Minggu, 20 Februari 2011

Surat Cinta Terakhir


: Kepada Pengagum Hujan

Kepadamu akan kuceritakan, entah mengapa malam ini aku sangat membenci hujan. Tetesnya bukan lagi serupa embun peneduh. Ia telah menjelma pecahan beling. Semakin deras curahnya, semakin perih hati yang basah olehnya. Hal yang dulu begitu kucinta telah menjelma tarian duka.

Hujan menyuburkan ingatan kita. Membawa rasa mengalir ke muara, cinta. Mempertemukan jiwa-jiwa yang saling mencari. Hujan pun selalu meliuk indah dalam desah-desah pengharapan. Dengan melihatnya, merasai tetesnya maka kita akan menjelma peri yang sedang mengabarkan aroma cinta. Hujan menyihir kau dan aku. Kita begitu senang menikmati gerimis dan berlomba menghitung kawah-kawah kecil yang lahir. Menatap langit yang menjadi rahim, menyesapi anak-anak langit yang pelan-pelan menderas, berenang bersama alirannya, dan mengikuti kemana mereka akan berkumpul menciptakan genangan. Lalu, di genangan itulah kita berendam, menitipkan segala kenangan juga ingatan. Lihatlah, ingatan yang mengelupas, kenangan yang luruh larut meresap ke dalam perut bumi. Ingatan dan kenangan menjadi abadi, takkan pernah kurang.

“Hujan itu bersiklus, dan apa yang telah kita titipkan padanya mengikuti siklus itu,” ujarmu. Dan aku begitu benci mengakui bahwa itu benar. Kenangan dan ingatan yang kita sertakan dalam aliran hujan akan ikut menguap, berkondensasi, menggantung pada mendung, lalu..tik…tik..tik… jatuh kembali menyapa tubuh kita. Titik-titik langit itu begitu ajaib menyegarkan kembali slide-slide yang telah berdebu. Itu satu alasan hujan dan ingatan ibarat magnet dengan kutub yang berlawanan, saling mencari, saling mengikat.

“Mari kita menitipkan mimpi kita pada hujan,” kau menggenggam jemariku. Kitapun merapalkan mimpi dalam hati dan mengikutkannya dalam aliran yang menggelitik telapak kaki. Berhasil, mimpi-mimpi itu lesak ke pori-pori bumi. “Suatu saat, mimpi kita akan menyatu dalam siklus hujan, saling bertemu. Dan saat itu kau dan aku pasti bersama”.

Hujan tak ingkar janji. Malam ini dibawanya mimpi kita. Dijatuhkannya pelan. Bukan sypmhoni bahagia yang tiba di telingaku. Sebuah denting sendu mengabarkan mimpimu yang layu. Kau kini menggenggam tangan yang lain. Lihat, tangan ini kembali tengadah, mencoba mencari serpih mimpi yang dulu kau titip. Sia-sia. Mimpi kita tak berkawan lagi. Saat yang kau janjikan tak pernah ada.

Kepadamu kuceritakan, malam ini benciku tumbuh kepada hujan. Ia tak bosan mengingatkanku tentangmu. Di sini, aku masih harus mengingati semua hal lalu yang tak bosan mengusik dalam tiap bulir langit itu. Sementara aku tahu, di sana kaupun sedang menitipkan kenangan baru bersama orang lain, dia. 

Aku benci hujan! Tolong, berhentilah menengadahkan tanganmu pada langit. Berhentilah memanggil hujan. Sebab jika ia curah, aku akan kembali mengingatimu. Dan aku benci itu. Sungguh benci. 

>> Surat cinta itu pun ada disini

2 komentar:

  1. Hai, Clair de Lune. :)

    Aku tersasar di belantara bilangan biner ini, putar-putar, dan nggak sengaja mampir kemari.

    Beautiful. Semua yang di sini cantik sekali.

    BalasHapus
  2. Thanks a bunch...
    sering-seringlah tersasar Mas... :) :)

    BalasHapus