Jumat, 08 April 2011

Aku, Kau dan Sebaris Kenang

Tangan gaib Tuhan telah mempertemukan kita pada sebuah petang. Dalam bentangan jarak yang tak terjangkau oleh akomodasi kedua lensa bola mata kita. Matahari telah menggantungkan jubah hangatnya, saat aksara demi aksara mempertukarkan kisah kita. Aku sedang patah hati, tulismu. Kekasihku menikah tadi pagi, aduku. Lalu kita terbahak, menertawai betapa sialnya kita. Ah, luka tak selamanya harus ditangisi. Asinnya air mata hanya akan menambah rasa perih. Maka mula petang itu, kita bersepakat menertawakan segala duka. Tak seorang dokter pun yang menyarankan membersihkan luka dengan air garam, itulah premis kebanggaan kita.
Tangan gaib Tuhan kembali memainkan peranan saat gemuruh rasa yang kau pendam perlahan membuka. Kau datang mengadu. Ah bukan, aku yang memaksa bibirmu yang katup untuk bercerita. Kekanakan bukan? Lalu, sebaris kenangan yang pernah kau kubur kembali hadir. Aku diam. Membiarkan kau menuntaskan segalanya. Sebab aku yakin, kurungan-kurungan yang menyesakkan laju oksigen di dadamu akan terlepas bersama jalinan kata yang lahir dari bibirmu, juga ingatan yang mengelupas perlahan dari simpul-simpul sarafmu.
Aku, kau dan sebaris kenang, mewarnai pergantian warna langit yang kita tatap dalam waktu yang berbeda. Aku mampu merasai betapa kau begitu hanyut dalam melankoli mengenangnya. Dan pada langit sore kelabu dimana rinai bergelantungan, kuhadapkan wajah. Menunggu satu-satu tarian anak langit itu menerpa, lalu luruh bersama anak-anak sungai di wajahku. Setelah itu, beri aku waktu untuk mengumpulkan tawa yang berserak. Kemudian, kau dan aku akan kembali mengagungkan premis kita, sebab luka tak selamanya harus ditangisi…


[….Kepada Kang Ojek,..…]



2 komentar: