Selasa, 01 Desember 2009

Sebuah Kisah Sebulat Bakso

“Aku paling benci dengan bakso”

“Kenapa ?”

“Trauma ”

“Kenapa ?”

Kau menanyakan salah satu pertanyaan yang paling enggan aku dengar dan jawab. Bakso.

Mungkin kau sama dengan orang-orang sekitarku yang menggemari makanan bulat-bulat daging itu. Kau akan heran, mungkin sedikit kesal, mendengar aku benci dengan makanan favoritmu.

Dulu, aku juga gemar makan bakso apalagi yang hangat –sangat. Barangkali melebihi dari kau dan teman-temanmu. Tapi itu dulu, dulu sekali.

Jangan memaksaku bercerita. Aku enggan. Akan tiba masanya. Masing-masing hal punya waktunya sendiri. Bukan hari ini. Tunggu. Aku tak mau berbicara tentang bakso hari ini.

Ah, aku benci kalau perempuan merajuk di depanku. Terlalu kekanakan. Tapi jangan pula kau anggap aku benci padamu karena merajuk minta satu bagian kenanganku. Aku tetap sayang kamu walau kau seperti itu, bukankah kau kelak akan jadi istriku ?.

***

Aku bertemu dengannya sesaat, hanya sesaat. Bukan bertemu. Hanya memandang wajahnya. Sekilas. Lalu tiba-tiba ada tungku penghangat di dadaku. Uap hujan dingin mengepung waktu itu.

Ia sedang menikmati semangkuk bakso. Sendiri. Melamun. Ia terlalu laun mengunyah bola-bola di mangkuknya jauh lebih laun dari uapnya yang lesat dalam cuaca dingin. Sendok hanya dipegangnya sebentar-sebentar. Selebihnya ia asyik bermain dengan hayal. Aku memperhatikannya di balik kaca. Aku berdiri di luar sedang menunggu hujan berhenti. Ia di dalam, murung.

Aku melihatnya lagi suatu ketika. Di warung yang sama. Duduk menghadap arah yang sama, di kursi yang sama. Ia masih memiliki kegemaran yang sama, membiarkan semangkuk bakso dingin di hadapannya sementara ia berbicara dengan pikirannya sendiri. Ia seperti seorang pemain tetaer dengan bakso dingin itu sebagai properti semata.

“Bakso itu enak dinikmati saat masih hangat. Apalagi saat musim hujan seperti ini. Panas airnya membagi hangat bagi tubuh, juga kadang-kadang hati kita ”.

Aku berdiri di hadapannya. Tersenyum. Ia memandangku. Lalu menunduk memandangi bakso-bakso seperti balon coklat mengapung di mangkuknya.

Ia masih asyik sendiri, seolah tak ada aku di depannya. Padahal, saat itu aku sedang menikmati semangkuk bakso dengan kepul uap tepat di depan wajahnya. Ia berdiri. Menuju kasir. Membayar semangkuk bakso dingin. Lalu pergi tanpa menoleh, kuharap ia menoleh.

Pelayan warung datang mengambil mangkuk di depanku sambil geleng-geleng kepala. Mangkuk penuh bakso dingin yang tak tersentuh oleh sendok yang digenggam jemarinya kini berkumpul dengan mangkuk-mangkuk lainnya yang telah kosong. Pelayan mencuci mangkuk-mangkuk. Bakso dingin menggelinding ke tempat sampah. Bukan koyak oleh geligi gadis manis itu.

Mangkuk di depanku sudah kosong. Kelenjar hipothalamusku mengisyaratkan rasa kenyang, Organ-organ pencernaanku sempurna telah menerima stimulus tersebut. Aku berdiri. Berjalan ke kasir membayar bakso hangat nikmat.

“Perempuan aneh”, bisik penjaga kasir sambil menyerahkan kembalian. Kata itu terekam di pita ingatanku.

***

Detik berputar di pergelangan tanganku. Kalender di kamarku telah sobek empat belas lembar sejak pertama melihat perempuan aneh itu.

Lambung dan ususku sudah dua pekan mencerna bakso tiap siang. Perempuan itu masih sama. Menikmati bakso dingin dengan sebuah hayal dan segudang diam. Aku makin penasaran olehnya.

Tiap malam neuron sarafku bekerja keras memikirkan perempuan itu. Ia bagai sebuah misteri bagiku. Ia mengajakku bertualang memecahkannya. Kadang aku menganggap diriku bodoh telah melalaikan tugas-tugasku yang menumpuk hanya untuk memusatkan pikiran padanya. Namun, tungku hangat di dadaku yang telah menyala tak bisa aku padamkan dengan segala alasan rasional yang diajukan otakku.

Hari ini kuliahku padat. Mulai sejak pagi dan jeda sesaat pukul dua belas siang. Cacing-cacing di perutku mulai seperti rombongan demonstran. Lambungku mulai mengeluarkan asam hingga mual yang kurasa sudah tiba di tenggorok. Aku harus segera mengisi perut.

Aku duduk di hadapannya. Tanpa mengucap sesuku kata. Segera aku nikmati isi mangkuk yang masih mengepul di depanku. Jeruk nipis, kecap dan sambal bercampur memberi warna dan rasa yang pas di lidah. Keringat mengalir di dahi. Nikmat.

Sempat kualihkan pandanganku, aku lihat perempuan itu tersenyum memperhatikanku. Belum sempat kutegur, ia telah berdiri menuju kasir membayar bakso dinginnya dan bakso hangatku. Ia mulai berubah.

***

“Ajari aku menikmati bakso seperti yang kau lakukan”.

Aku terkejut mendengar ucapannya saat aku baru duduk di meja. Tak ada bakso dingin di hadapannya. Aku memesan dua mangkuk bakso hangat. Masing-masing di hadapan kami.

Hari itu ia mulai belajar marasakan hangat yang ditawarkan semangkuk bakso. Hari itu kami mulai menikmati bakso hangat bersama. Ditemani sebias senyum.

Hidup dapat diibaratkan dengan semangkuk bakso. Kadang ia begitu pedas, terlalu kecut, asin, manis atau pas. Tergantung bagaimana kita menambahkan rasa pada mangkuk yang telah berisi gulungan mie dengan bulatan terapung pada air hangat. Begitu pula hidup, tergantung bagaimana kita mengartikan semua peristiwa yang kita jalani dalam alur hidup ini. Hari-hari yang kami lalui pun sama dengan semangkuk bakso yang tiap hari kami nikmati di siang hari sambil mengusir dingin yang dibawa oleh bulan-bulan yang basah. Bulan-bulan penghujan.

Hampir setahun kami menikmati bakso bersama. Menikmati hubungan kami. Ia mulai pandai menambahkan rasa di mangkuknya. Ia mulai pandai menikmati hangatnya air di mangkuk yang disertai kepulan-kepulan uap panas. Ia mulai pandai mengunyah bulatan kenyal dengan geliginya yang rapat dan menggelindingkannya ke dalam lambung dan usus yang melilit-lilit. Ia sudah melupakan diam dan hayalnya lalu mengganti dengan senyuman dan pesona yang terlalu lama dikuburnya.

An, aku ingin menikmati bakso lagi. Di tempat berbeda. Waktu yang berbeda.

Smsnya mengusik hening kamarku. Aku heran. Baru sekali ini ia membuat janji hanya untuk menikmati semangkuk bakso. Biasanya tak perlu ada janji, kami tahu waktu yang tepat untuk saling bertemu. Kubalas smsnya menanyakan tempat dan waktu. Balasannya masuk ; di sebuah rumah makan di Pantai Losari, pukul lima sore. Waktu yang tak biasa buatku.

Ia terlambat lima menit. Biasanya ia tak pernah terlambat. Ia yang selalu menunggu. Sebuah senyum dilemparkannya bersamaan dengan sentuhan pantatnya dengan kursi di depanku. Tak lama, ia memesan dua mangkuk bakso hangat. Satu di depanku, satu di depannya.

Ia mulai menambahkan berbagai rasa di mangkuknya. Terampil ia menikmati bulatan-bulatan terapung di mangkuknya. Seolah-olah ia telah seabad menikmati hidangan di depannya, padahal baru setahun yang lalu ia memintaku mengajarnya. Seolah ia adalah orang yang pertama menemukan makanan itu.

Kini mangkuk di hadapanku yang mulai dingin. Lama kuperhatikan ia menikmati baksonya. Rasa yang begitu pas di lidahnya, meski terlihat begitu pedas buat lidahku. Aku tak ingin menambahkan rasa apa-apa di mangkukku. Ingin kunikmati apa adanya.

Mangkuk di depannya sudah kosong. Aku masih sibuk mengunyah saat ia menyentuhkan telapaknya pada punggung tanganku yang telanjang. Ia menarik nafas. Tersenyum. Memandangku lalu beralih ke luar, memandang birunya laut yang akan menenggelamkan surya yang mulai susut pendar.

“An, terima kasih selama ini telah mengajarkan hidup padaku melalui semangkuk bakso. Hari ini aku bahagia. Aku akan menikah bulan depan dengan lelaki yang dahulu membuatku berteman diam dan hayal. Ia sudah berubah, sama berubahnya dengan diriku. Hari ini, mungkin, terakhir kali kita menikmati bakso bersama. Semangkuk bakso hangat yang mengalirkan hangatnya di raga dan hati, seperti katamu”.

Ekor ucapan itu lepas dari sepasang bibirnya bersamaan dengan sebuah urat yang tersangkut di leherku, menimbulkan rasa yang tak nyaman di tenggorokanku. Bukan cuma tenggorokan, tapi hatiku dengan empat lobusnya pun perih mendengar ucapannya.

Jadi, selama setahun ini aku tak berarti apa-apa baginya. Hanya sekedar menjadi guru yang mengajarkan cara makan bakso yang benar dan nikmat. Begitu berbeda dengan yang kurasakan. Ia begitu istimewa. Bahkan aku telah membayangkan ia yang akan menjadi istriku. Aku akan melamarnya setelah aku menyelesaikan semua yang bersangkut paut dengan kuliahku. Tapi, hari ini…

“An, kenapa baksomu tak kau habiskan ? sakit ?”

“Tidak, tidak. Aku sudah kenyang. Sebelum ke sini aku sempat makan”

“Ya sudah. Pulang sekarang ?”.

Kami berpisah di depan warung makan. Ia dijemput oleh calon suaminya. Sempat ia menawarkan niat baik mengantarkanku pulang. Aku menolak. Terlalu sakit saat harus melihat perempuan yang setahun mengisi hatiku bersama orang lain.

Aku ingin sendiri. Berusaha melupakan semua kenangan tentang bakso, tentang ia. Semangkuk basko hangat tak lagi menularkan hangat di hatiku, tapi membekukannya.

***

“Jadi, hanya karena seorang perempuan kamu jadi benci makan bakso?”

“Begitulah..”

“Bagaimana dengan hatimu, masih beku?”

“Tidak, tentu saja. Kan sudah ada kamulebih hangat dari bakso manapun”

“Gombal”

“Kamu masih mau kan jadi istriku…?”

"Asal aku masih dibolehkan makan bakso. Dan mengajari kamu menikmati hangatnya semangkuk bakso....".


Tidak ada komentar:

Posting Komentar