Sabtu, 07 Mei 2011

Monolog Sunyi

13046617391113197127
Mampukah kita berdamai dengan sunyi?
***
Langit telah bertukar warna. Gulungan awan berkejaran. Matahari berjingkat pelan-pelan. Anak-anak berseragam putih merah berjalan bergerombol. Tawa riang mereka meramaikan pagi yang baru membuka mata. Begitu damai rasanya menikmati suasana ini, hingga mataku tak pernah mengenal kata jemu untuk menatapi segala laku yang terus berulang saban pagi.
Matahari kini melangkah sedepa, semakin tinggi. Sinarnya perlahan menyentuh dinding rumah, melebar hingga memeluk separuh tubuhku. Tubuh ringkih yang telah memasuki dasawarsa ke enam. Sayang hangatnya tak mampu menghapus sepi yang telah lima tahun menguntitku. Sepi yang begitu setia di kiri kananku, serupa setianya Raqib dan Atid. Sepi yang telah mendirikan kerajaan dalam hatiku.
~*~*~

Mimpi Yang (Tak) Sempurna


1304324324104059784
Mungkinkah bila kubertanya
Pada bintang-bintang
Dan bila kumulai merasa
Bahasa kesunyian…

Nyanyian itu melintas di telingaku. Tiga orang pengamen cilik mengerumuni sebuah sedan berwarna hitam. Kamera Canon EOS 1000D milik kakakku segera mengambil momen itu. Hem, lumayan untuk amatiran sepertiku.
Senin ini sengaja kutinggalkan kuliahku, toh hanya diisi dengan praktikum menggambar morfologi dedaunan. Praktikum yang membosankan buatku sebab di darahku sama sekali tidak mengalir bakat menggoreskan pensil untuk membentuk sebuah model apa pun. Keahlianku hanya membuat garis lurus. Maka sempurnalah alasanku menitipkan laporan praktikumku pada temanku, dengan syarat laporan itu sudah penuh sketsa dedaunan saat tiba di tanganku.

Diingatkan Kabar Semalam


Adakah yang mampu meramalkan kematian…?

Semalam pukul 21.14 handphoneku yang tiga hari ini begitu pendiam berdering. Nomor tak dikenal. Awalnya deringan itu kubiarkan saja, tapi nomor tersebut kembali menghubungi. Suara gadis perempuan tiba-tiba menyapaku.
“Kak Uleng?”
“Iya”
“Tolong beri tahu nenek, bapak baru saja meninggal…”
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un
Isak tangis kemudian mengisi pendengaranku, beriring suara ramai di belakang penelepon. Kabar kematian orang dekatku kembali menyapa. 

Adakah yang mampu menebak kapan kematian menghampiri kita?

Lama rasanya kukumpulkan keberanian untuk menyampaikan kabar duka ini ke nenek, selain karena nenek sudah tertidur, kesehatannya juga belakangan ini agak menurun. Aku belum beranjak ke kamar nenek saat handphoneku kembali berdering, dari nomor berbeda lagi.
“Leng, ini Sahrul… sudah tahu kabar …?
“Iya…tapi nenek belum saya beri tahu…sudah tidur…”
“Pelan-pelan…beri tahu nenek ya…”
Dengan telepon yang masih tersambung, akhirnya aku ke kamar nenek, membangunkannya pelan-pelan, lalu memberi tahukan kabar kepergian menantunya. Kaget, itu respon pertama nenek. Lalu, kuberikan handphoneku dan membiarkan nenek berbicara dengan Sahrul, cucunya. Dan isak tangis juga tertular ke kamar nenek, menyapa dua matanya yang menua.
Nenek bukanlah nenekku yang sebenarnya, aku numpang hidup di rumahnya. Aku tak memiliki sanak saudara satu pun saat kakiku pertama kali menjejak tanah ini, Tana Toraja. Ibu Rohani, kawan ibuku, yang menawarkan aku tinggal di rumah nenek. Biar nenek ada kawan, begitu katanya.
Nenek adalah orang tua dari Ibu Rohani, sudah berusia delapan puluh tahun lebih, dan hidup seorang diri sejak 12 tahun yang lalu. Jadi, selain sebagai teman, aku pun langsung diangkat cucu olehnya. Dari yang tak bersanak saudara, akhirnya aku menemukan pengganti nenekku yang telah lebih dahulu meninggal. Salah satu rencana indah Allah buatku yang tak pernah terkira.
Kembali pada kabar kematian yang menyapa telinga kami, bapak yang meninggal adalah suami dari Ibu Rohani, aku bertemu untuk pertama dan terakhir kalinya dengan beliau sebulan yang lalu. Saat itu, selain kepala yang dipenuhi uban, secara fisik beliau terlihat sehat. Namun, kematian bukanlah perubahan iklim global yang bisa kita ramalkan. Beliau yang sebulan lalu masih sanggup berbincang lama, semalam telah kembali padaNya.

Adakah yang mampu menerka kapan jemari Izrail menyapa ubun-ubun kita?

Sungguh kematian itu begitu rahasia, namun pasti menemui kita. Seperti firmanNya “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan” (Q.S Al-Ankabut : 57)
Tak seorang pun yang mampu menduga kapan waktu kita kembali padaNya. Seorang dokter yang kadang memperkirakan waktu hidup pasiennya sekian bulan atau tahun, tak bisa menjamin bahwa ia mampu hidup lebih lama dari pasiennya. Seseorang yang sekian lama menderita sebuah penyakit, belum tentu berusia lebih pendek dibanding orang sekitarnya yang lebih sehat. Seperti pula nenek, meski usianya telah lebih sepuluh windu, penyakit betah di tubuh rentanya, namun hingga kini paru-parunya masih mampu mempertukarkan oksigen dan karbondioksida. Sementara menantunya yang secara usia lebih muda dan secara fisik lebih sehat, telah mendahuluinya. Sungguh kematian adalah sebuah teka-teki yang jawabannya hanya diketahui oleh Sang Pencipta.
Kematian ibarat piala bergilir yang tak mesti kita perebutkan, ia akan menghampiri kita. Ia ibarat tamu yang tiap saat bisa mengetuk pintu rumah kita. Dan saat ia datang, sudah siapkah kita –utamanya saya- menyambut kehadirannya?
Tiap hari kabar kematian singgah di telinga, namun diri yang begitu lena dengan segala nikmat dunia kadang lengah. Hingga kabar itu menyapa orang terdekat, barulah kita tersentak, tersadar. Seperti itu pulalah yang terjadi pada diri ini. Kabar kematian yang tiba semalam, membuat kepala ini tertunduk, terpekur, menyadari diri yang masih sering membuang waktu percuma. Lalu, hari ini kembali menata diri, berusaha memanfaatkan waktu yang entah berapa lama lagi tersisa.
Semoga jika saat itu tiba, kita semua kembali menghadapNya dalam keadaan khusnul khatimah… Amin.
———————————-
Catatan pagi mengingatkan diri yang masih berteman kelalaian…
Image source


Kisah Burung Bersayap Satu

1303633407980838282
Minggu pagi, sehabis mandi dan memakai baju yang rapih, Abib berlari mendekatiku yang sedang minum teh di beranda. Sambil tersenyum, aku menjulurkan kedua pahaku. Abib nyaman menaruh pantatnya dalam pangkuanku. Seperti minggu pagi sebelumnya, Abib menagih janji.
“Ayah, hari ini Ayah akan bercerita buat Abib, kan?”
“Mmmh…iya..Ayah akan bercerita buat Abib. Abib mau diceritakan apa?”
“Cerita hewan”
“Mmmm…baiklah.

Prosa Pertama Untuk (Calon) Suamiku

: Kepadamu, lelaki yang (masih) bersembunyi dalam tabir rahasiaNya.
Padamu yang kujumpai dalam bait-bait harap, kusampirkan rindu dalam subuh yang mengerjap. Tentang janji yang menanti masa tertepati, serupa kisah yang telah turun temurun menari di telinga.
Malam-malam panjang merangkum dedo’a dalam sujud simpuh di atas sajadah lusuh. Kita bertemu dalam diam, dalam ketidaktahuan. Kita bercengkrama di hadapanNya, dibalik hijab yang dibentang waktu.
Debaran di dada setia mengiringi detik yang pelan-pelan merubah raut kanak-kanak kita. Kesabaran pun mengelopak tak jemu. Kadang ia berguguran, tak jarang ia begitu rimbun. Kepasrahan dan do’a menjelma giberelin yang membungakan asa, menopang ringkihnya hati kala segala prasangka menjelma benalu.
Kita tak tahu kapan pucuk-pucuk harap kita semi bersama. Mekar rekah laksana sakura yang lepas dari putihnya pelukan salju. Bersabar menanti masa yang indah, tertanam dalam hati. Kala kau, lelaki yang hingga kini masih bersembunyi, membuka hijab pertemuan pertama kita dengan sebaris kalimat ijab qabul.

Kepada Sahabat Tangguhku

Sahabat…
Apabila dua orang telah digariskan untuk hidup bersama
Maka…
Sejauh apapun mereka
Sebanyak apapun rintangan yang menghalangi
Sebesar apapun beda diantara mereka
Sekuat apapun usaha dua orang tersebut untuk menghindarkannya
.
Meski mereka tidak pernah berkomunikasi sebelumnya…
Meski mereka sama sekali tidak pernah membayangkan sebelumnya…
Meski mereka tidak pernah saling bertegur sapa…
.
Pasti
Mereka akan bersatu
.
Akan ada suatu kejadian yang mendekatkan mereka
Dan akhirnya bersatu…
Namun…
Apabila dua orang telah ditetapkan tidak berjodoh
.
Maka…
Sebesar apapun usaha mereka untuk saling mendekat
Sekeras apapun upaya orang disekitar mereka untuk menyatukannya
Sekuat apapun perasaan yang ada diantara mereka berdua
Sebanyak apapun komunikasi diantara mereka sebelumnya
Sedekat apapun
.
Pasti
Akan ada hal yang membuat mereka akhirnya saling menjauh
Ada hal yang membuat mereka saling merasa tidak cocok
Ada hal yang membuat mereka saling menyadari bahwa memang bukan dia yang terbaik
Ada kejadian yang menghalangi mereka bersatu
Bahkan ketika mereka mungkin telah menetapkan tanggal pernikahan
.
Namun, yakinlah…
Bahwa yang diberikan oleh Allah
Bahwa yang digariskan oleh Allah
Bahwa yang telah ditulis oleh Allah dalam kitabNya
.
Adalah…
Yang terbaik bagi kita
Yang paling sesuai untuk kita
Yang paling membuat kita merasa bahagia
.
Karena Dialah…
Yang paling mengerti kita, lebih dari diri kita sendiri
Yang paling menyayangi kita
Yang paling mengetahui apa-apa yang terbaik untuk kita
.
Dan yang perlu kita yakini
.
Jika kita tidak mendapatkan sesuatu yang kita inginkan
Itu bukan berarti bahwa kita tidak pantas untuk mendapatkannya
Namun justru berarti bahwa kita pantas mendapatkan yang lebih baik dari hal tersebut
.
Meskipun saat ini mata manusia kita tidak memahaminya
Meskipun saat ini perasaan kita memandangnya dengan sebelah mata
Meskipun saat ini otak kita melihatnya sebagai sesuatu yang buruk
.
Maka,
Janganlah engkau terburu-buru memvonis bahwa engkau telah diberikan sesuatu yang buruk
Bahwa engkau tidak pantas
.
Sebab kelak,
Engkau akan menyadarinya perlahan
Bahwa apa yang telah hilang darimu
Apa yang tidak engkau dapatkan
Bukanlah yang terbaik untukmu
Bukanlah yang pantas untukmu
.
Maka…
Tersenyumlah sahabat
Atas perih yang menggores hatimu saat ini
Sebab…
Ada lengkung pelangi indah menantimu…
>> Kepada mereka, para sahabat tangguhku… bahagia itu akan ada buat kita… ^_^
>> Gambar berasal dari sini, sini, dan sini