Terbuat dari apakah perasaan ? Hingga ia bisa datang tiba-tiba, lalu menguap tiba-tiba pula. Dari ada menjadi tiada. Aku tidak pernah bisa mengerti mengapa perih selalu menghunjam ketika pemandangan yang sama terpapar di depanku. Tentang sepasang kekasih, siapa saja, yang saling merapatkan tubuh saat tungku langit mulai padam.
Sepasang kekasih selalu mengingatkanku pada sosok perempuan, berbaju dan ber-rok biru, yang berjalan di tengah malam dengan sebatang lilin di tangan. Aku tidak tahu mengapa ia menyalakan lilin sedang lampu jalan begitu menyilaukan. Redup lilin tak sebanding dengan binar lampu dengan berbagai voltase yang begitu angkuh melawan kelam malam. Belum lagi lelehan lilin yang panas lalu hangat menyisakan sepuhan putih di tangannya. Apa yang dilakukannya tengah malam begini ?
Perempuan itu akan terus berjalan hingga lilin di tangannya padam kehabisan sumbu. Lalu ia akan berdiri di tempat dan masa lilin itu padam. Di tempat yang sama. Di bawah pijar kekuningan. Remang. Sepertinya ia telah menghitung lama nyala lilin dan jumlah langkahnya menuju tempatnya berdiri. Serupa menunggu seseorang. Dan aku dengan setia mengintip di kisi jendela kamar. Perempuan itu baru beranjak jika tiang listrik telah dibunyikan lima kali. Lalu aku akan terkantuk-kantuk sepanjang hari karena semalaman mengamatinya.
Serupa apakah perasaan? Serupakah dengan buku yang harus disampul dengan kertas berupa warna? Tertutupi dari ihwal sebenarnya. Sedih ditutupkan riang, tangis ditutupkan tawa. Tapi, tidak dengan perempuan itu. Selalu saja rupanya menggambarkan satu rasa, sendu.
Malam ini, malam kemarin, malam kemarin lusa, bermalam-malam lalu ia masih melakukan hal yang sama. Sudah enam bulan. Selama itu pula aku menatapnya di balik jendela. Tak pernah berani menyapanya. Ia seolah tak lelah berdiri di bawah redup lampu jalan hingga malam tiba pada ujungnya. Hanya berdiri. Menatap langit dan ujung jalan. Seolah dari langit ia nantikan malaikat, dan dari ujung jalan diharapkan kekasihnya tiba.
Ia tidak gila. Mungkin sedikit tertekan dengan dunianya sekarang. Ia masih waras. Ia masih bisa tersenyum jika seseorang menatapnya. Ia pun selalu menoleh ke ujung jalan jika mendengar tapak sepatu. Ia hanya menanti.
Serupa apakah perasaan? Hingga ia kadang begitu kekal, kadang pula ia fana. Kadang bertahan di hati hingga ajal menjemput, namun tak jarang singgahnya hanya sebentar.
Perempuan itu memiliki kisah yang hanya aku seorang mampu menceriterakannya. Karena ia adalah kekasihku, dulu. Enam tahun kami bersama. Semua telah kami lalui bersama, seperti pasangan kekasih lainnya. Tertawa, bersedih, marah, rindu, semua telah berbaur. Saban hari ia ke rumahku, melakukan hal yang harusnya dilakukannya jika ia telah kuperistri Setiap senja kami menghabiskan waktu memandangi pijar langit yang mulai pupus.Hampir semua kami lakukan bersama. Kecuali beberapa hal.
”Berjanjilah untuk menjadi malaikatku,” pintanya suatu senja. Anggukan kepalaku mengukir senyum manis di wajahnya.
Perempuan itu begitu senang jika lampu tiba-tiba dipadamkan pada malam hari. Pada waktu itu tempat tinggalku selalu jadi langganan pemadaman bergilir. Ia akan segera menyalakan sebatang lilin, lalu duduk di depannya dan mengamatinya meleleh sedikit demi sedikit.
”Lilin ini begitu anggun. Meski pijarnya lemah, namun mampu membuat gelap manjadi sangat indah. Meski hanya sebatang.” Itu satu kalimat yang menggambarkan kekagumannya pada benda putih panjang itu.
Ia ingin menjadi seperti lilin yang selalu dibutuhkan orang-orang. Apalagi jika lampu telah kehabisan energi. Meski tampak sederhana, namun mampu menjadi terang saat gelap.
Perempuan itu sejatinya telah mengisi hampir semua kisi hatiku. Tak sedikitpun celah ia sisakan. Hingga tiba-tiba semua hal tentangnya menekanku. Menyesakkan napasku. Semua terjadi tanpa kusadari dan kuingini. Apa yang telah diisinya kini berongga. Makin laun rongga itu membesar dan menghapus perempuan itu dari hatiku. Sedikit demi sedikit.
Terbuat dari apakah perasaan ? Hingga kadang ia selembut sutera, namun tak jarang sekeras karang. Begitulah kami dipisahkan. Perasaannya yang lembut telah kalah oleh karang yang menghuni hatiku. Danau di kedua wajahnya telah meluap, tak mampu menampung hujan yang dicurahkan hatinya.
”Kenapa kita harus berpisah ?”
”Karena perasaanku sudah tak ada lagi buatmu”
Terbuat dari apakah perasaan ? Hingga ia bisa datang tiba-tiba, lalu menguap tiba-tiba pula. Dari ada menjadi tiada. Seperti pula yang kurasakan pada perempuan itu. Semua yang dulunya begitu kujaga tiba-tiba hilang tak berbekas. Mengapa ia tak bisa menjadi sesuatu yang kekal di hatiku, meski kutahu tak ada yang kekal kecuali Sang Maha.
Jika saja perasaan ini kekal pada perempuan itu, ia tak akan seperti ini. Menanti tiap malam. Ditelanjangi oleh pandangan laki-laki iseng. Dianggap pelacur. Ditertawai serupa orang gila. Namun, semua ia balas dengan senyuman, serupa senyuman di suatu senja saat kukecup dahinya pertama kali. Dan sebatang lilin, tak pernah lepas dari jemarinya, meski yang tersisa hanya sepuhan putih.
Malam ini hujan begitu angkuh memamerkan orkestranya di atap-atap rumah. Aku telah meringkukkan badan di tempat tidur. Sepanjang malam langit tak berhenti menguras awan-awan kelabu. Aku teringat perempuan itu. Mungkinkah ia ada di sana? Di bawah lampu jalan dekat jendela kamarku. Ah, tak mungkin ia datang malam ini. Ia tidak gila untuk berhujan-hujan di tengah malam yang menggigit. Lilinnya tak mungkin menyala diterpa titik-titik langit. Malam ini untuk pertama kalinya, aku tertidur pulas tanpa mengamati perempuan itu. Hujan, terima kasih.
Terbuat dari apakah perasaan ? hingga mataku tak sedikitpun mampu meneteskan hujan dari kedua rongganya saat melihat tubuh perempuan itu dikelilingi orang-orang. Perempuan berbaju dan ber-rok biru itu ditemukan kaku di bawah lampu jalan dengan sebatang lilin yang masih utuh di tangannya.
4 April 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar