Langit telah bertukar warna. Gulungan awan berkejaran. Matahari berjingkat pelan-pelan. Anak-anak berseragam putih merah berjalan bergerombol. Tawa riang mereka meramaikan pagi yang baru membuka mata. Begitu damai rasanya menikmati suasana ini, hingga mataku tak pernah mengenal kata jemu untuk menatapi segala laku yang terus berulang saban pagi.
Matahari kini melangkah sedepa, semakin tinggi. Sinarnya perlahan menyentuh dinding rumah, melebar hingga memeluk separuh tubuhku. Tubuh ringkih yang telah memasuki dasawarsa ke enam. Sayang hangatnya tak mampu menghapus sepi yang telah lima tahun menguntitku. Sepi yang begitu setia di kiri kananku, serupa setianya Raqib dan Atid. Sepi yang telah mendirikan kerajaan dalam hatiku.
Nyanyian itu melintas di telingaku. Tiga orang pengamen cilik mengerumuni sebuah sedan berwarna hitam. Kamera Canon EOS 1000D milik kakakku segera mengambil momen itu. Hem, lumayan untuk amatiran sepertiku.
Senin ini sengaja kutinggalkan kuliahku, toh hanya diisi dengan praktikum menggambar morfologi dedaunan. Praktikum yang membosankan buatku sebab di darahku sama sekali tidak mengalir bakat menggoreskan pensil untuk membentuk sebuah model apa pun. Keahlianku hanya membuat garis lurus. Maka sempurnalah alasanku menitipkan laporan praktikumku pada temanku, dengan syarat laporan itu sudah penuh sketsa dedaunan saat tiba di tanganku.
Semalam pukul 21.14 handphoneku yang tiga hari ini begitu pendiam berdering. Nomor tak dikenal. Awalnya deringan itu kubiarkan saja, tapi nomor tersebut kembali menghubungi. Suara gadis perempuan tiba-tiba menyapaku.
“KakUleng?”
“Iya”
“Tolong beri tahu nenek, bapak baru saja meninggal…”
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”
Isak tangis kemudian mengisi pendengaranku, beriring suara ramai di belakang penelepon. Kabar kematian orang dekatku kembali menyapa.
Adakah yang mampu menebak kapan kematian menghampiri kita?
Lama rasanya kukumpulkan keberanian untuk menyampaikan kabar duka ini ke nenek, selain karena nenek sudah tertidur, kesehatannya juga belakangan ini agak menurun. Aku belum beranjak ke kamar nenek saat handphoneku kembali berdering, dari nomor berbeda lagi.
“Leng, ini Sahrul… sudah tahu kabar …?
“Iya…tapi nenek belum saya beri tahu…sudah tidur…”
“Pelan-pelan…beri tahu nenek ya…”
Dengan telepon yang masih tersambung, akhirnya aku ke kamar nenek, membangunkannya pelan-pelan, lalu memberi tahukan kabar kepergian menantunya. Kaget, itu respon pertama nenek. Lalu, kuberikan handphoneku dan membiarkan nenek berbicara dengan Sahrul, cucunya. Dan isak tangis juga tertular ke kamar nenek, menyapa dua matanya yang menua.
Nenek bukanlah nenekku yang sebenarnya, aku numpang hidup di rumahnya. Aku tak memiliki sanak saudara satu pun saat kakiku pertama kali menjejak tanah ini, Tana Toraja. Ibu Rohani, kawan ibuku, yang menawarkan aku tinggal di rumah nenek. Biar nenek ada kawan, begitu katanya.
Nenek adalah orang tua dari Ibu Rohani, sudah berusia delapan puluh tahun lebih, dan hidup seorang diri sejak 12 tahun yang lalu. Jadi, selain sebagai teman, aku pun langsung diangkat cucu olehnya. Dari yang tak bersanak saudara, akhirnya aku menemukan pengganti nenekku yang telah lebih dahulu meninggal. Salah satu rencana indah Allah buatku yang tak pernah terkira.
Kembali pada kabar kematian yang menyapa telinga kami, bapak yang meninggal adalah suami dari Ibu Rohani, aku bertemu untuk pertama dan terakhir kalinya dengan beliau sebulan yang lalu. Saat itu, selain kepala yang dipenuhi uban, secara fisik beliau terlihat sehat. Namun, kematian bukanlah perubahan iklim global yang bisa kita ramalkan. Beliau yang sebulan lalu masih sanggup berbincang lama, semalam telah kembali padaNya.
Adakah yang mampu menerka kapan jemari Izrail menyapa ubun-ubun kita?
Sungguh kematian itu begitu rahasia, namun pasti menemui kita. Seperti firmanNya “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan” (Q.S Al-Ankabut : 57)
Tak seorang pun yang mampu menduga kapan waktu kita kembali padaNya. Seorang dokter yang kadang memperkirakan waktu hidup pasiennya sekian bulan atau tahun, tak bisa menjamin bahwa ia mampu hidup lebih lama dari pasiennya. Seseorang yang sekian lama menderita sebuah penyakit, belum tentu berusia lebih pendek dibanding orang sekitarnya yang lebih sehat. Seperti pula nenek, meski usianya telah lebih sepuluh windu, penyakit betah di tubuh rentanya, namun hingga kini paru-parunya masih mampu mempertukarkan oksigen dan karbondioksida. Sementara menantunya yang secara usia lebih muda dan secara fisik lebih sehat, telah mendahuluinya. Sungguh kematian adalah sebuah teka-teki yang jawabannya hanya diketahui oleh Sang Pencipta.
Kematian ibarat piala bergilir yang tak mesti kita perebutkan, ia akan menghampiri kita.Ia ibarat tamu yang tiap saat bisa mengetuk pintu rumah kita. Dan saat ia datang, sudah siapkah kita –utamanya saya- menyambut kehadirannya?
Tiap hari kabar kematian singgah di telinga, namun diri yang begitu lena dengan segala nikmat dunia kadang lengah. Hingga kabar itu menyapa orang terdekat, barulah kita tersentak, tersadar. Seperti itu pulalah yang terjadi pada diri ini. Kabar kematian yang tiba semalam, membuat kepala ini tertunduk, terpekur, menyadari diri yang masih sering membuang waktu percuma. Lalu, hari ini kembali menata diri, berusaha memanfaatkan waktu yang entah berapa lama lagi tersisa.
Semoga jika saat itu tiba, kita semua kembali menghadapNya dalam keadaan khusnul khatimah… Amin.
———————————-
Catatan pagi mengingatkan diri yang masih berteman kelalaian…
Minggu pagi, sehabis mandi dan memakai baju yang rapih, Abib berlari mendekatiku yang sedang minum teh di beranda. Sambil tersenyum, aku menjulurkan kedua pahaku. Abib nyaman menaruh pantatnya dalam pangkuanku. Seperti minggu pagi sebelumnya, Abib menagih janji.
“Ayah, hari ini Ayah akan bercerita buat Abib, kan?”
“Mmmh…iya..Ayah akan bercerita buat Abib. Abib mau diceritakan apa?”
: Kepadamu, lelaki yang (masih) bersembunyi dalam tabir rahasiaNya.
Padamu yang kujumpai dalam bait-bait harap, kusampirkan rindu dalam subuh yang mengerjap. Tentang janji yang menanti masa tertepati, serupa kisah yang telah turun temurun menari di telinga.
Malam-malam panjang merangkum dedo’a dalam sujud simpuh di atas sajadah lusuh. Kita bertemu dalam diam, dalam ketidaktahuan. Kita bercengkrama di hadapanNya, dibalik hijab yang dibentang waktu.
Debaran di dada setia mengiringi detik yang pelan-pelan merubah raut kanak-kanak kita. Kesabaran pun mengelopak tak jemu. Kadang ia berguguran, tak jarang ia begitu rimbun. Kepasrahan dan do’a menjelma giberelin yang membungakan asa, menopang ringkihnya hati kala segala prasangka menjelma benalu.
Kita tak tahu kapan pucuk-pucuk harap kita semi bersama. Mekar rekah laksana sakura yang lepas dari putihnya pelukan salju.Bersabar menanti masa yang indah, tertanam dalam hati. Kala kau, lelaki yang hingga kini masih bersembunyi, membuka hijab pertemuan pertama kita dengan sebaris kalimat ijab qabul.