“Bukalah matamu, nak.”
“Tidak, Bu.”
“Sudah terlalu lama kau menutup mata.”
“Biarlah, Bu. Dengan begini aku bisa bahagia.”
“Bagaimana kau bisa bahagia dengan mata tertutup. Bukalah matamu, Nak.”
“Tidak, Ayah. Takkan kutukar kebahagiaan ini dengan sekali kedipan mata. Dengan setitik cahaya. Biarlah seperti ini.”
Perbincangan itu terjadi saat aku baru tiba di rumah besar ini. Di sebuah kamar dengan jendela menghadap ke laut. Antara seorang perempuan dan ayah-ibunya.
Perempuan itu bernama Cahaya. Saudara sepupuku dari pihak ibu. Ayahnya dan ibuku bersaudara kandung, hingga pertalian kami sangatlah dekat. Namun, tak sedikitpun ada kemiripan antara aku dan dia. Aku mewarisi hampir semua ciri-ciri keluarga ibuku – berkulit agak hitam, rambut ikal dengan tinggi badan yang pas-pasan. Sedangkan ia, tak sedikitpun membawa fenotip dari keluarga besar kami. Bahkan dari keluarga ibunya. Ia lahir membawa kode-kode genetiknya sendiri.
Ia diberi nama Cahaya, sebab saat ia lahir kulitnya begitu putih, bersih. Ia lahir dini hari, pukul tiga. Saat lahir, tubuhnya serupa mengeluarkan cahaya yang mengalahkan nyala sulo – pendahulu lilin dan lampu, terbuat dari sumbu yang disimpan di dalam kaleng kecil berisi minyak tanah. Begitu yang diceritakan oleh puang-puangku.
Di dalam keluargaku, kami diwajibkan memanggil puang pada tante, om dan orang-orang tua yang wajib dihormati sebelum menyebut nama asli mereka. Jika mereka telah bertamu ke Mekah, maka bertambah pulalah huruf yang kami lekatkan pada nama mereka, menjadi puang aji.
Cahaya memang selalu menjadi cahaya diantara kami yang berkulit legam. Dulu, waktu aku dan sepupu-sepupuku masih sering berkumpul, kami selalu membicarakan perbedaan Cahaya – tanpa ia ketahui tentunya. Kadang kami menganggap bahwa ia bukan anak kandung dari ayah ibunya. Rasanya tak mungkin anak berkulit putih bersih sepertinya lahir dari ayah dan ibu berkulit hampir gelap seperti kami. Tak jarang, salah satu sepupu perempuanku yang bernama Maryam membuatnya menangis dengan mengatainya anak pungut. Rasa iri kanak-kanak yang terlalu berlebihan.
Saat aku beranjak remaja, pernah kutanyakan ihwal Cahaya pada ibuku – lengkap dengan bumbu anak pungutnya. Tapi, bukannya mendapat penjelasan yang masuk akal, aku justru diwajibkan memenuhi tempayan setinggi satu meter dengan mengangkat air dari sungai yang berjarak dua kilometer dari rumahku. Sebuah pelajaran agar tak berburuk sangka pada sepupu – dan orang lain tentunya.
Barulah setelah menginjak SMU baru kuketahui bahwa kemungkinan Cahaya berbeda dari kami hampir sama dengan kemungkinan lahirnya anak bergolongan darah O dari ayah dan ibu yang bergolongan darah bukan O. Atau sama dengan anak kucingku yang berbelang tiga namun kedua induknya tak satupun berbelang tiga. Seperti yang kukatakan dari awal, Cahaya lahir dengan membawa kode-kode genetiknya sendiri !
Sudah dua pekan aku menemani Cahaya di kamarnya, sesuai permintaan ibunya saat menjemputku dulu. Ia menyuruhku membujuk Cahaya membuka matanya. Awalnya kupikir tugas ini akan berjalan mudah. Apa susahnya menyuruh seseorang membuka mata?. Teman kuliahku yang kehilangan penglihatan sedari kecil, siap membayar berapa saja asalkan bisa melihat meski hanya lima menit. Apalagi seorang perempuan yang terbiasa melihat keindahan semesta. Takkan sanggup ia berlama-lama menutup mata hanya karena kemarahan sesaat. Yah, saat itu aku berpikir bahwa Cahaya sedang marah pada ayah ibunya karena keinginannya tidak terpenuhi. Sama seperti aku yang mogok makan dan puasa berbicara saat sedang kesal dengan ibuku. Tapi, ternyata aku salah.
Sudah hampir tujuh bulan Cahaya menutup mata, itu cerita ibunya. Mengapa dan bagaimana ia sendiri tidak tahu. Tugaskulah mencari tahu dan memintanya membuka mata kembali. Dan sudah dua minggu aku di sini, tak sedikitpun yang bisa aku lakukan selain duduk dan melihat sosok lain dari si buta dari goa hantu, sosoknya yang perempuan.
Sepertinya Cahaya tak ingin lagi melihat cahaya. Ia telah menemukan dunia lain di balik kelopak matanya. Dunia yang telah mengalahkan cerahnya matahari, yang mungkin memberinya kasih melebihi kedua orang tuanya. Dunia yang telah menghisap terang dari dirinya yang cahaya.
Aku tak bisa hanya duduk dan mengamatinya saja tiap hari. Aku pun mulai tidak enak hati pada ibu Cahaya yang tiap pagi dan petang menanyakan anaknya. Aku harus melakukan sesuatu !
Aku masuk ke kamar. Cahaya duduk menghadap laut. Kelopak matanya masih saling merapat. Amis rumput laut yang berjajar di bibir pantai memenuhi ruang paruku. Sama seperti ribuan tanda tanya yang berdesakan di ubun-ubunku.
“Hai, Cahaya…..aku Bulan, sepupumu, kau ingat bukan ?.” Terlalu kaku, rutukku. Cahaya masih diam. Kebisuannya membuatku mengeja ulang namaku dalam hati. B-u-l-a-n. Ibu memberiku nama Bulan, mungkin diharapkannya agar aku seperti bulan yang bersinar di malam hari. Tapi, dengan kulit legamku ini, aku merasa ibuku memberi kutukan dengan nama itu. Sebab, teman-temanku biasanya menambahkan satu kata di belakang namaku, mati. Jadilah namaku yang terkenal di kampus, Bulan Mati!
“Ternyata kau bisa bicara juga yah….,” itu kalimat pertama yang keluar dari mulutnya.
“Maksudmu ?”
“Sejak kau datang dua minggu lalu, aku sudah merasakan kau selalu ada di dekatku. Mengamatiku. Namun, baru kali ini kau bersuara. Kupikir ibu membawakanku seorang teman yang bisu. Maka lengkaplah penghuni kamar ini, si buta dan si bisu….,” belum selesai kalimatnya, ia tertawa. Yah, ia tertawa !
“Ah….maaf kalau perkataanku tadi menyinggungmu, Bulan”
“Tak mengapa”
“Sudah lama kita tak bertemu, hampir sepuluh tahun. Tapi, waktu selama itu tak mengikis ingatanku tentangmu dan sepupu kita yang lain, terutama Maryam. Apa kabarnya ia sekarang ? Sudah berhentikah ia iri padaku?” Badannya diputar membelakangi laut.
“Maryam sudah menikah, anaknya sudah dua. Ia tak iri lagi padamu.”
“Syukurlah. Tak ada hal yang membuatnya harus iri padaku, perempuan yang kehilangan penglihatan.”
“Sengaja menghilangkan penglihatan,” ralatku. Cahaya hanya tersenyum mendengar kalimatku.
“Mengapa kau melakukan hal ini, Cahaya ?”
“Maksudmu ?”
“Sengaja menutup mata, membutakan diri. Membuat resah kedua orang tua. Sepertinya kau tak mensyukuri dirimu yang hampir sempurna.”
“Justru dengan cara ini kutunjukkan syukurku pada Tuhan”
“Aku tak mengerti. Tuhan memberimu indera yang sempurna, tapi kau sia-siakan. Bukan bersyukur...”
“Kau tak mengerti apa-apa dan takkan mengerti. Aku melakukan ini karena aku tak ingin mengotori hasil ciptaan Tuhan ini dengan berbagai pemandangan kotor. Aku jengah melihat laku manusia yang kian hari makin jauh dari tata karma dan sopan santun. Juga dari pengabdian padaNya. Ah, hanya akulah yang tahu alasan tepatnya… Dan yang lebih penting dengan mata tertutup ini aku lebih peka dari kalian… Aku bisa melihat dunia yang lebih indah… Ah, sepupuku kau takkan mengerti. Sudahlah, jangan kau bujuk aku seperti permintaan Ibuku…”.
Kalimat terakhir darinya beriringan dengan adzan Ashar. Cahaya beranjak dari jendela menuju kamar mandi. Ia berjalan serupa orang normal, tanpa tertatih atau meraba. Ah, betulkah ia lebih peka…??
Kuhela nafas, memikirkan kalimat apa yang kan kukatakan pada ibunya saat menanyakan musabab anaknya berlaku demikian. Ataukah aku harus menutup mulut saja? Seperti Cahaya yang menutup mata…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar