlahan mengemas langkah, ia terpaku dengan rasa
di dadanya yang pilu. Mampukah ia menahanmu?
Luruhlah…
kalimat telah mengunci mulut
Inilah
aku. Jauh dari segala laku sempurna mereka. Kalimat yang lahir dari bibirku
kadang tak mengucap permisi pada pikirku. Tawaku begitu sering salah tempat.
Egoku bertahta sempurna. Maka tak layak segala puji, tidak satupun. Sepi pun
telah karib denganku dibalik topeng ramai. Tak usah risau.
Luruhlah
segala laku, luruhlah…pergi…. Agar aku…agar belatiku tak lagi menghunjam…
Denting
detik, gerah ruang
Pikiranku
penuh dengan slide tentang kita. Kenang selama empat puluh dua hari sejak mula
kita dipertemukanNya tersaji. Apalagi yang mampu kulakukan selain tertawa dalam
hujan yang kembali luruh di wajahku?
Detik
di kamar menemaniku menunggu pagi, sebab kantuk telah angkat kaki. Aku ingin
segera mendengar adzan menggema di pengeras suara masjid-masjid. Lalu melihat
namamu berkedip di layar hape tuaku. Meski mungkin suaramu takkan lama mengisi
gendang telingaku seperti hari lalu.
Aku
terpekur menanti, rasa tak pasti…
Hatiku
telah memilih. Rasaku tak lagi berpaling. Telah kupercayakan padamu. Namun
khilafku telah melukai. Dan aku hanya mampu menanti. Kaulah yang kan memberi
pasti. Kemana langkah ini.
**Pada sabuah hari di bulan September, setahun lalu*
**Pada sabuah hari di bulan September, setahun lalu*
hiks .. dalem bangeet, Reeeeen ..
BalasHapustapi teteeeeeeep, keren galawnyaaaaaa .. hihihi .. Like Thizz ..
sangat menyentuh sekali, dan hampir sama dengan apa yang Q rasakan saat ini.Karena itu izinkan saya mengambil sebuah paragraf dalam tulisan anda.
BalasHapus