Rabu, 25 Agustus 2010

Mengenang Perempuanku

Senja temaram, angin laut pelan mempermainkan rambutku yang telah tiga bulan tak tersentuh gunting. Entah apa yang kulakukan di sini. Langkah kakiku lah yang menuntunku ke tempat ini, sisi Losari. Jauh dari ramai orang-orang yang lebih senang berkumpul di Anjungan Bahari. Matahari senja sempurna melukis wajah perempuan itu, perempuan dengan tahi lalat kecil tepat di kedua pipi yang selalu membuatnya tampak menawan kala tersenyum.

Angin berputar bersama dengan pusara ingatanku yang kembali ke masa setahun silam, masa saat suara di ujung telepon membuat debar jantungku berpacu lebih cepat. Yah, penghujung Desember itu adalah masa yang lengkap terekam di ingatanku, saat mula ku mengetuk pintu yang tlah lama rapat. Tak usahlah kubagi sebagian masa itu, sebab itu adalah masa yang sungguh ingin kukenang sendiri.

Semua rasanya berjalan begitu cepat, waktu seolah melayang saja diantara kami, hingga tanpa terasa serupa ada jalinan tak kasat mata yang mengikat di antara kami. Tapi, hidup tak selamanya indah meski kita telah melalui banyak getir. Indah hanya dinikmati di awal atau pada akhir sebuah kisah. Begitu juga hidup kami. Semua mimpi yang terlukis di langit luruh oleh deras hujan, menyisakan mendung yang terus menggelayut.

Perempuan itu telah menawan hatiku sejak mula kumelihatnya, di sebuah pagi masa penerimaan mahasiswa baru –masa yang selalu menyimpan romantisme antara senior-junior. Ia datang terlalu pagi, hingga salah seorang panitia mengambil kesempatan mengerjainya. Aku hanya menatap di balik sarung, dingin masih mencengkeram saat itu. Namun, kuku-kuku dingin tak mampu menghalangi tungku hangat yang mulai menyala di hatiku pagi itu.

Waktu berlalu cepat, masa romantisme tlah usai, namun tak kujumpai lagi wajahnya di antara wajah-wajah baru yang tiap hari lalu lalang. Ah, aku lupa. Aku tak sejurusan dengannya, pantaslah wajahnya tak kutemukan. Menjelma sebuah kebiasaan baru buatku, tiap hari mengitari koridor ruang kuliah sambil berharap tak sengaja berpapasan dengannya, namun mengapa wajahnya tak jua nampak? Tahukah ia bahwa ada seorang lelaki “gila” yang sedang mencarinya hingga ia sengaja bersembunyi, atau ia mungkin terlalu sibuk dengan segala tugas kuliahnya hingga mendekam di ruang kuliah saja. Maka selain mengitari koridor, sesekali kulongokkan kepalaku ke ruang kuliah jurusannya. Kapasitasku sebagai senior membuatku bisa melakukan hal itu. Hal-hal yang sungguh bodoh. Dua bulan berlalu tak ada hasil dari segala usaha bodohku, aku menyerah, menyerah di saat yang salah.

Angin masih sempurna memainkan rambutku, menghapus jejak-jejak keringat di dahiku. Jejak perkenalanku dengan perempuan itupun sempurna terlukis di antara debur ombak.

“Kak, ini temanku,” perempuan di sampingku memperkenalkan perempuan itu padaku. Tungku hangat itu kembali menyala, tapi di saat yang salah. Perempuan itu hanya tersenyum menerima uluran tanganku. Perempuan di sampingku memperkenalkanku sebagai kekasihnya, dan lagi-lagi perempuan itu kembali tersenyum kemudian meminta diri. Ah mengapa baru sekarang kita berpapasan?

Hidup berputar laksana roda, aku dan kekasihku, perempuan itu dengan kekasihnya pula. Namun pertemuan demi pertemuan juga berputar tak kalah cepat. Selalu ada masa di mana perempuan itu nampak di depan mataku tanpa sengaja. Tak kusiakan memandanginya, memandangi wajah yang tanpa sadar telah menyalakan tungku di hatiku pada sebuah subuh yang menggpgil dan sekarang tungku itu membara. Wajah tanpa riasan yang menawanku dengan senyum yang tak bisa kugambarkan. Senyum yang kadang bukan untukku, namun aku senang mencurinya di sela-sela derai tawa teman-temannya. Toh, tak ada yang memperhatikanku, perempuan itu sekalipun.

Waktu begitu pandai mempermainkan rasa. Perempuan itu akhirnya menghilang. Kuliahnya usai. Pelan-pelan padamlah nyala di hatiku. Aku dan kekasihku sebentar lagi menikah. Semua nyala boleh padam, namun arang selalu tersisa bukan? Begitu pula dengan hatiku.

Waktu begitu pandai memutar balikkan segala rencana. Pernikahan yang tlah sempurna terancang batal, menyisakan sebuah luka pada orang yang mencintaku. Dan kumemilih pergi. Bukan lari, hanya pergi untuk sementara. Memberi kesempatan pada waktu untuk menyembuhkan segala luka.

Waktu begitu mahir mengatur segala pertemuan. Kutemukan lagi perempuan itu di tengah hiruk duniaku, tanpa sengaja. Jika dulu ia menciptakan nyala, kini ia bagai mata air. Di subuh yang dingin ia menularkan hangat, di penatnya jiwaku ia membasuh segala resah dan mengalirkannya jauh.

Obrolan demi obrolan telah menjalin sesuatu yang berbeda diantara kami. Derai tawanya tlah menjadi candu yang kadang membuatku sakaw. Ingin kumiliki senyum itu. Sungguh.

Harapan-harapan menguncup. Disirami kasih yang pelan-pelan menjelma. Namun waktu sekali lagi menunjukkan kepandaiannya memainkan rasa. Saat semua terjalin, saat semua rencana terancang sempurna, maka waktu kembali menunjukkan kepongahannya. Menunjukkan nyata bahwa kami takkan pernah bisa satu, takkan pernah.

Suatu sore ia datang mengadu, bercerita tak tentu arah. Menatapku dalam-dalam dengan bulat matanya yang kemudian mengalirkan perigi yang tak kunjung mengering. Semua tiba pada sebuah simpulan, ia tak bisa bersamaku, bukan tak ingin tapi sungguh tak bisa. Ia memutuskan menyerah pada semua perih yang menghunjam, juga pada tangis yang selalu tertahan. Yah, ia menyerah pada permainan waktu juga rasa. Di ujung kalimatnya yang juga menjadi muara periginya ia hanya berujar berhentilah memainkan rasa di dada ini.

Sebulan silam kabar darinya dihembuskan angin, mampir di telingaku. Ia akan segera menikah dengan seorang lelaki yang dikenalkan sahabatnya. Seminggu lalu kami bertemu. Setelah sekian waktu tak melihat wajah dan tahi lalat di pipinya, maka pertemuan itu seolah klimaks yang meluruhkan sedikit kerinduanku padanya. Ia masih saja sama, sederhana tanpa warna. Namun, tahi lalat di pipinya tak pernah berpindah tempat. Apakah karena pertemuan ini hingga senyum tak bertahta di wajahnya?

“Tak usah menanyakan perihal senyuman, Kak. Ia sudah hilang sejak pertemuan kita hari itu”, ujarnya tanpa garis wajah yang berubah. Datar.
“Lalu lelaki itu?”,
“Dia datang menawarkan pundaknya saat aku sungguh tak bisa lagi berdiri. Dia bersedia bersabar dengan hatiku yang terlanjur menyimpan sosokmu. Dia tak menuntut aku mencintainya. Dia hanya ingin aku berdiri. Sederhana.”

Berikutnya hanya angin yang memainkan musik di telinga kami. Mengibarkan kerudungnya, mengacak rambutku. Dan untuk sepersekian detik tangan perempuan itu mengusap rambutku, menunjukkan tahi lalatnya yang sedikit bergeser, sebuah cermin nampak di matanya.

***
Langit tlah berubah gelap. Esok pagi perempuan itu akan terikat ijab qabul. Kini hatiku benar-benar gelap. Gersang. Nyala dan mata airku tlah pergi. Gerimis jatuh pelan-pelan, getaran handphone di saku mengusik persetubuhanku dengan sunyi. Pesan singkat dari perempuan itu, datanglah esok kak, saat riasan menghalangi pendar yang selama ini kau kenang, lihatlah riasan itu berpola mendung...

Gerimis tlah sempurna berubah rupa, waktuku rupanya telah habis mengenangnya, mengenang perempuan itu. Dan tlah kuputuskan esok takkan datang. Sebab aku tak mau ingatanku tentang esok menghapus wajah sederhananya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar