Minggu, 07 Februari 2010

Buka Mata Cahaya

“Bukalah matamu, nak.”
“Tidak, Bu.”
“Sudah terlalu lama kau menutup mata.”
“Biarlah, Bu. Dengan begini aku bisa bahagia.”
“Bagaimana kau bisa bahagia dengan mata tertutup. Bukalah matamu, Nak.”
“Tidak, Ayah. Takkan kutukar kebahagiaan ini dengan sekali kedipan mata. Dengan setitik cahaya. Biarlah seperti ini.”

Perbincangan itu terjadi saat aku baru tiba di rumah besar ini. Di sebuah kamar dengan jendela menghadap ke laut. Antara seorang perempuan dan ayah-ibunya.

Perempuan itu bernama Cahaya. Saudara sepupuku dari pihak ibu. Ayahnya dan ibuku bersaudara kandung, hingga pertalian kami sangatlah dekat. Namun, tak sedikitpun ada kemiripan antara aku dan dia. Aku mewarisi hampir semua ciri-ciri keluarga ibuku – berkulit agak hitam, rambut ikal dengan tinggi badan yang pas-pasan. Sedangkan ia, tak sedikitpun membawa fenotip dari keluarga besar kami. Bahkan dari keluarga ibunya. Ia lahir membawa kode-kode genetiknya sendiri.

Ia diberi nama Cahaya, sebab saat ia lahir kulitnya begitu putih, bersih. Ia lahir dini hari, pukul tiga. Saat lahir, tubuhnya serupa mengeluarkan cahaya yang mengalahkan nyala sulo – pendahulu lilin dan lampu, terbuat dari sumbu yang disimpan di dalam kaleng kecil berisi minyak tanah. Begitu yang diceritakan oleh puang-puangku.

Di dalam keluargaku, kami diwajibkan memanggil puang pada tante, om dan orang-orang tua yang wajib dihormati sebelum menyebut nama asli mereka. Jika mereka telah bertamu ke Mekah, maka bertambah pulalah huruf yang kami lekatkan pada nama mereka, menjadi puang aji.

Cahaya memang selalu menjadi cahaya diantara kami yang berkulit legam. Dulu, waktu aku dan sepupu-sepupuku masih sering berkumpul, kami selalu membicarakan perbedaan Cahaya – tanpa ia ketahui tentunya. Kadang kami menganggap bahwa ia bukan anak kandung dari ayah ibunya. Rasanya tak mungkin anak berkulit putih bersih sepertinya lahir dari ayah dan ibu berkulit hampir gelap seperti kami. Tak jarang, salah satu sepupu perempuanku yang bernama Maryam membuatnya menangis dengan mengatainya anak pungut. Rasa iri kanak-kanak yang terlalu berlebihan.

Saat aku beranjak remaja, pernah kutanyakan ihwal Cahaya pada ibuku – lengkap dengan bumbu anak pungutnya. Tapi, bukannya mendapat penjelasan yang masuk akal, aku justru diwajibkan memenuhi tempayan setinggi satu meter dengan mengangkat air dari sungai yang berjarak dua kilometer dari rumahku. Sebuah pelajaran agar tak berburuk sangka pada sepupu – dan orang lain tentunya.

Barulah setelah menginjak SMU baru kuketahui bahwa kemungkinan Cahaya berbeda dari kami hampir sama dengan kemungkinan lahirnya anak bergolongan darah O dari ayah dan ibu yang bergolongan darah bukan O. Atau sama dengan anak kucingku yang berbelang tiga namun kedua induknya tak satupun berbelang tiga. Seperti yang kukatakan dari awal, Cahaya lahir dengan membawa kode-kode genetiknya sendiri !

Sudah dua pekan aku menemani Cahaya di kamarnya, sesuai permintaan ibunya saat menjemputku dulu. Ia menyuruhku membujuk Cahaya membuka matanya. Awalnya kupikir tugas ini akan berjalan mudah. Apa susahnya menyuruh seseorang membuka mata?. Teman kuliahku yang kehilangan penglihatan sedari kecil, siap membayar berapa saja asalkan bisa melihat meski hanya lima menit. Apalagi seorang perempuan yang terbiasa melihat keindahan semesta. Takkan sanggup ia berlama-lama menutup mata hanya karena kemarahan sesaat. Yah, saat itu aku berpikir bahwa Cahaya sedang marah pada ayah ibunya karena keinginannya tidak terpenuhi. Sama seperti aku yang mogok makan dan puasa berbicara saat sedang kesal dengan ibuku. Tapi, ternyata aku salah.

Sudah hampir tujuh bulan Cahaya menutup mata, itu cerita ibunya. Mengapa dan bagaimana ia sendiri tidak tahu. Tugaskulah mencari tahu dan memintanya membuka mata kembali. Dan sudah dua minggu aku di sini, tak sedikitpun yang bisa aku lakukan selain duduk dan melihat sosok lain dari si buta dari goa hantu, sosoknya yang perempuan.

Sepertinya Cahaya tak ingin lagi melihat cahaya. Ia telah menemukan dunia lain di balik kelopak matanya. Dunia yang telah mengalahkan cerahnya matahari, yang mungkin memberinya kasih melebihi kedua orang tuanya. Dunia yang telah menghisap terang dari dirinya yang cahaya.

Aku tak bisa hanya duduk dan mengamatinya saja tiap hari. Aku pun mulai tidak enak hati pada ibu Cahaya yang tiap pagi dan petang menanyakan anaknya. Aku harus melakukan sesuatu !
Aku masuk ke kamar. Cahaya duduk menghadap laut. Kelopak matanya masih saling merapat. Amis rumput laut yang berjajar di bibir pantai memenuhi ruang paruku. Sama seperti ribuan tanda tanya yang berdesakan di ubun-ubunku.

“Hai, Cahaya…..aku Bulan, sepupumu, kau ingat bukan ?.” Terlalu kaku, rutukku. Cahaya masih diam. Kebisuannya membuatku mengeja ulang namaku dalam hati. B-u-l-a-n. Ibu memberiku nama Bulan, mungkin diharapkannya agar aku seperti bulan yang bersinar di malam hari. Tapi, dengan kulit legamku ini, aku merasa ibuku memberi kutukan dengan nama itu. Sebab, teman-temanku biasanya menambahkan satu kata di belakang namaku, mati. Jadilah namaku yang terkenal di kampus, Bulan Mati!

“Ternyata kau bisa bicara juga yah….,” itu kalimat pertama yang keluar dari mulutnya.
“Maksudmu ?”
“Sejak kau datang dua minggu lalu, aku sudah merasakan kau selalu ada di dekatku. Mengamatiku. Namun, baru kali ini kau bersuara. Kupikir ibu membawakanku seorang teman yang bisu. Maka lengkaplah penghuni kamar ini, si buta dan si bisu….,” belum selesai kalimatnya, ia tertawa. Yah, ia tertawa !
“Ah….maaf kalau perkataanku tadi menyinggungmu, Bulan”
“Tak mengapa”
“Sudah lama kita tak bertemu, hampir sepuluh tahun. Tapi, waktu selama itu tak mengikis ingatanku tentangmu dan sepupu kita yang lain, terutama Maryam. Apa kabarnya ia sekarang ? Sudah berhentikah ia iri padaku?” Badannya diputar membelakangi laut.
“Maryam sudah menikah, anaknya sudah dua. Ia tak iri lagi padamu.”
“Syukurlah. Tak ada hal yang membuatnya harus iri padaku, perempuan yang kehilangan penglihatan.”
“Sengaja menghilangkan penglihatan,” ralatku. Cahaya hanya tersenyum mendengar kalimatku.
“Mengapa kau melakukan hal ini, Cahaya ?”
“Maksudmu ?”
“Sengaja menutup mata, membutakan diri. Membuat resah kedua orang tua. Sepertinya kau tak mensyukuri dirimu yang hampir sempurna.”
“Justru dengan cara ini kutunjukkan syukurku pada Tuhan”
“Aku tak mengerti. Tuhan memberimu indera yang sempurna, tapi kau sia-siakan. Bukan bersyukur...”
“Kau tak mengerti apa-apa dan takkan mengerti. Aku melakukan ini karena aku tak ingin mengotori hasil ciptaan Tuhan ini dengan berbagai pemandangan kotor. Aku jengah melihat laku manusia yang kian hari makin jauh dari tata karma dan sopan santun. Juga dari pengabdian padaNya. Ah, hanya akulah yang tahu alasan tepatnya… Dan yang lebih penting dengan mata tertutup ini aku lebih peka dari kalian… Aku bisa melihat dunia yang lebih indah… Ah, sepupuku kau takkan mengerti. Sudahlah, jangan kau bujuk aku seperti permintaan Ibuku…”.

Kalimat terakhir darinya beriringan dengan adzan Ashar. Cahaya beranjak dari jendela menuju kamar mandi. Ia berjalan serupa orang normal, tanpa tertatih atau meraba. Ah, betulkah ia lebih peka…??
Kuhela nafas, memikirkan kalimat apa yang kan kukatakan pada ibunya saat menanyakan musabab anaknya berlaku demikian. Ataukah aku harus menutup mulut saja? Seperti Cahaya yang menutup mata…

Segelas Susu Hangat

Cerita ini berawal dari seorang anak jalanan yang berjalan tak tentu arah, mencari makan dari bus ke bus, dari rumah ke rumah, tidur dari emperan toko ke toko lain, mengadahkan tangan untuk mengharap belas kasihan dari orang-orang dermawan.

Waktu demi waktu, hari terus berjalan, bulan berganti bulan, hingga sampai suatu saat, anak itu meminta-minta di sebuah rumah yang berpenghuni seorang janda yang hidup sebatang kara.

“Bu boleh minta makan? Atau minum juga boleh Bu”, memelas anak itu.

“Oya silahkan masuk nak, kalau cuma untuk makan atau minum tidak usah minta-minta kayak gini.” Ibu itu menerimanya dengan tulus.
“Nih secangkir susu hangat, biar badanmu terasa hangat”, tambah ibu itu. “Kalau cuma untuk secangkir susu hangat, kamu tidak perlu minta-minta lagi, datang aja ke sini, nanti ibu siapkan”, jelas ibu dengan tulus.
“Dan mulai sekarang ibu sudah menganggap kamu seperti anak ibu sendiri..” tambah ibu itu.

“Ya terima kasih banyak bu..” jawab anak itu.

Keesokan harinya ibu menunggu anak itu, tapi apa hendak di kata anak itu tak kunjung datang lagi ke rumah ibu itu. Ternyata, setelah diketahui anak jalanan itu tertangkap razia oleh Satpol PP.
Wanita itupun sudah berpindah-pindah rumah.

20 tahun kemudian ibu janda itu divonis mengidap kanker ganas dan harus dioperasi. Karena ibu itu hanya sebatang kara dan tak memiliki uang, maka rumah yang dia tempati sekarang akan dijualnya untuk biaya operasi.

Tapi betapa kagetnya ibu itu ketika hendak membayar, ternyata telah lunas, dan di sana tertulis...

"TELAH DIBAYAR DENGAN SECANGKIR SUSU HANGAT.."

Ternyata setelah tertangkap razia oleh Satpol PP, anak jalanan itu disekolahkan oleh pemerintah sampai dia menjadi seorang dokter, dan ketika itu hanya satu yg ada dalam pikiran anak itu..

"BAGAIMANA SAYA BERTERIMA KASIH DAN MEMBALAS JASA IBU INI.."

Karena itu berpuluh tahun pun anak itu tak lupa wajah sang wanita tua.

Apa hikmah dari kisah ini?

Kisah ini menujukkan bahwa apapun yang kita lakukan pada hari ini PASTI akan dibalas oleh ALLAH SWT, mungkin hanya waktu saja yang akan menjawab.
Jadi teruslah berbuat baik, jangan berhenti, dan bersedekahlah... Yakinlah ALLAH SWT akan membalas itu semua. Amin.


Cerita Dari Bapak Ronny Dewanyara Putra
Disadur dari Komunitas Bisa!

Sabtu, 06 Februari 2010

Sultan, Padamu Nak!

Nak,
Lembut kulitmu tlah menjalin cinta
Di hati…
Nyaring tangismu tlah menjelma melodi
di hari-hari
yang selalu memanggilku pulang

Nak,
Maaf jika suara ini tak semerdu vokalis band
Yang tiap hari nyaring di radio-TV
Hingga kadang diri ini malu meninabobokanmu
Nak,
Maaf jika lengan ini tak sehangat
Lengan para ibu
Yang setia menjaga
Hingga kadang tidurmu tak lelap

Tapi, Nak…
Yakinlah cinta ini tak kalah besar
Dengan para ibu sedunia
Raga ini takkan letih mendampingimu
Mengejar matahari
Juga mengejar cintamu kelak

Sebab diri ini tak ingin kau serupa
Dengan seorang lelaki di masa silam…

Nak, tidurlah…
Hingga saat kau terbangun esok
Kau melihat binar di mata ringkih ini…

Jumat, 05 Februari 2010

Belajar dari Mereka...

Hal yang sangat menyedihkan adalah saat kau jujur pada temanmu,dia berdusta padamu. Saat dia telah berjanji padamu, dia mengingkarinya. Saat kau memberikan perhatian, dia tidak menghargainya. Hal yang sangat mengecewakan adalah kau dibutuhkan hanya pada saat dia dalam kesulitan.

Jangan pernah menyesali atas apa yang terjadi padamu! Sebenarnya hal-hal yang kau alami sedang mengajarimu. Saat temanmu berdusta padamu atau tidak menepati janjinya padamu atau dia tidak menghargai perhatian yang kau berikan, sebenarnya dia telah mengajarimu agar kau tidak berperilaku seperti dia.

Bila kau dibutuhkan hanya pada saat dia sedang kesulitan sebenarnya juga telah mengajarimu untuk menjadi orang yang arif dan santun, kau telah membantunya saat dia dalam kesulitan.

Hal yang menyakitkan adalah saat kau mencintai seseorang dengan tulus tapi dia tidak mencintaimu atau dia yang kau sayangi tiba-tiba mengirimkan kartu undangan pernikahannya, sebenarnya hal ini sedang mengajarimu untuk RIDHA menerima takdir-Nya.

Begitu banyak hal yang tidak menyenangkan yang sering kau alami atau bertemu dengan orang-orang yang menjengkelkan, egois dan sikap yang tidak mengenakkan. Dan betapa tidak menyenangkan menjadi orang yang dikecewakan, disakiti, tidak diperdulikan/dicuekin, atau bahkan dicaci dan dihina. Sebenarnya orang-orang tersebut sedang mengajarimu uuntuk melatih membersihkan hati dan jiwa, melatih untuk menjadi orang yang sabar dan mengajarimu untuk tidak berperilaku seperti itu.

Mungkin ALLAH menginginkan kau bertemu orang dalam berbagai macam karakter yang tidak menyenangkan sebelum kau bertemu dengan orang yang menyenangkan dalam kehidupanmu dan kau harus mengerti bagaimana berterimakasih atas karunia itu yang telah mengajarkan sesuatu yang paling berharga dalam hidupmu.



N.B : Nur Ainun Harsono's note...

Selasa, 02 Februari 2010

Persahabatan


Apa yang kita alami demi seorang sahabat kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai arti dan nilai yang indah.

Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan,
tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan bertumbuh bersama karenanya...

Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi
demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya...

Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur - disakiti, diperhatikan - dikecewakan, didengar - diabaikan, dibantu - ditolak,
namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian...

Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari
perselisihan, justru karena kasihnya ia memberanikan diri menegur apa adanya.

Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman,
tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah.

Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih dari orang lain, tetapi justru ia berinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya.

Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis.

Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya.

Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya.

Ingatlah kapan terakhir kali anda berada dalam kesulitan. Siapa yang berada di samping anda ??

Siapa yang mengasihi anda saat anda merasa tidak dicintai ??

Siapa yang ingin bersama anda saat anda tak bisa memberikan apa-apa ??

MEREKALAH SAHABAT ANDA

Hargai dan peliharalah selalu persahabatan anda dengan mereka.


** Dalam masa kejayaan, teman-teman mengenal kita. Dalam kesengsaraan,
kita mengenal teman-teman kita **