Gambar klik |
:
Ayah
Suatu
hari di sebuah siang yang garang, sepasang tangan menengadah memohon gerimis
jatuh meski sejenak. Hatinya telah gersang, ia berharap gerimis mampu
menghanyutkan sisa luka yang berakar tepat di ulu hati. Ia lama menanti.
Mendung pelan-pelan menggantung. Ternyata bukan gerimis yang jatuh, hujan
menderas menerpa. Ia menggigil. Kuyup. Bukan ini yang ia harapkan. Ia merutuk.
Menggugat.
Airmata
langit yang jatuh tak hanya menghapus air mata di wajahnya, juga meluruhkan
segala kenang yang ia prasastikan di dadanya yang telah lama kehilangan debar.
Ia tak ingin hutan kenangannya tersapu habis. Namun, ia tak berdaya. Rasa
sakitnya telah tercerabut beriring ingatan-ingatannya yang terkikis perlahan.
Suatu
hari di sebuah senja yang mendung. Sisa gerimis masih menitik. Sebuah wajah
menengadah menatap langit. Ia telah melupakan perihal yang telah menorehkan
luka. Aku harus menjemput cintaku, batinnya
sembari mengeringkan mata air di wajahnya. Sesungging senyum yang telah sekian
lama pensiun dari wajahnya kembali terbit. Kakinya ringan menjauhi langit
kelabu.
Almanak
berguguran. Sepasang anak manusia saling menggenggam dalam rindu. Berpagut
dalam cinta. Segala resah juga luka mereka halau. Sebuah dada yang telah mati
kembali menemukan debar. Dada yang lain setia menularkan debar yang tak henti.
Gerimis
jatuh perlahan, sepasang manusia bersama menanam benih cinta dengan seikat
janji. Kau dan aku selamanya.
P.S
: Selamat bertambah usia, Ayah. Segala
yang terbaik selalu buatmu. Semoga benih cinta yang kita tanam selalu semi.
Aamiin.