Minggu, 20 Februari 2011

    https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4kfLmUz1WvNlZmAQWPA2H64k_sxq7Cvh7cB_R3NseuiXtOHtGz42ReNFH85tZ9NhZ1c6Jiu1EBS8RGf1-5z3-_fdUVV5cZmA-MsrZzLLf-qVMsKdXYQEhy8WpQ3vHgN5B53CFlm8SsJ4/s1600/rainy-days.png        

 

             Akhirnya hujan turun. Hujan pertama di awal Oktober. Hujan pertama yang menghapus kerinduanku pada rintiknya, juga menyejukkan hatiku setelah sekian lama terpanggang dalam tungku kemarau. Hujan ini pula yang mengingatkanku pada sebait kenangan tentang seorang perempuan.
Anak-anak di luaran asyik bermain hujan. Riang membasuh tubuh mungil mereka dengan air suci dari langit. Tawa riang mereka membawaku dalam sebuah rumah abadi, kenangan.
Jalan depan rumahku berubah menjadi sebuah lorong yang menghubungkanku dengan sealbum kenangan tentang hujan. Di luaran, kulihat seorang perempuan asyik membasahi tubuh dengan tangisan langit itu. Riang. Matanya menatapku, mengajakku turut serta bermain dengannya. Menari di bawah rinai. Tubuhnya yang basah bagai mawar mekar dengan berupa embun. Indah. Tapi, ia menghilang bersamaan dengan berhentinya hujan. Ia lenyap dari pandangku berganti dengan pelangi.
Hujan curah lagi, perempuan itu datang lagi. Ia masih asyik bermain hujan. Tiap hari hujan. Tiap hari ia bermain hujan. Aku terpanggil menyertainya. merasakan nikmat air yang curah dari langit. Aku dan dia sama-sama bermain hujan. Selepas hujan ia pergi meninggalkan selengkung pelangi di hatiku. Hujan….turunlah tiap hari, doaku. Hanya hujan yang mampu mempertemukanku dengannya, dengan penyejuk mataku.
Kuingin hujan setahun. Tapi, hujan hanya semusim. Hujan melangkah pergi. Kemarau datang. Perempuan itu hilang. Panas membakar tubuhku, kerontang jiwaku. Kurindu hujan….
Lorong-lorong menghilang. Kualihkan mataku. Kulihat kamar mandiku ruah. Ada sosoknya di sana, bermain air. Ia tak bermain hujan, ia sibuk membasahi diri dengan air. Ia hadir dalam rupa air. Bukan lagi hujan yang memanggilku, tapi air di kamar mandiku. Aku menjadi rajin mandi, sebab dengan mandi aku bisa bertemu dengannya. Bercengkrama dengan penyejuk jiwaku. Dengan mata air yang membasuh kemarauku.
Kini, kamar mandiku mengering. Kemarau telah merampas air dalam berbagai rupa. Hujan dan kamar mandiku tak lagi menghadirkan perempuan itu. Ia betul-betul menghilang. Aku menjadi enggan mandi, sebab air kini tak mudah lagi kuperoleh. Harus membayar sekian rupiah demi beberapa ember air. Aku rindu pada hujan, aku rindu pada air, aku rindu pada perempuan itu, aku terkungkung kenangan.
Bukan hujan yang turun. Bukan air yang ruah. Tapi air mataku yang tumpah menyuburkan kenangan di dalam hatiku. Kenangan dan kerinduan menjelma menjadi hutan-hutan. Aku terjebak, tapi aku tak ingin keluar. Aku menikmati hutan kenanganku. Aku bertemu dengan perempuanku dalam rupa air. Air mata.
=========================================


>> Hujan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar