Ma’mar berjalan tergesa. Kresek hitam di tangannya tak sabar ingin segera diperlihatkannya pada anak dan istrinya. Aroma nasi padang menyelinap diantara lipatan pembungkus nasi berwarna kecoklatan, merangsang kelenjar hipothalamusnya menyampaikan impuls rasa lapar.
“Sebentar lagi,” pikirnya sambil mempercepat ayunan langkahnya. Becek bekas hujan semalam bertengger di belakang celana dan bajunya, terikut bersama kecipak sandal jepit yang naik turun mengikuti langkah Ma’mar.
Hari ini Ma’mar senang bukan kepalang, penghasilannya dari mengecat rumah Haji Aris dilebihkan dari kesepakatan semula. Mungkin karena Haji Aris puas melihat hasil kerjanya yang rapih dan tidak meninggalkan sisa cat yang belepotan atau efek setelah ngobrol dengan Ma’mar kemarin.
“Mar, dengar-dengar istrimu hamil lagi ya?”
“Iya, Pak Aji.”
“Wah, bagus tuh Mar, artinya bakal dapat rejeki lagi kau.”
“Hehe.”
“Kok nyengir? Anak itu rejeki, Mar. Banyak anak banyak rejeki”
“Kalo orang seperti pak Aji sih bisa bilang banyak anak banyak rejeki, saya ini hidupnya susah pak Aji, nambah anak sama dengan nambah susah.”
“Hush…ga boleh ngomong gitu. Banyak orang yang kaya, tapi ga punya anak. Mereka malah uring-uringan, bahkan ada yang selingkuh, nyakitin hati istrinya.”
“Iya juga ya, Pak Aji”
“Ya iyalah… makanya kau dikasih anak itu bersyukur. Bikin anak itu ga gampang. Butuh dipercaya dulu ma Allah. Biar usaha bagaimana kerasnya kalo ga ada kepercayaan dari Dia ga bakal jadi, Mar.”
“Hehe, artinya saya dipercaya ma Allah ya, Pak Aji.”
“Ho-oh”
“Alhamdulillah. Kalo begitu ongkos saya ngecet rumah Pak Aji mau saya beliin nasi padang besok. Biar sekali-kali Nisa makan yang enak-enak, supaya bakal anak saya juga sehat, biar dibilang ga nyia-nyiain rejeki dari Allah.”
Haji Aris hanya bisa tersenyum simpul mendengar penuturan polos dari Ma’mar. Makanan enak tidak selamanya sehat, dan makanan sehat tidak selamanya harus yang enak-enak seperti di warung-warung. Tapi, pilihan Ma’mar akan nasi padang adalah pilihan yang pas, enak dan sehat bagi mereka yang tidak mengidap penyakit darah tinggi dan kolesterol seperti Haji Aris.
Pagi ini saat menghitung penghasilan yang diberikan Haji Aris, Ma’mar heran menghitung lembaran uang yang ada di tangannya, lebih tiga puluh ribu dari jumlah seharusnya. Dialihkannya pandangannya dari lembaran sepuluh ribuan ke wajah Haji Aris.
“Sudah, anggap saja itu rejeki bakal anak kau,” Haji Aris seolah mengerti makna tatapan Ma’mar. Ma’mar segera pamit setelah mencium tangan kanan Haji Aris. Tujuannya sudah jelas, warung nasi padang Uni Sarifah.
Di warung nasi itu, Ma’mar memesan dua bungkus nasi padang. Satu berlauk ayam balado, dan yang satu berlauk rendang dan telur yang dibagi dua. Cukup dua bungkus untuk dinikmati oleh mereka berempat. Sebungkus untuk Ma’mar berdua dengan Nisa, istrinya. Sebungkus lagi buat kedua anaknya, Arif dan Reni.
Ma’mar tahu sebungkus itu tak akan mengenyangkan jika dinikmati berdua, apalagi untuk kedua anaknya. Tapi itu sudah diantisipasinya. Sengaja rendang dan telur buat anaknya dibagi dua, agar nanti di rumah mudah membagikan sebungkus nasi itu dalam dua piring berbeda yang kemudian akan ditambahkan lagi dengan nasi putih masakan istrinya. Sementara untuk dia, cukuplah dia mencicip sedikit menemani istrinya. Toh dia lelaki, bisa menahan lapar demi anak-istri yang dicintainya.
Ma’mar lalu teringat cerita ustadz yang mengisi pengajian di mesjid kampungnya kalau Rasulullah sendiri pernah mengikatkan kerikil di pinggangnya untuk menghalau rasa lapar. Begitu cintanya beliau pada umatnya sehingga tak ingin membebani para sahabat untuk mencarikan beliau makanan, bahkan beliau berujar “Tidak para sahabatku. Aku tahu, kalian akan selalu berkorban demi Rasulmu. Tetapi, apa jawabanku nanti dihadapan Allah, apabila aku sebagai pemimpin malah menjadi beban bagi umatnya? Biarlah rasa lapar ini sebagai hadiah dari Allah buatku, agar kelak umatku tak ada yang kelaparan di dunia ini, lebih-lebih di akhirat nanti.” Menetes air mata Ma’mar medengar cerita itu. Rasulullah rela berkorban agar umatnya tak kelaparan di dunia dan akhirat, maka ia pun rela berkorban agar anak istrinya tidak kelaparan. Ia akan bekerja sekuat tenaga demi keluarga kecilnya, apalagi sebentar lagi anggota keluarganya akan bertambah, tulangnya harus lebih kuat dari gatot kaca.
Ma’mar sudah berada di depan gang menuju rumah yang telah dikontraknya selama tiga tahun. Dilihatnya Arif dan Reni sedang bermain di depan rumah. Terbayang di pelupuknya wajah kedua anaknya itu begitu bersemangat menikmati nasi bungkus yang di bawanya. Langkah Ma’mar makin cepat. Kecipak sandal jepit bututnya pun terdengar sahut menyahut.
“Rif…Ren…ayo masuk, bapak bawa nasi bungkus buat kalian.” Kedua anak itu pun segera mengikuti langkah Ma’mar ke dalam rumah. Di dalam rumah, Nisa baru saja menaikkan wajan untuk menggoreng ikan asin untuk lauk makan siang mereka.
“Ga usah menggoreng ikan asin, abang bawa nasi bungkus buatmu dan anak-anak.”
“Tapi kan cuma dua bungkus, Bang. Biarlah buat anak-anak saja.”
“Semua sudah abang atur, insya Allah dua bungkus akan cukup buat kita berempat. Lagipula sudah lama kita tidak makan sebungkus eh sepiring berdua.” Merona wajah Nisa mendengar ucapan Ma’mar.
“Ambillah piring dan nasi, yang perlu kita tambahkan cuma nasi di tiap bungkusan nasi itu.”
Duduklah mereka berempat dengan dua bungkus nasi dan sepiring nasi putih yang masih mengepul di depan mereka. Bungkusan pertama dibuka Ma’mar, kemudian dibaginya isinya pada kedua anaknya. Masing-masing mendapatkan setengah porsi nasi, sepotong rendang dan telur. Nisa kemudian menambahkan nasi putih pada piring Arif dan Reni, menggenapkannya menjadi seporsi. Tak lama, keduanya lahap menikmati makan siang istimewa hari itu.
Bungkusan keduapun di buka oleh Ma’mar. Aroma gulai daun singkong dan ayam balado menusuk-nusuk hidungnya. Dilihatnya Nisa tersenyum. Pasti sudah lama lidah istrinya tidak mengecap makanan seenak ini. Sebentar lagi mereka akan menikmatinya sambil mengingat romantisme saat mereka pacaran dulu. Tangan Ma’mar telah bersiap memindahkan nasi ke piring saat tiba-tiba bunyi bola menghantam pintu rumah mereka.
“Arif…Arif… main bola yuk,” Dhani dan Naim berteriak di depan pintu. Ma’mar menghampiri dua bersaudara itu. Dua bersaudara yang telah tiga tahun menjadi yatim piatu dan kini dibesarkan oleh Roni, paman mereka yang bekerja sebagai pemulung.
“Arif masih makan, main bolanya sebentar ya,” ujar Ma’mar sambil mengusap kepala Dhani, sementara kepala Naim dilihatnya melongok ke dalam. Pasti aroma nasi padang itu menyentil hidung Naim yang masih belepotan ingus. Ma’mar paham betul bahasa tubuh anak itu.
“Kalian sudah makan siang?” Naim dan Dhani saling berpandangan, kemudian menggeleng. “Ya sudah, sini kalian makan bareng Arif dan Reni.” Tanpa menunggu disuruh dua kali, Dhani dan Naim segera mengambil posisi duduk tepat di samping Arif. Mata Ma’mar memberi kode pada Nisa. Dua buah piring telah ada di hadapan Naim dan Dhani, berikutnya tangan Nisa membagi sebungkus nasi bagiannya pada kedua anak itu. Senyum tulus terpancar dari wajahnya. Nisa kemudian meninggalkan keempat anak itu, didekatinya suaminya yang masih berdiri di pintu.
“Maafkan abang, harusnya abang tadi beli tiga bungkus.”
“Ga pa pa, Bang. Ini sudah rejeki mereka, bukan rejeki Nisa.”
“Ah… itu kan buat kau dan bakal anak kita.”
“Sudahlah, Bang. Anggap aja kita ini niru sikapnya Nabi. Nabi kan juga sayang sama anak yatim. Jadi nasi bungkus itu, nasi bungkus nabi.” Ma’mar tersenyum mendengar kalimat istrinya. Dicubitnya hidung istrinya.
“Kita masih punya ikan asin, kan?” Nisa mengangguk. Detik berikutnya, wangi ikan asin memenuhi rumah kecil Ma’mar.
=========================================