Minggu, 20 Februari 2011

Tasbih Dedaunan Hijau


Apalagi yang harus kami risaukan, segalanya telah nampak sempurna di mata kami yang sederhana. Tubuh-tubuh lemah kami yang begitu mudah meliuk mengikuti hembusan nafas bayu adalah satu dari sekian banyak bukti cintaMu. Tak ada alasan buat kami mendustakan semua itu.
Kami telah menjadi saksi segala peristiwa. Kabut yang menyelinap memeluk kala pagi pelan-pelan merangkak di balik bukit. Embun senantiasa berguliran riang saling berkejaran menggelitik tubuh-tubuh kami. Jemari pagi setia menyematkan surya di birunya langit, menjadikan awal hari seolah gadis berkerudung biru dengan bros kuning keemasan.
Apalagi yang harus kami sangsikan. Dalam tubuh kecil kami telah Kau titipkan anugerah yang begitu besar tak terhingga. Epidermis sebagai tameng pelindung kami, klorofil  menjauhkan kami akan ketakutan pada rasa lapar, xylem dan floem yang begitu telaten menghantarkan air dan makanan pada tubuh tempat kami bertumpu, belulang menyirip dan menjari mengokohkan bentuk kami, dan jika musim semi tiba maka bermekaranlah kuntum-kuntum bunga yang menularkan indahnya pada kami.
Tak sedikitpun ragu terbetik di hati kami atas segala rencanaMu, bahkan ketika jemari kanak-kanak berseragam putih-biru memetik kami, menjauhkan kami dari dahan dan ranting tempat kami saling berpelukan, lalu menyayat kami tipis-tipis. Tak ada keluh yang lahir dari bibir kami kala sayatan tubuh kami berpindah ke atas objeck glass dan tertutupi oleh aquadest dan kaca penutup. Bukankah dengan semua pengorbanan itu, kami mampu menjadi satu bukti kuasaMu. Saat mata-mata bulat memandangi kami dari balik lensa okuler, menggambar, lalu mencari tahu bagian-bagian tubuh kami yang tampak pada layar pandang mereka. Itu adalah satu rencana terindahMu, menjadikan kami perantara ilmuMu yang maha luas. Lalu, adakah alasan yang rasional untuk kami meragukan Engkau? Tidak.
Kami memang lemah, tak mampu melawan hembusan bayu yang paling sepoi sekalipun. Tak sanggup berteriak mengancam apalagi melawan atas jemari yang mencabuti kami tanpa belas kasih. Hanya mampu pasrah kala warna kuning mulai menjalari tubuh kami, yah warna  yang menjadi pertanda bahwa waktu kami akan segera berakhir. Namun, tak ada yang kami sesali akan semua itu sebab kelemahan kami itulah yang menjadikan kami berbeda dengan mereka, para manusia yang kadang tak berhati pada sesama mereka. Kami takkan menceritakan bagaimana sikap mereka, sebab Engkau Maha Mengetahui. Yang terpenting bagi kami adalah mampu menyebut namaMu di tiap anggukan kala subuh dan petang,  di tengah semilir angin yang menggesekkan tubuh-tubuh kami. Melafazkan Subhanallah… Alhamdulillah… Allahu Akbar… hingga tiba waktu kami kembali dipeluk bumi.

1 komentar: