Jumat, 08 April 2011

Air Mata Ijab Qabul




Jum’at yang penuh berkah…
Akhirnya aku duduk di ruangan ini. Ruang yang telah dipenuhi berbagai riasan berwarna warni. Anyaman janur terpasang di beberapa sudut ruangan, permadani telah dihampar menutupi kotak-kotak hijau di lantai, tatanan kue-kue dalam bosara’ bersanding dengan piring-sendok-garpu kecil, dan lamming yang menghadap tepat di depan pintu masuk menguatkan kesan bahwa ruang ini siap menjadi saksi atas hari sakral dua orang manusia.
Seorang lelaki berpakaian adat duduk tepat di depan lamming diapit dua orang lelaki berpakaian batik dan gamis putih di samping kiri dan kanannya. Dua orang lelaki berjas duduk di hadapannya. Lantunan musik nasyid dengan volume rendah mengiringi dengungan suara-suara yang saling berbisik atau menyapa. Lelaki itu tampak tenang. Mungkin ia sedang menghitung laju detik yang sebentar lagi tiba di angka sepuluh, atau bisa juga ia sedang menghapalkan kalimat-kalimat yang akan diucapkannya di hadapan semua orang di ruangan ini. Mataku tak lepas menatapnya.
Lagu nasyid dimatikan, suara-suara satu-satu padam berganti hening. Seorang lelaki berumur enam puluhan memegang microphone menyampaikan beberapa kalimat pembuka. Akad nikah segera dimulai. Lelaki berpakaian adat itu menarik nafas perlahan. Lelaki tua di hadapannya mulai mengucapkan ijab. Beberapa saat kemudian lelaki itu pun melafadzkan qabul. Ingatanku pun melayang entah kemana.
***
Sayang, bersediakah kau kelak menikah denganku?”
“Mmhhh…”
“Kok jawabannya kaya gitu?”
“Bingung”
“Bingung kenapa?”
“Bingung denganmu.”
“Ada apa denganku?”
“Kita sudah pacaran lima tahun dan kau masih menanyakan hal itu..”
“Aku hanya ingin tahu”
“Dan sekarang sudah tahu jawabannya?”
“Sepertinya iya”
“Baguslah”
“……”
“Oya, tapi kamu harus memenuhi sebuah persyaratan jika ingin menikahiku”
“Apa?”
“Latihan ijab qabul mulai sekarang.”
“Lho…? Kenapa..?”
“Biar nanti lancar. Kata orang, kalo ngucapinnya cuma sekali dan ga tersendat-sendat artinya si lelaki beneran cinta ma si perempuan. Sekarang, kamu cinta ga sama aku?”
“Cinta”
“Ya sudah, nanti aku lihat buktinya saat harinya tiba.”
“Baik…kelak kau akan mendengarkannya, sayang. Hanya sekali terucap dari bibirku…”
***
Saya terima nikahnya Azizah binti Muhammad Rasyid dengan mas kawin satu set perhiasan emas dan seperangkat alat shalat, tunai karena Allah Ta’ala.” Sempurna kalimat itu terucap hanya dalam sekali hela nafas. Sah sudah lelaki itu menjadi seorang imam. Tangis haru mengiringi do’a yang dipanjatkan bersama. Setitik air mata jatuh di telapak tanganku.
Usai berdo’a, mataku kembali menatap lelaki itu. Harusnya namaku yang tadi terucap, Raisyah binti Mahmuddin, bukan Azizah binti Muhammad Rasyid

------------------------
Gambar dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar