Minggu, 20 Februari 2011

Dia Bukan Tempat Mengadu

Bukan padanya kuingin mengadu. Sebab aku tahu dia hanya sebuah persinggahan kecil dari perjalanan yang entah kapan kan berujung. Bukan pula sebuah kebetulan jika aku menemukan dia dalam segala kalut yang merajam. Sesungguhnya segala yang bergulir adalah rencana-rencana yang tak kasat mata. Namun kini, kulihat sebagian diriku sedang bersedu sedan padanya, pada dia yang enggan kujadikan tempat mengadu.

Wajahnya tak sengaja terekam serakan pita ingatanku. Dan kanvas langit setia melukiskannya tiap subuh dan senja. Mengapa harus ada persekongkolan ini? Ingatanku telah letih merapuh dan tak ingin lagi menyimpan segala kenang. Telah kuguntingi segala memori ibarat mengguntingi tali layangan. Kusimpul yang kuingin, kubuang yang menyesakkan. Bukankah menyenangkan jika kepala kita hanya mengingati yang kita ingin. Namun, hati ini enggan berkompromi. Ia lebih memilih bersekongkol dengan langit yang telah meluruhkan nila. Hingga subuh dan sore hari adalah galeri wajahnya.

Sembunyi dan menimbun benci. Sembunyi dari langit. Menimbun benci agar tak mengingatinya. Gagal. Langit yang merona malu serupa magnet buat kedua mataku yang besi. Benci tak menemukan lubang-lubang kecil hati untuk disemai. Maka, sempurnalah wajahnya terpatri dalam mata, kepala juga hati. Lukisan langit itu kini telah berganti bingkai. Tetap saja bagiku, ia bukan tempat mengadu. Aduan-aduanku terlalu kerdil untuk kusandingkan dengannya. Tak pantas, tak sepadan. 

Sekali lagi kumeminta pada langit, berhenti menjalin janji dengan hati. Karena aku tahu, ia layak sebagai apa. Bukan peristirahatan segala keluh. Ia tempat bersandar segala mimpi.
>>Bertopang dagu memandang langit, akhirnya lega…<<


**Dia pun ada di halaman ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar